Kunjungan Hillary Clinton membuat kita siuman dari ketidaksadaran akan adanya prestasi bangsa ini. Tidaklah berlebihan jika Amerika Serikat menempatkan Indonesia sebagai titik strategis dalam poros Asia dan dunia Islam.

Daftar kunjungan Clinton menunjukkan ”regional belt” yang sesungguhnya. Jepang, Indonesia, Korea Selatan, China adalah wajah terdepan dari ”Asia-Pasifik”.

Di Asia Tenggara, Indonesia adalah satu-satunya negara dengan perkembangan demokrasi yang positif. Thailand mengalami ketidaktentuan. Malaysia terkendala ”two-tier democracy”. Filipina bermasalah dalam pranata demokrasi, dengan angka kedua tertinggi di dunia menyangkut pembunuhan jurnalis dengan motif politik. Brunei dianggap ”so and so”. Singapura tetap penting dalam perekonomian, tetapi bukanlah model demokrasi. Myanmar adalah problem dunia. Indochina masih ruwet. Untuk Asia Tenggara, Indonesia adalah ”belt of stability”.

Dalam pendekatan baru dengan dunia Islam, Timur Tengah adalah masa lalu, adapun Indonesia masa depan. Negara berpenduduk Muslim terbesar, dan demokrasi terbesar ketiga, di dunia, dengan watak keterbukaan, moderasi, dan toleransi yang menonjol, bisa dijadikan acuan baru dalam tata hubungan berbasis kekuatan cerdas dan kebersamaan nilai kemanusiaan.

Fakta menunjukkan, di antara sesama negara demokratis, permusuhan lebih jarang terjadi. Usaha AS memperbaiki hubungan dengan dunia Islam bisa dilakukan dengan membantu negara demokratis dalam peradaban itu mengukir kisah sukses. Keberhasilan demokrasi Indonesia, secara ekonomi-politik, akan memperkuat pengaruhnya yang akan menularkan pengadopsian tatanan baru di dunia Islam.

Tidaklah berarti bahwa keberhasilan demokrasi Indonesia bergantung pada belas kasih AS. Ada atau tiadanya peran AS, demokrasi adalah pilihan Indonesia. Begitu pun dengan menunjukkan sisi positif yang dicapai tidaklah perlu membuat kita puas diri. Tengoklah berita utama Kompas beberapa pekan terakhir, betapa merisaukan indeks kesengsaraan di negeri ini: anarki di Medan, perbatasan tak terurus, infrastruktur daerah mengkhawatirkan, ekspor terancam, pulau terancam, kemiskinan bertambah. Seolah membenarkan gambaran Samuel Beckett, ”air mata dunia masih dalam kuantitas yang konstan”.

Demokrasi telah membawa perubahan, tetapi belum kunjung membawa kebahagiaan. Padahal, semua modus kekuasaan harus diarahkan untuk mengejar kebahagiaan. Menurut Abu Nasr al-Farabi dalam Al-Madinah al-Fadhilah, ”negara yang baik berbuah kebahagiaan.”

Bagi kebanyakan warga, rongrongan utama kebahagiaan ini tidaklah berasal dari persoalan alam dan kualitas perseorangan, melainkan dari kualitas pemerintahan. Bahwa negara merupakan penentu kebahagiaan ditunjukkan oleh survei yang dilakukan di 50 negara, seperti dilaporkan oleh Geoff Mulgan (2008). ”Pengaruh kualitas pemerintahan terhadap kebahagiaan (kesejahteraan) hidup jauh melampaui efek yang ditimbulkan oleh pendidikan, pendapatan, dan kesehatan, yang kesemuanya itu pun bergantung pada kualitas pemerintahan.”

Usaha demokrasi membawa kebahagiaan menuntut penjelmaan ”negara-pelayan”. Basis legitimasi negara-pelayan ini bersumber pada empat jenis responsibilitas: perlindungan, kesejahteraan, pengetahuan, serta keadilan.

Negara memiliki legitimasi sejauh melindungi warganya dari bahaya karena ketertiban dan keselamatan sangat esensial bukan saja bagi kehidupan, tetapi juga untuk meraih kebahagiaan. Terbukti, negara-negara dengan pencapaian tertinggi dalam indeks kebahagiaan, seperti Norwegia, Swiss, dan Denmark, umumnya adalah negara demokrasi stabil yang mampu menegakkan hukum, keamanan, dan ketertiban.

Legitimasi kedua adalah responsibilitas negara untuk mempromosikan kesejahteraan. Peran pemerintah dalam memfasilitasi kesejahteraan sangat penting. Seperti ditunjukkan Amartya Sen, kelaparan di sejumlah negara bukanlah karena kekurangan makanan, melainkan karena rakyat tak memiliki hak milik dan daya beli sebagai akibat buruknya layanan pemerintahan.

Legitimasi ketiga adalah kemampuan negara mempromosikan pengetahuan dan kebenaran yang sangat vital bagi kelangsungan komunitas bangsa. Tidak ada perbantahan antara rezim demokratis dan nondemokratis atas pentingnya pengetahuan. Bahkan, seorang Mao dalam Revolusi Kebudayaannya meyakini, ”Sebanyak apa pun mimpi kita, alam akan memberikannya sejauh ada pengetahuan.”

Legitimasi pamungkas adalah kemampuan negara menegakkan keadilan. Menurut Aristoteles, yang membedakan manusia dan binatang adalah kemampuan membedakan yang baik dan buruk, adil dan zalim, yang memperoleh puncak ekspresinya pada negara yang dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan. Keadilan negara ini sangat vital bagi resolusi konflik dalam masyarakat multikultur.

Pemenuhan keempat basis legitimasi negara-pelayan tersebut merupakan pertaruhan atas kebahagiaan warga negara. Para pendiri bangsa secara visioner memosisikannya sebagai tujuan negara dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Jalan demokrasi Indonesia menuju kebahagiaan masih teramat panjang. Namun, seperti kata Lao Tzu, ”Perjalanan ribuan kilometer dimulai dengan langkah pertama.” Apresiasi dunia luar memberi motivasi tambahan bagi para pemimpin untuk lebih bertanggung jawab mengelola negara demi kebahagiaan hidup bersama.

Tulisan ini pernah dimuat di harian Kompas, 24 Februari 2009.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.