Ilustrasi: Rantai Kemiskinan

Setiap 17 Oktober, jutaan warga dunia di berbagai belahan dunia berkumpul dan turun ke jalan untuk memperingati Hari Pemberantasan Kemiskinan Sedunia (International Day of Poverty Eradication). Upaya tersebut merupakan cara warga dunia mengingatkan kembali para pemimpin negara akan target pengentasan kemiskinan di setiap wilayah kekuasaan mereka.

Sejak disahkan Dewan Majelis Umum PBB melalui sebuah resolusi, 17 Oktober secara resmi diperingati sebagai Hari Pemberantasan Kemiskinan Sedunia. Semua negara anggota diminta memperingati momen tersebut dengan harapan muncul kesadaran bersama mengentaskan problem sengkarut yang telah membawa negara dalam situasi kehancuran.

Dalam kerangka di atas, pada 17 Januari 2005 silam, PBB menerbitkan laporan khusus mengenai pengurangan kemiskinan dengan tajuk “Investing in Development.” Dibalik dokumen setebal 3000 halaman itu ada ambisi untuk mewujudkan salah satu tujuan yang dicanangkan dalam Millenium Development Goals (MDGs) yaitu mengurangi hingga setengah jumlah penduduk dunia yang berpenghasilan kurang dari 1 dolar per hari. MDGs sendiri merupakan proyek kemanusiaan yang dicanangkan PBB dalam kurun waktu 15 tahun (2000-2015), dan disepakati oleh seluruh anggotanya, termasuk Indonesia.

Target itu ternyata meleset. Bagi Indonesia, pengurangan kemiskinan seharusnya bisa mencapai 9,5 hingga 10,5 persen, atau jika dikonversi ke jumlah penduduk sekitar 900 ribu hingga 3,46 juta jiwa. Namun, hingga 2015, pemerintah hanya mampu menurunkan angka kemiskinan sebesar 80 ribu atau 0.09 persen.

Merujuk pada laporan Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2016, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di Indonesia mencapai 28,01 juta orang (10,86 persen), berkurang sebesar 0,50 juta orang dibandingkan dengan kondisi September 2015 yang sebesar 28,51 juta orang (11,13 persen).

Jumlah presentase penduduk miskin di kota selama periode September 2015 hingga Maret 2016 mengalami penurunan dari 8,22 persen menjadi 7,79 persen. Sementara presentase penduduk miskin di desa mengalami peningkatan dari 14,09 persen menjadi 14,11 persen pada periode yang sama.

Ada banyak faktor penyebabnya. Merujuk pada data BPS, peningkatan angka kemiskinan dalam kurun waktu September 2014 hingga Maret 2016 disebabkan oleh faktor harga pangan, di antaranya beras, rokok kretek filter, telur ayam ras, gula pasir, mie instan, bawang merah dan roti. Faktor lain yang turut berkontribusi yakni biaya perumahan, listrik, bensin, pendidikan, dan perlengkapan mandi.

Rilis yang dikeluarkan BPS di atas tentu dengan batasan yang ditetapkan lembaga tersebut bahwa pengeluaran per orang setara dengan harga makanan senilai 2100 kalori per hari ditambah kebutuhan minimal perumahan, pendidikan, kesehatan, dan transportasi. Namun, bila mengacu pada standar Bank Dunia yang mendefinisikan orang miskin dengan pendapatan di bawah 2 dolar per hari, jumlah masyarakat miskin Indonesia akan membengkak.

Kita tidak perlu berdebat soal standar mana yang seharusnya dipakai. Pemerintah tentu lebih senang menggunakan standar buatan dalam negeri. Akurasi mungkin salah satu alasan yang masih diperdebatkan, namun yang pasti tidak ada pemerintah yang nyaman dengan angka kemiskinan yang tinggi.

Kemiskinan merupakan persoalan pembangunan, dan solusinya adalah pertumbuhan yang diwakili oleh tingkat pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita, dan produk nasional bruto (gross national product). Inilah inti teori modernisasi yang berkembang sejak masa 1950-an dan menjadi slogan favorit para despot maupun demokrat.

Kalau disimak secara seksama, korupsi adalah muara dan penyebab utama seluruh peristiwa kemiskinan, ketimpangan, keterbelakangan, dan kebodohan, selain juga karena model pembangunan yang dipraktekkan pada masa lalu yang melulu berkutat pada tingginya pemasukan nasional, tanpa pernah melihat faktor-faktor lain sebagai instrumen pendukukung penting pembangunan.

Pengalaman telah menunjukkan bahwa pola pembangunan yang selama ini digalakkan ternyata sulit sekali menciptakan kesetaraan dan keadilan. Sungguh pembangunan ekonomi yang telah dicapai tak serta merta membawa kehidupan fisik menjadi lebih baik. Di sinilah letak persoalannya, di mana negara hanya beroperasi sebagai pelayan segelintir orang atau kelompok saja, sehingga kelompok-kelompok di luar “mainstream” dengan sendirinya termarjinalkan yang akhirnya mencipta kemiskinan.

Tiadanya kesempatan yang sama dalam meraih pendapatan adalah sumber dari terciptanya kemiskinan. Pendapat ini sekaligus menegasi asumsi yang menyatakan bahwa kemiskinan yang tercipta adalah karena kurangnya kemampuan dalam diri seseorang, sebagaimana argumentasi kaum neoliberal. Yang ingin ditegaskan, jika setiap orang mendapat kesempatan yang sama untuk meraih pendapatan, dan dengan itu ia bebas, maka pada saat itulah kemiskinan bisa berkurang.

Mesti dimengerti, bahwa kemiskinan merupakan senjata yang ampuh untuk menciptakan lingkaran kekacauan (chaotic order) dalam sebuah negara, jika tidak ada pemecahan melalui kebijakan suatu negara. Sehingga sudah menjadi suatu keharusan bahwa usaha memerangi kemiskinan terutama dapat diwujudkan dengan melakukan ‘investasi kebijakan’ dalam kerangka negara, menjadi kebutuhan yang niscaya yang tidak bisa ditunda lagi.

Masalah kemiskinan dan keterbelakangan bukan tidak mungkin dipecahkan. Banyak sekali pemikiran mengenai negara kesejahtetaan (welfare state) yang masih parkir di universitas-universitas, perpustakaan, para akademisi, yang membutuhkan suatu inisiatif politik, dan yang membutuhkan keterampilan untuk dapat mengeluarkan kebijakan pertumbuhan yang pro-rakyat miskin (pro-poor growth). Yang terpenting adalah bagaimana memperkuat peran negara agar tetap tumbuh dan dikawal oleh semangat civic (kewargaan), sehingga tidak peduli partisipasi politik dari spektrum manapun, semangat patriotik untuk membangun negara tetap hidup, tetap memperjuangkan agenda ‘negara sebagai wahana humanisasi’.

Indonesia sesungguhnya tidak kekurangan orang pandai, melainkan kekurangan penggiat civic spirit. Dalam arti bahwa banyak bakat, kepandaian, dan harta benda orang-orang baik musnah akibat tidak adanya governance yang baik. Masalah korupsi, perampasan sumbangan masyarakat banyak dalam APBN hanya untuk mengusung para pengemplang hutang, orang baik yang terjebak di dalam komunitas yang begitu rusak sehingga orang baik menjadi rusak demi survival-nya, dan sebagainya. Fakta inilah yang mesti kita pikirkan, bahwa kita mesti menempatkan kembali peran negara yang sesungghnya yakni sebagai pelayan kepentingan masyarakat banyak, sebagai wahana humanisasi warga negara.

Humanitarianisme, meminjam gagasan Soedjatmoko, merupakan orientasi dasar ke arah kepentingan dan kesejahtaraan manusia. Perspektif ini menuntut agar apapun yang menjauhkan kita dari kesejahteraan hidup manusia dipertanyakan, tanpa memandang akibatnya bagi pertumbuhan ekonomi, kekuasaan politik, atau stabilitas tata keteraturan tertentu. Humanitarianisme merupakan kelanjutan dari kesadaran bahwa masing-masing dari kita tak lebih dan tak kurang adalah mahluk insani. Martabat manusia, bagaimanapun hal itu didefinisikan, dimiliki oleh masing-masing dari kita secara merata.

Memang, humanisme bukan merupakan resep untuk memecahkan berbagai dilema, melainkan sebuah kerangka untuk mengenali dilema-dilema kita. Kendati demikian, bila kesejahteraan manusia telah diletakkan dengan begitu kokoh sebagai pusat perhatian kita, masih terdapat begitu banyak persoalan yang harus diselesaikan dalam berbagai macam situasi. Perspektif humanitarianisme mencakup orientasi etis yang membantu kita dalam upaya menangani persoalan-persoalan yang sulit itu; suatu etika mengenai solidaritas manusia.

Gambaran mengenai solidaritas manusia mengimplikasikan suatu perubahan perspektif yang hampir menyerupai revolusi Copernikan; yaitu perubahan dari pandangan yang berpusat pada negara-kebangsaan ke pandangan di mana sistem negara berkisar di sekitar kesamaan kepentingan manusia, dengan kesejahteraan manusia sebagai tujuan utamanya.

Masih banyak pekerjaan rumah yang mesti digarap secara lebih serius dengan tidak lagi terjebak pada simbol-simbol dan slogan-slogan atau demi mencari popularitas semata. Kita harus sadar bahwa nilai-nilai pokok dalam kehidupan manusia adalah martabat manusia dan keadilan sosial, sehingga manusia semestinya berpihak dan sepenuhnya mengabdikan diri pada upaya mempertahankan kedua hal tersebut. Perlu komitmen yang kuat dari pemerintah dan berbagai golongan untuk mengatasi berbagai masalah yang ada. Sehingga kita bisa berpandangan optimis bahwa target pengurangan jumlah orang miskin pada tahun depan benar-benar terwujud.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.