Penanda penting yang mewarnai Kerapatan Besar Pemuda Indonesia (KBPI) II, 28 Oktober 1928, adalah penggunaan bahasa Melayu (Indonesia) sebagai bahasa utama Kongres. Pilihan ini merupakan lompatan radikal dari KBPI I, dua tahun sebelumnya, yang menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa utama. Suatu trajektori baru dalam kesadaran nasional, ditandai oleh penarikan batas antara dunia penjajah dan yang terjajah dalam dunia simbolik.

Tetapi pemancangan tanda baru ini bukanlah perkara mudah. Bagi para pemuda-pelajar yang terdidik dalam persekolahan dan komunitas epistemik bergaya Eropa, penggunaan bahasa Indonesia membawa kesulitan yang serius: menimbulkan kegagapan bagi pembicara dan kebingungan bagi pendengar.

Pengamat resmi dari Belanda, Van der Plas, melaporkan bahwa Soegondo Djojopoespito sebagai pemimpin Kongres tak menguasai bahasa Indonesia secara baik. Dilaporkan pula, ada penolakan secara diam-diam dari beberapa peserta terhadap penggunaan bahasa ini. Sedang beberapa yang lain tidaklah menolak, namun tak mampu menggunakannya; hingga akhirnya terpaksa menggunakan bahasa Belanda. Salah seorang dalam kategori terakhir adalah Sitti Soendari, perwakilan dari Poetri Indonesia.

Tetapi komitmen kebangsaan membuat hal yang sulit membangkitkan tekad untuk menaklukkannya. Hanya selang dua bulan sejak peristiwa itu, Sitti Soendari secara heroik sanggup berpidato dalam bahasa Indonesia pada Kongres Perempuan Indonesia, 22-25 Desember 1928. Perubahan dahsyat dalam tempo cepat dari keberanian seorang Sitti Soendari menggunakan bahasa Indonesia, dengan melepaskan diri dari bahasa ibunya (Jawa) dan bahasa keduanya—dan juga bahasa intelektualnya (Belanda), merupakan simbol dari kuatnya komitmen kebangsaan baru.

Komitmen menggunakan bahasa baru ini menandai transformasi dari ”ethno-nationalism” menuju ”civic nationalism”. Gerakan-gerakan kebangkitan yang semula terkungkung dalam komunitas-komunitas berbasis etno-religius yang bersifat lokal dan fragmentaris, mulai mempertautkan diri ke dalam komunitas politik impian yang bersifat lintas-kultural, bernama ”Indonesia”.

Pada titik ini, nasionalisme sipik tumbuh melalui proses demistifikasi ikatan warga dengan simbol-simbol primordialnya. Seturut dengan itu, fantasi inkorporasi baru dihidupkan berdasarkan konsepsi kewargaan yang bersifat teritorial (territorial conception of citizenship), yang menjalin solidaritas atas dasar kesamaan tumpah darah—sama-sama anak negeri terjajah

Komitmen kebangsaan kaum muda ini terbukti tidaklah bertepuk sebelah tangan. Menyusul peristiwa Sumpah Pemuda, berbagai organisasi pergerakan dari berbagai latar etnis-keagamaan mulai mengintegrasikan diri ke dalam keindonesian dengan membubuhkan kata “Indonesia” dalam namanya. Sarekat Islam bermetamorfosis menjadi Partai Sjarikat Islam Indonesia (PSII) pada 1929. Budi Utomo bertransformasi menjadi Partai  Indonesia  Raya (Parindra) pada 1935. Komunitas Protestan mulai mendirikan Partai Kaum Masehi Indonesia  (PKMI) pada 1930, disusul kemunculan Federasi Perkumpulan Kristen Indonesia  (FPKI) pada 1939. Komunitas Katolik mendirikan Persatuan Politik Katolik Indonesia (PPKI) pada 1938. Komunitas agama-agama lain seperti Hindu-Buda mempertautkan diri dengan ke-Indonesia melalui keterlibatan anggota-anggotanya dalam berbagai pergerakan dan partai politik yang ada.

Pengikatan bersama komitmen kebangsaan dari berbagai identitas kolektif (etnis, agama, kelas dan jender) ini pada akhirnya berhasil mengantarkan bangsa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaannya. Sejarah membuktikan, nasionalisme politik Indonesia cukup mampu merajut kepentingan masyarakat plural yang sulit menemukan kehendak bersama.

Tetapi, keampuhan nasionalisme sipik ini baru teruji sebagai kekuatan nasionalisme negatif-defensif, ketika dihadapkan pada keburukan musuh bersama dari luar (penjajahan). Padahal, dengan berlalunya kolonial, proyek kebangsaan Indonesia yang berlandaskan pada penemuan ”batas” dan ”lawan” dengan kolonial itu tak bisa lagi dipertahankan.

Nasionalisme politikal dituntut merealisasikan cita-cita kemerdekaan dan tujuan nasionalnya. Untuk mempertahankan kehendak bersama dan solidaritas nasional, nasionalisme harus memecahkan masalah-masalah konkrit, yang sumber-sumber masalahnya tidak bisa melulu dialamatkan kepada kejahatan musuh dari luar. Dan ketika nasionalisme sipik gagal merealisasikan janji-janjinya, maka anasir-anasir etno-nasionalisme akan menguat kembali.

Untuk masa yang panjang terdapat ketidakselarasan antara watak kenegaraan dan watak kebangsaan. Watak multikultural kebangsaan Indonesia dinafikan oleh watak sentralistik bangun kenegaraan. Ketimpangan antara pusat dan daerah terjadi dengan pengingkaran terhadap hak-hak politik, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat lokal.

Karena penguasaan kapital oleh segelintir pihak di titik pusat, persebaran kapital yang melicinkan mobilitas vertikal dan horizontal terhambat. Sifat insular negri kepulauan yang menyulitkan kontak dalam intensitas tinggi tak menemukan jembatan katalisnya.

Akibatnya, Indonesia sebagai masyarakat plural terkunci dalam situasi ”plural monokultralisme”; terdiri dari banyak etnis yang hidup dalam kepompong budayanya masing-masing, dengan keterhambatan proses penyerbukan silang budaya secara alamiah.

Pengikatan komitmen kebangsaan dari jaringan komunalisme ini sekedar bertumpu pada solidaritas emosional yang tersisa dari warisan kesamaan sejarah, bahasa,dan budaya-keagamaan. Tanpa solidaritas fungsional yang lahir karena persamaan kepentingan dan pemenuhan kesejahteraan bersama, komitmen kebangsaan mudah retak oleh gerak sentrifugal dari ingatan pedih ketidakadilan dan keterkucilan.

Dengan proses belajar kolektif lebih banyak dimediasikan oleh paguyuban yang tertutup, ketimbang oleh asosiasi yang terbuka, dunia simbolik yang menyediakan kerangka interpretasi sosial lebih membiaskan gramatika komunalisme. Akibatnya, kekecewaan sosial-ekonomi sering disublimasikan ke dalam sentimen etno-religius. Ketika nasionalisme politik tak banyak memberi makna bagi kehidupan rakyat, terutama di daerah, gramatika komunalisme akan memudahkan rakyat berpaling ke etno-nasionalisme sebagai cara menemukan makna dan harapan.

Delapan puluh tahun sejak Sumpah Pemuda digulirkan, proyek kebangsaan Indonesia belumlah tuntas. Komitmen kebangsaan harus dipulihkan kembali, dengan jalan menghidupkan konsepsi nasionalisme yang lebih positif-progresif. Nasionalisme yang tidak melulu bersandar pada apa yang bisa kita lawan, melainkan juga pada apa yang bisa kita tawarkan. Nasionalisme sejati haruslah berarti bukan sekadar mempertahankan melainkan juga memperbaiki keadaan negeri. Tugas perjuangan pemuda, bukan hanya menjebol yang buruk, tapi juga sanggung membangun hal-hal yang positif. Semoga!

Tulisan pernah dipresentasikan pada seminar Persekutuan Gereja Indonesia.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.