Ilustrasi: Korupsi

Bupati Bengkulu Selatan Dirwan Mahmud merupakan kepala daerah kedelapan yang dijerat operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi lima bulan terakhir. Terungkapnya berbagai tindak pidana korupsi oleh para politikus memunculkan skeptisisme tentang politik beritegritas. Namun, sesungguhnya korupsi bukanlah suatu keniscayaan politik.

Terdapat sesat pikir yang menempatkan kontestasi kekuasaan sebagai esensi politik demokratis. Selain itu, lemahnya keterkaitan antara kandidat dan publik pemilih berdampak pada mahalnya biaya kontestasi kekuasaan. Dua kekeliruan ini mendorong lahirnya para pemburu kekuasaan sekaligus politikus korup.

Esensi Politik

Dalam tatanan demokratis, tidak ada otoritas yang dapat mengelola kekuasaan tanpa bersandar pada dukungan publik. Dalam tatanan yang sama, Pemilihan Umum (Pemilu) dipandang sebagai mekanisme absah untuk memperoleh dukungan awal bagi otoritas tersebut. Melalui Pemilu, para kandidat memperebutkan dukungan untuk mendapatkan suatu jabatan publik. Kontestasi kekuasaan tersebut menuntut para kandidat mampu meyakinkan publik bahwa mereka adalah pilihan tepat.

Momen Pemilu dipandang amat penting, terutama oleh para politikus di Indonesia kini. Begitu penting sehingga masa sekitar Pemilu kerap disebut ‘tahun politik’. Tahun politik tiba ketika intensitas persaingan politik meningkat dan para politikus gegap gempita mengerahkan segenap sumberdaya untuk memperebutkan jabatan publik. Dengan tahun politik, segenap proses politik yang terjadi di antara dua Pemilu menjadi kalah pamor dibandingkan kontes lima tahunan tersebut.

Sesungguhnya, secara konseptual terdapat kekeliruan dalam cara pandang bahwa inti demokrasi adalah Pemilu. Dalam pemahaman yang cenderung elitis ini, pertarungan untuk memperebutkan kekuasaan dianggap sebagai spirit yang menyokong beroperasinya politik. Konsekuensinya, kehendak untuk menimbang kebaikan bersama, keterlibatan khalayak luas, maupun pertanggungjawaban publik dikebawahkan. Yang diutamakan adalah pemenuhan hasrat dominasi.

Pemilu, tentu saja, penting bagi tatanan demokratis. Tetapi, politik demokratis pada hakikatnya hidup dari permusyawaratan rakyat. Pemilihan pejabat publik, sebagaimana sebagian besar proses politik lain, membutuhkan permusyawaratan rakyat. Tanpa keterlibatan-penuh-kesadaran oleh rakyat, proses politik hanya menjadi transaksi kepentingan antar-elite. Alih-alih berpijak semata pada kontestasi kekuasaan, demokrasi membutuhkan permusyawaratan rakyat sebagai penopang sekaligus syarat keabsahannya.

Secara praktikal, fokus berlebihan pada kontestasi kekuasaan berimplikasi terhadap hubungan antara kandidat dan publik yang cenderung temporer (menguat menjelang Pemilu, melemah sesudahnya). Di tengah lemahnya keterkaitan, dibutuhkan upaya-upaya luarbiasa untuk mendapatkan dukungan publik. Sebagian kandidat menggelar retorika, yang lain menyorongkan propaganda, dan ada pula yang menyuap. Semua dilakukan habis-habisan dalam masa kampanye yang singkat, hanya menjelang Pemilu.

Situasi tersebut berdampak pada besarnya biaya pertarungan ambisius di antara para kandidat. Demi mendapatkan kekuasaan politik, berbagai hal mereka upayakan seketika dengan ongkos yang semakin tidak rasional. Studi Pramono Anung, misalnya, menyebut biaya kampanye seorang calon anggota DPR pada Pemilu 2009 berkisar Rp300 juta hingga Rp6 milyar.

 

Pada Pemilu 2014, total dana kampanye partai politik yang dilaporkan kepada KPU sebesar Rp 3.1 triliun, belum termasuk dana yang dikeluarkan secara individual oleh para kandidat. Sedangkan kampanye Pilpres untuk dua pasang kandidat menghabiskan dana sebesar Rp 478 miliar, di luar dana yang dikeluarkan oleh para simpatisan dan tidak tercatat secara resmi. Pada Pilkada Jakarta 2017, masing-masing dari tiga pasang kandidat mengeluarkan rata-rata dana kampanye lebih Rp 60 miliar.

Angka-angka fantastis tersebut berpeluang menggelembung jika perselisihan Pemilu diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Beperkara di MK memang tidak dikenai biaya. Namun, miliaran rupiah dapat saja dibutuhkan terutama untuk membayar pengacara, mengumpulkan bukti, dan mendatangkan saksi. Elemen-elemen tersebut masih mungkin bertambah dengan adanya biaya suap untuk hakim konstitusi korup.

Bukan mendapatkan wakil rakyat yang sesungguhnya, Pemilu kemudian lebih sering menghasilkan para pemburu kekuasaan. Dalam banyak kasus, besarnya biaya perburuan kekuasaan membuat pejabat terpilih lantas menggunakan logika keuntungan transaksional dalam mengelola kekuasaannya. Ketika remunerasi jabatan tidak sebanding dengan biaya pencalonan, terdapat kecenderungan untuk menjadikan kekuasaan sebagai sarana korupsi.

Integritas Kekuasaan

Kekuasaan politik itu menuntut suatu integritas. Jika integritas dilekatkan sebagai bagian hakiki kekuasaan, kita patut mengkhawatirkan maraknya korupsi politik. Korupsi politik sebagai penggerusan integritas bukan hanya akan meluruhkan kekuasaan; lebih daripada itu, ia mengancam keberlangsungan politik. Politik, sebagai penyelenggaraan kekuasaan negara untuk kesejahteraan umum, dapat terkubur dalam pengakhiran ketika ia tunduk pada pemenuhan kepentingan dominasi.

Akar politik adalah kepentingan, dan kepentingan publik merupakan suatu penghubung yang mempertautkan para pelaku politik. Tindakan-tindakan politik patut bertolak dari dan ditujukan untuk kepentingan publik. Dengan itu relasi mutual antara politikus dan rakyat tidak berlangsung sekejap menjelang Pemilu, melainkan berkelanjutan sepanjang berlangsungnya proses politik. Intensitas relasi selama masa Pemilu lazimnya sekadar memperkuat keterkaitan yang telah terjalin tersebut.

Namun di tengah lemahnya relasi antara pemilih dan yang dipilih, hasil Pemilu kerap berperan sekadar menegaskan dominasi elite pemburu kekuasaan. Gejala pemusatan sumber daya di tangan sejumlah kecil elite juga menjadi faktor penentu di sini. Kontestasi kekuasaan yang semakin terbuka sekaligus berbiaya mahal menempatkan para oligarkh tersebut memiliki peluang lebih besar untuk memenangi perburuan.

Selanjutnya, praktik kroniisme dalam pengelolaan kekuasaan mempertipis kemungkinan Pemilu menjadi afirmasi konsolidasi demokrasi di Indonesia. Ditambah korupsi politik yang sering pula melibatkan para pengusaha pemburu rente, memberi beban berat pada pembaruan Indonesia. Kualitas demokrasi Indonesia tergerogoti oleh korupsi politik yang menyebar seiring menguatnya elitisme, termasuk pembentukan dinasti politik, yang mencari landasan keabsahannya melalui Pemilu.

Untuk melanjutkan perbaikan Indonesia, kita membutuhkan kepemimpinan penuh komitmen dan integritas; ketika ucapan dan perbuatan berjalan seiring, ketika tindakan dipandu oleh keutamaan. Dengan integritas, para pemegang kekuasaan dituntut untuk bertindak otentik. Bukan sekadar tampak baik, tetapi sungguh-sungguh menjalankan amanat.

Kesungguhan untuk memberantas korupsi merupakan tantangan yang mesti segera dijawab oleh segenap elite berkuasa. Jika tidak, terdapat pertanyaan besar tentang keabsahan kekuasaan mereka. Bukankah kekuasaan yang absah adalah kekuasaan yang dapat dipertanggungjawabkan?

Dalam terang kepentingan publik, integritas kekuasaan politik dapat dipulihkan melalui komitmen pada akuntabilitas.

Tulisan ini telah dipublikasikan laman GEOTIMES, 25 Mei 2018.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.