Ilustrasi: Korupsi

Sudah sangat lama publik memimpikan keadilan dan kesetaraan sosial ekonomi. Bahkan, bisa dikatakan sudah masuk pada taraf hopeless menyandang identitas keindonesiaan di masa depan. Melihat Penanganan korupsi sejauh ini dinilai tidak efektif karena terkendala pada mata rantai perilaku korupsi di kalangan politisi dan aparat penegak hukum itu sendiri. Dengan demikian, penanganan kasus-kasus korupsi di tanah air selama ini sangat sukar menjangkau sumber atau akar masalahnya.

Belum lagi, ada upaya untuk menjadikan kejahatan korupsi menjadi kejahatan biasa dan bukan luar biasa sehingga upaya penegakan hukum semakin sukar ditegakkan. Seakan-akan memantapkan kegelisahan semua kalangan bahwa indonesia surga para koruptor.

Di lain pihak, penanganan kasus korupsi cenderung mengabaikan akar masalahnya dan hanya menjangkau tindak pidana korupsi skala kecil. Misalnya kasus kejahatan  mega-korupsi di kalangan istana, cendana, senjata (militer), dan pengusaha naga (konglomerat) tidak ditangani secara serius bahkan hanya diselesaikan secara adat.

Menurut catatan lembaga Transparansi Indonesia ( TI ) dalam tiga tahun terakhir, kejahatan korupsi didominasi sejumlah lembaga seperti anggota partai politik, DPR, lembaga peradilan, kepolisian dan birokrasi.

Gumpalan es korupsi yang melumer di mana-mana menunjukkan situasi sosial kita yang anomalik, yang bisa mengakibatkan pengusutan korupsi justru menjadi komoditas dan ladang subur korupsi baru.

Uang bukan segalanya, tetapi segalanya membutuhkan uang. Orang bisa tidak tergiur uang berjumlah kecil, tetapi jika berjumlah besar, iman bisa dinomorduakan.

Dalam tradisi budaya kita, kekuasaan apa pun bentuknya dan di lembaga mana pun telah menjadi pusat uang berseliweran. Kekuasaan dan uang tidak dapat dipisahkan. Karena itu, pada tiap pusat kekuasaan: pemerintahan, swasta, partai politik, bahkan lembaga agama, bisa terjadi penumpukan uang dalam jumlah besar, mendorong banyak orang berebut untuk mendapatkannya.

Akibatnya terjadi kecenderungan sakralisasi kekuasaan dan anarki. Kekuasaan dipandang sebagai legitimasi dari langit, menebar pesona dan wibawa yang tidak sembarang orang dapat memperolehnya, membuat tiap orang berusaha mendekatinya.

Transaksi kekuasaan

Setiap sistem pemerintahan baik teokrasi, monarki, oligarki, atau demokrasi. Memiliki kesamaan fungsi, sebagai lembaga kekuasaan untuk mengatur kehidupan rakyatnya sesuai dengan filosofi dan tujuan  sebuah sistem ketatanegaraan.

Untuk mewujudkan tujuan sebuah pemerintahan, maka sebuah sistem membutuhkan aparat sebagai pemegang kekuasaan. Otoritas dan kewenangan pemerintah dibangun secara hirarki, dari kepala negara hingga kepala desa, yang keseluruhannya menggenggam kekuasaan untuk menentukkan kepemimpinannya di wilayah masing-masing.

Selanjutnya, kekuasaan pemerintahan mengeluarkan aturan-aturan untuk rakyat dalam berbagai aspek kehidupan dan bersifat mengikat rakyatnya. Ketika rakyat akan menjalankan aktivitas kehidupannya dalam ruang publik, ia akan bersinggungan dengan aturan-aturan yang dikeluarkan pemerintah dan mereka harus membayar untuk mendapatkan hak dan kekuasaan guna menjalankan aktivitas dalam ruang publik sesuai dengan aturan yang ditetapkan pemerintah itu.

Dalam perkembangannya, pemerintah sebenarnya telah menjelma menjadi lembaga yang melakukan transaksi kekuasaan untuk memberi perlindungan dan perizinan dalam kehidupan masyarakat. Pada awal berdirinya, pemerintah tak mempunyai dana cukup, kecuali kekuasaan itu sendiri, yang lalu ditransaksikan dan mendatangkan uang dalam jumlah makin besar, baik melalui pajak, biaya perizinan, maupun perlindungan.

Dalam hal ini, pemerintah menjelma menjadi lembaga bisnis yang mentransaksikan kekuasaan kepada rakyatnya atau kepada pihak lain yang memerlukan kekuasaan untuk menjalankan kegiatannya dalam ruang publik, seperti investor asing.

Menurut hemat penulis, fenomena pembusukan transaksi kekuasaan yang menyeret tindakan korupsi yang kian menggigantis ini tentu terkait dengan berbagai faktor:

Pertama, pemerintah sebagai pemilik kekuasaan telah berubah menjadi lembaga transaksi kekuasaan. Mulanya lembaga ini diniatkan sebagai lembaga yang menyelenggarakan  kemashlahatan publik telah menjelma sebagai lembaga yang melakukan transaksi kekuasaan.

Kekuasaan itu berupa regulator dan pemegang hak otorisasi; pengumpul pajak; penentu belanja negara; hak menjual barang dan jasa di bawah harga pasar (subsidi); dan wewenang dalam penetapan insentif pajak terutama pajak perdagangan dalam negeri, pemberian hak pengelolaan hutan (HPH),  pemberian hak monopoli atas barang dan jasa tertentu, penjualan aset sektor publik, terutama yang berkaitan dengan pengolahan sumberdaya alam, penjualan BUMN (privatisasi), pemberian hak monopoli ekspor-impor produk tertentu dan sebagainya.

Pendek kata, institusi ini telah menjelma menjadi institusi pasar (bisnis), yang mentransaksikan kekuasaan baik pada rakyatnya maupun pihak lain yang memerlukan kekuasaan untuk menjalankan kegiatannya dalam ruang publik di atas.

Kedua, budaya consumerisme berlebihan, yang telah membuka ruang lebar bagi para pemegangn kekuasaan menjadi pencoleng dan tikus uang rakyat. Konsumerisme adalah sebagai korban dari hyper globalization, anak kandung sah dari hyper capitalism. Dari sinilah mereka menemukan tradisi baru-yang cenderung naluri masyarakat modern dalam bentuk hyper consumerism.

Dalam pelembagaan tradisi yang lebih mengedepankan produk-produk cultural artificial dan makna yang superfisial itu, manusia memang diganggu oleh rangsang yang menyentuh langsung fungsi indrawi atau saraf dipermukaan daging tubuh kita. Godaan semacam inilah yang membuat pejabat publik, cendikia, dan ulama terpana, mengalami dislokasi dan disorientasi.

Maka, keruntuhan yang substansial—dalam simbol-simbol budaya dan makna yang terkandung didalamnya—pun terjadi dan menyeret masyarakat, dengan segala etika sosialnya, pada budaya dan zaman yang gelap.

Selain itu, korupsi dipandang sebagai tuntutan perubahan. Korupsi tidak lagi dipermasalahkan sebagai perbuatan tercela, tetapi sebagai masalah partisipasi sosial atau tuntutan perubahan sosial dan dapat disebut sebagai sindrom anomi, yakni tahu korupsi itu tercela tetapi dilakukan juga.

Di saat budaya korupsi yang dianggap sebagai inovasi (perubahan), maka setiap usaha sekelompok orang yang menolak kekeliruan paradigma ini, dinilai “abnormal” karena tak dapat mengikuti dan mengimbangi  trend zaman yang menormalkan perampokan uang negara.

Yang menggelikan lagi, kondisi di atas dipercantik oleh perilaku para koruptor guna mengelabuhi rakyat dengan menghibahkan ratusan juta rupiah untuk pembangunan fasilitas umum. Dengan kepolosan dan keluguannya rakyat menyanjung tinggi para dermawan gadungan tersebut. Sungguh hal ini, yang menyulap bumi nusantara bak firdaus para koruptor.

Jika hal di atas terus berseliweran dan menjangkiti semua pemegang kekuasaan, bukan hal yang aneh kiranya jika tatanan sosial kenegaraan kita berubah menjadi feodalisme gaya baru dalam frame negara-bangsa.

Untuk mewujudkan mimpi keindonesiaan yang digariskan oleh seluruh rakyat indonesia atas nama proklamasi kemerdekaan.

Maka, selayaknyalah kita tegakkan kembali hukum sebagai semboyan awal republik ini. Sebab, kemerdekaan ialah kepatuhan secara sukarela kepada hukum. Penting kiranya kita merujuk pada kata-kata di atas bahwa hukum adalah tuhan dalam kehidupan bergaul di ruang publik. Guna mengakhiri kesuraman masa depan berbangsa dan bernegara.

Indonesia bukanlah republik undang-undang (UU)—yang lekat syarat politik dan kepentingan parokial belaka—yang dalam setiap pergantian kekuasaan muncul UU baru dan merevisi UU lama. Tapi negara berasas hukum di atas pundi-pundi kepentingan golongan. Maka politisasi hukum merupakan distorsi atas hakikat kemerdekaan sebuah bangsa.

Di bawah payung hukumlah kesetaraan, keadilan sosial dan segala penyelewengan terjaga dari tikus-tikus dan pelaku bisnis kekuasaan. Semoga Indonesia mampu hijrah dari kepengapan kelaliman kuasa menuju kesalehan sosial di masa mendatang!

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.