Ilustrasi. (Sumber: radarmiliter.blogspot.co.id)

TIBA-TIBA mendadak Desember lagi. Waktu melesat bagai kilat, meninggalkan jejak masalah tak kunjung lenyap. Resolusi baru harus dibuat sebelum resolusi lama terpenuhi. Masalah kian kompleks, namun daya baca kita kian cetek. Menjalani momen-momen padat politik, kita berkejaran dengan waktu untuk menghindari merenggangnya kohesi sosial, yang bisa kian menambah beban persoalan, ketimbang menyelesaikan tumpukan persoalan yang tertunda.

Pergantian tahun mestinya menjadi momen kelahiran kembali semua orang. Bunyi bel dan terompet pergantian tahun menandai ritus peralihan: mengeluarkan yang buruk ke masa lalu, memasukan yang baik ke masa depan.

Dalam menyikapi yang lama dan yang baru, ada dua jenis kebebalan yang harus dihindari. Seseorang berkata, “Ini tua, oleh karena itu bagus.” Yang lain menukas, “Ini baru, oleh karena itu lebih baik.” Padahal, esensinya bukanlah yang lama atau yang baru, melainkan kebaikan apa yang didapat dari yang lama dan yang baru. Dalam mengarungi masa depan, sikap terbaik adalah “mempertahankan warisan masa lalu yang baik, seraya mengambil hal-hal baru yang lebih baik.”

Krisis Indonesia terjadi karena dalam menjalankan Reformasi banyak elite politik yang menempuh trayek yang salah: mempertahankan yang buruk, membuang yang baik. Tradisi korupsi lebih giat dipertahankan, tetapi tradisi pelayanan publik lebih malas dikembangkan. Kepedulian kuasa lebih diarahkan untuk mempertahankan kekuasaan dengan kiat korupsi, kolusi dan nepotisme yang lebih bebal. Ketimbang mengembangkan nilai-nilai baru pemerintahan yang baik dan bersih.

Nilai kehidupan

Luput dari keinsyafan, bahwa nilai kehidupan tidaklah ditentukan oleh tahun-tahun dalam kehidupan kita. Melainkan, oleh kehidupan kita dalam tahun-tahun tersebut. Bukan berapa lama kita berkuasa, melainkan nilai apa yang kita berikan selama berkuasa. Sebaik-baiknya kekuasaan adalah semakin lama berkuasa, makin banyak kebaikan yang ditanam. Seburuk-buruknya kekuasaan adalah semakin lama berkuasa, makin banyak keburukan yang ditinggalkan.

Pangkal keburukan kekuasaan bermula ketika orang lebih terobsesi “cinta kekuasaan” (the love of power) ketimbang “kekuasaan untuk mencintai” (the power to love). Krisis kenegaraan di negeri ini terjadi karena jagat politik lebih didekap oleh orang-orang yang mencintai kekuasaan ketimbang kekuasaan untuk mencintai.

Di dalam krisis yang membutuhkan kekuasaan yang lebih bertanggung jawab pada kebaikan hidup bersama, para pemimpin justru lebih mencintai kekuasaan yang melayani kepentingannya sendiri. Seperti ironi yang dikeluhkan Thomas Paine, “Ada saat-saat yang menguji jiwa manusia. Tentara tua (summer soldier) dan patriot muda (sunshine patriot), dalam krisis ini, menghindarkan diri dari pelayanan terhadap negerinya.”

Kemiskinan terparah bangsa ini bukanlah kemiskinan sumberdaya, melainkan kemiskinan jiwa. Di tangan para pemimpin dengan mental pengemis, yang tak bisa memberi-melayani, hanya bisa diberi-dilayani. Seberapa banyak pun kekayaan sumberdaya yang kita miliki tak akan membawa kesejahteraan bagi rakyatnya.

Oleh karena itu, pada momen menjelang kelahiran kembali semua orang di tahun baru nanti, yang perlu kita hidupkan adalah kekayaan jiwa: the power of love. Cinta adalah obat bagi yang sakit, lilin bagi kegelapan, dan harapan bagi kebuntuan.

Kebanyakan penyakit ditimbulkan oleh kalbu yang kusut. Kekusutan jiwa dihantarkan ke dalam tubuh, menimbulkan ketegangan antara hati yang sakit dan tubuh yang sehat, berujung pada kerontokan. Obat paling mujarab untuk sakit mental, menurut Sigmund Freud, adalah cinta. Sedemikian kuatnya daya kuratif cinta sehingga Freud memandang “psikoanalisis pada hakikatnya merupakan pengobatan lewat cinta”.

Cinta menimbulkan banyak perbedaan. Orang yang bangkit dari keterpurukan kerap menuding kasih orangtua atau guru yang memotivasinya untuk berubah secara positif. Secara historis, jalan cinta inilah yang membuka jalan pembebasan Indonesia; membuat ide nasionalisme berpendar dari lingkaran “wong elite” menjadi kesadaran “wong alit” (kecil).

Mengenali arah perjuangan

Bung Karno mengingatkan, seorang pemimpin dengan ketulusan cinta kepada bangsanya harus mampu membujuk rakyat untuk mengenali arah perjuangan yang hendak dituju. Pemimpin harus dapat membangkitkan keyakinan jika mereka mampu mencapai tujuan. Dan pemimpin harus bisa mendorong rakyat bertindak menggapai tujuan yang telah ditetapkan. Inilah yang disebut Soekarno sebagai trilogi daya cinta kepemimpinan: spirit kebangsaan, tekad kebangsaan, dan perbuatan kebangsaan.

Ketahanan daya cinta ini pula yang menjaga nafas kebangsaan. Di tengah cengkeraman korupsi, kekerasan, dan mafioso, kita memang jarang mendengar kisah perjuangan, kepahlawanan, dan keberhasilan. Tetapi sesungguhnya negeri ini masih menyimpan banyak pejuang cinta tanpa pamrih. Misalnya “Suster Apung” Andi Rabiah, yang dengan kekuatan cintanya mampu menyirami bumi yang kering, merenda kembali dunia yang terkoyak.

Cinta memperoleh pemenuhannya bukan pada apa yang bisa ia dapatkan, melainkan pada apa yang bisa ia berikan. “Apa yang kuharap dari anakku, sudahkah kuberikan teladan baginya. Apa yang kuharap dari rakyatku, sudahkah kupenuhi harapan mereka,” ujar Lao Tzu.

Menjelang tahun baru, seribu masalah menghadang kita, namun kekuatan cinta akan membuat yang sempit menjadi lebar, yang pengecut menjadi pemberani, yang miskin menjadi kaya. Kekuatan cinta akan mentransformasikan politik kecemasan menjadi harapan. Dengan menghidupkan visi pembebasan yang mempertimbangkan warisan baik masa lalu, peluang masa kini, serta keampuhannya mengantisipasi masa depan. Visi ini harus menjadi kenyataan dengan memperkuat kapasitas transformatif kekuasaan, lewat aktualisasi politik harapan.

Menurut Donna Zajonc, dalam The Politics of Hope, untuk merealisasikan politik harapan suatu bangsa harus keluar dari tahap anarki, tradisionalisme, apatisme menuju penciptaan pemimpin publik yang sadar. Pada tahap pertama, seluruh tindakan politik diabsahkan menurut logika pemenuhan kepentingan pribadi, yang menghancurkan sensibilitas pelayanan publik.

Pada tahap kedua, untuk mencapai sesuatu pemimpin mendominasi dan memarginalkan orang lain. Pada tahap ketiga, peluang-peluang yang dimungkinkan demokrasi tak membuat rakyat berdaya, justru membuatnya apatis.

Pada tahap keempat, tahap politik harapan, para pemimpin menyadari pentingnya merawat harapan dan optimisme dalam situasi krisis, dengan cara memahami kesalingtergantungan realitas serta kesediaan bekerjasama menerobos batas-batas politik lama. Kekuasaan digunakan untuk memijarkan keteladanan, memberi motivasi dan inspirasi yang memungkinkan orang lain mewujudkan keagungannya. Warga menyadari pentingnya keterlibatan dalam politik sipil dan aktivisme sosial untuk bergotong-royong merealisasikan kebajikan bersama.

Menyehatkan perbedaan

Dalam semangat gotong-royong, kita bisa menyikapi perbedaan pilihan politik secara lebih dewasa, sebagai wahana saling belajar dan saling menyempurnakan. Perbedaan kerangka dukungan, seperti menjelma dalam poros pendukung petahana versus oposisi, bisa konstruktif sejauh perbedaan itu disikapi dalam spirit “yin dan yang”.

Seperti memandang kehadiran malam (gelap) dan siang (terang)—dua hal yang tampak berbeda namun saling melengkapi sebagai bagian dari kesatuan kesempurnaan kehidupan. Dalam semangat seperti itu, perbedaan pengelompokan politik dengan segala turunan perbedaan pilihan, platform, perilaku dan identitas kolektifnya bisa membuat masing-masing pihak terpacu mengembangkan kompetisi yang sehat.

Kritik dan konter-argumen pihak lawan bisa menjadi batu uji untuk mengetahui dan mengatasi kelemahan sendiri, demi penyempurnaan visi, misi dan program politik yang diusung untuk kebajikan publik.

Perbedaan bisa destruktif manakala disikapi dengan spirit “Manichaean, yang memandang pihak lawan dalam kerangka pertempuran antara “Ahuramazda” (kekuatan terang) versus “Ahriman” (kekuatan gelap).

Dua kekuatan yang tak bisa didamaikan. Sehingga persaingan harus diakhiri dengan jalan yang satu mematikan yang lain. Dengan spirit seperti itu, kritik diproduksi dan dipandang sebagai cara menjatuhkan. Apapun argumen dan program lawan dianggap salah.

Politik kehilangan daya refleksivitasnya, karena tidak menemukan cermin untuk mengaca kelemahan dan kekurangan sendiri dari perspektif yang berbeda. Sikap politik seperti itu memuluskan jalan menuju fasisme: untuk keberadaan suatu warna politik, warna lain harus dilenyapkan.

Perkembangan ke arah spirit politik “Manichaean” merupakan disrupsi besar dalam ideal-ideal budaya politik Indonesia. Budaya politik bangsa ini diidealisasikan bertumpu di atas nilai-nilai kegotong-royongan: satu untuk semua, semua untuk satu. Perbedaan garis politik dimungkinkan, namun tetap dalam kerangka semangat kekeluargaan yang dinamis.

Budaya politik gotong-royong itu merupakan pancaran dari dunia kosmologi religi primordial di Tanah Air yang pada umumnya bercorak iluminasionisme. Bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini merupakan pasangan-pasangan yang saling mengidentifikasi, saling melengkapi, saling bergantung yang terpancar dari sumber yang sama.

Berbeda dengan logika Aristotelian, yang menolak adanya kebenaran pada kedua sisi yang saling bertentangan, logika primordial suku-suku bangsa Indonesia cenderung bersifat mono-dualisme atau mono-pluralisme. Bahwa hidup berkembang dalam logika dwitunggal, loro ning atunggal (dua yang menyatu): siang-malam, laki-perempuan, terang-gelap dan seterusnya. Bahkan, yang “beragam itu” (Bhinna ika), pada dasarnya bisa dilihat sebagai “satu itu” (tunggal ika). Segala Keragaman yang saling bergantung itu merupakan pancaran (iluminasi) dari “Yang Esa” (Tuhan), yang tidak bergantung (Sumardjo, 2014).

Dengan pandangan hidup seperti itu, etos budaya Nusantara bersifat adaptif, gradualistik, estetik dan toleran. Perbedaan bukan sesuatu yang harus ditolak atau paling jauh hanya bisa ditolerir selama tidak membahayakan. Sebaliknya, perbedaan harus diterima secara riang gembira sebagai bagian dari kesempurnaan hidup, yang menimbulkan semangat untuk saling menyerap, saling berbagi, saling menghormati.

Pergeseran dalam menyikap perbedaan itu merupakan akumulai dari krisis yang berlangsung pada ranah mental-kultural (karakter bangsa), ranah institusional, dan ranah material. Bahwa perkembangan ketiga ranah tersebut telah melenceng dari imperatif moral Pancasila.

Hanya dengan jalan mengusahakan transformasi mental-kultural, institusional, dan material berlandaskan Pancasila, kita bisa mencegah perluasan spirit Manichaean dalam jagat politik kita. Spirit yang bisa merobohkan rumah kita bersama.

Negara ini memang menyimpan banyak masalah, namun dengan ketabahan yang dilandasi kekuatan mencintai untuk bersatu dan berbagi, kita masih bisa berdiri di garis optimisme. Dengan semangat kebersamaan dalam perbedaan, kekuatan cinta mengatasi cinta kekuatan.

Di dalam kekuatan cinta, sesulit apa pun tantangan dan krisis yang kita hadapi, “kita akan tetap menjadi bangsa yang kuat. Yang ototnya kawat, dan balungnya besi, yang di dalam tubuhnya bersarang jiwa yang terbuat dari zat yang sama dengan zatnya halilintar dan guntur”.

Tulisan ini telah diterbitkan di harian Media Indonesia, Jumat, 14 Desember 2018.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.