Masa kampanye Pemilihan Presiden (pilpres) 2019 belum dimulai, pasangan capres-cawapres pun belum ditetapkan KPU, namun tensi politik sudah mulai memanas. Dua tagar di medsos, #2019GantiPresiden dan #JokowiDuaPeriode, mulai ramai diangkat.

Panasnya suasana akibat tagar tersebut tidak hanya di dunia maya, melainkan terjadi juga di dunia nyata. Kisruh berupa pengadangan, penolakan, dan aksi demo terhadap deklarasi dan diskusi #2019GantiPresiden jadi penyebab munculnya eskalasi di masyarakat.

Langkah aparat keamanan dalam merespons acara deklarasi dan diskusi semacam itu dapat dipahami. Alasan bahwa acara tersebut berpotensi ricuh cukup kuat karena di lapangan terdapat dua kubu yang berhadapan. Waktu yang saat sekarang ini belum memasuki masa kampanye merupakan alasan tambahan dari respons tersebut.

Fragmentasi

Dampak dari kedua tagar cukup jelas terlihat. Fakta di lapangan, saat ini terjadi fragmentasi di masyarakat. Pembelahan di masyarakat tersebut tentu tidak semata akibat tagar, karena tanpa tagar pun dukungan akar rumput tetap akan terpolarisasi. Hal ini karena kontestan di pilpres nanti langsung head to head antara Presiden Jokowi melawan Prabowo.

Namun demikian, tagar tetap berperan dalam terjadinya fragmentasi, yaitu mempertegas fragmentasi. Tagar kemudian menjadi identitas atau “nama kamar” tempat kedua kubu masing-masing berada. Dengan tagar, orang menjadi semakin mudah terkotak-kotak.

Dengan demikian, secara moral, tagar turut bertanggung jawab terhadap terjadinya fragmentasi tersebut. tagar memperuncing polarisasi di tengah masyarakat ke dalam dua kubu yang saling berhadapan.

Rugikan Jokowi

Meskipun Bawaslu, berdasarkan UU no 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, tidak mempermasalahkan kedua tagar di atas, dan membacanya hanya sebagai penyampaian aspirasi rakyat, sehingga kedua tagar tersebut dinilai Bawaslu bukan merupakan bentuk kampanye. Namun akal sehat mengatakan dengan mudah bahwa kedua tagar tersebut ada dalam rangka kontestasi Pilpres 2019. Artinya, kedua tagar tersebut merupakan alat untuk kampanye. Di sini, terlihat bahwa bagian analisis di Bawaslu tampak lemah sehingga menelurkan hasil analisis yang lemah.

Karena masa kampanye belum dimulai, kedua tagar tersebut jika terus digaung-gaungkan, bisa dibaca sebagai kampanye terselubung. Jika dilakukan satu pihak, dapat disebut curi kampanye. Karena kedua tagar tampaknya sudah sama-sama digaung-gaungkan, kita dapat menilai bahwa kedua kubu tampak melakukan kampanye terselubung.

Pengadangan atau persekusi adalah masalah lain. Dalam hal persekusi terhadap deklarasi #2019GantiPresiden, tindakan ini secara politik berpotensi merugikan Jokowi. Sebagai penguasa, dengan adanya tidakan tersebut, Jokowi bisa saja terlihat melakukan kebijakan tidak demokratis. Pengadangan atau persekusi dilapangan bisa saja dibaca sebagai penerjemahan atas kebijakan sang penguasa. Publik tidak melihat bahwa yang di lapangan itu kelompok berseberangan dan polisi, melainkan siapa penguasa. Kekhawatirannya, tindakan pengadangan atau persekusi terhadap deklarasi #2019GantiPresiden bisa menurunkan elektabilitas Jokowi.

Pertarungan Hidup-Mati

Kenapa tagar #2019GantiPresiden memunculkan kontroversi. Karena tagar tersebut bermakna mengganti kepemimpinan presiden Jokowi dengan presiden baru. Makna ini yang tampak dilawan kelompok politik petahana.

Setiap kontestasi politik pasti meruncing karena karakter kontestasi politik selalu bermakna hidup atau mati. Begitu pun Pilpres 2019, merupakan pertarungan hidup-mati.

Setiap kontestasi politik pasti meruncing karena karakter kontestasi politik selalu bermakna hidup atau mati. Begitu pun Pilpres 2019, merupakan pertarungan hidup-mati.

Berbagai strategi, termasuk tagar, boleh saja dilakukan. Namun demikian, harus dijaga agar pertarungan hanya sebatas verbal. Demokrasi pada intinya adalah pertarungan, dan pertarungannya bersifat hidup atau mati. Artinya, kemenangan politik suatu pihak berarti kematian politik pihak lain.

Namun demikian, hidup-mati dalam demokrasi tidak berarti hidup-mati secara fisik, melainkan hanya secara politik. Pemenang pertarungan politik meraih kekuasaan. Sementara pihak yang kalah berarti harus menerima berada di luar kekuasaan. Hidup-mati secara politik ini tidak berlangsung selamanya, melainkan secara periode bisa berganti posisi. Artinya, kekalahan dalam satu periode kontestasi tidak berarti kiamat. Di negeri kita, setiap lima tahun arena kontestasi akan kembali dibuka.

Dengan demikian, sikapi pilpres ini secara biasa saja. Menang-kalah dalam politik demokratis adalah hal biasa. Sikapilah kontestasi pilpres dengan enak dan riang gembira, karena setiap lima tahun kita akan ketemu dengan momen ini kembali.

Satu hal yang harus diutamakan oleh semua pihak yang terlibat dalam pertarungan politik ini adalah saling menghargai dan selalu bersikap rasional. Pada masa kampanye nanti, kemukakan visi-misi, program kerja, dan rekam jejak. Hal terakhir ini lebih baik untuk dijadikan penekanan, demi kepentingan bangsa dan negara.

Tulisan ini telah dipublikasikan di Kumparan, 3 September 2018.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.