Ilustrasi.

Dalam suatu acara, musisi dan budayawan Franky Sahilatua mengatakan bahwa sekarang ini partai politik hanya menjadi industri untuk kekuasaan. Hal ini ditandai oleh maraknya artis yang maju sebagai calon anggota legislatif. Kemenangan Rano Karno dan Dede Yusuf tampak merupakan inspirasi bagi banyak artis untuk menjajal keberuntungan di dunia politik.

Seiring dengan inspirasi itu, perdebatan tentang fenomena terjunnya artis ke dalam politik mulai menghangat. Banyak pihak mengatakan bahwa fenomena ini akan berujung pada menurunnya kualitas DPR.

Tidak ada yang salah dengan terjunnya artis ke panggung politik. Dengan kata lain, bukan label keartisan yang menjadi masalah, bahkan jika motif terjun ke politik adalah untuk menjajal keberuntungan. Seperti kata Franky Sahilatua, yang patut dipermasalahkan adalah kecenderungan parpol yang berubah fungsi menjadi industri kekuasaan.

Wajah yang memelas

Pada saat publik telah jenuh dan apatis terhadap politisi dan menginginkan sosok baru yang memberi harapan, parpol memenuhi permintaan tersebut dengan menawarkan sosok dari kalangan artis. Dengan kata lain, permintaan dan penawaran merupakan alasan di balik munculnya artis di panggung politik. Dengan demikian, motif ekonomi telah merasuk, menguasai, dan menjadi satu-satunya nilai yang diacu dalam parpol.

Walau demikian, terjunnya artis ke dalam politik bukan satu-satunya penanda telah berubahnya parpol menjadi industri kekuasaan. Tanpa fenomena artis yang terjun ke politik pun, kecenderungan metamorfosis parpol menjadi industri telah terlihat amat kentara. Jalan pintas mencapai popularitas melalui iklan di media yang ditempuh beberapa orang yang merasa layak untuk memimpin Republik telah memperlihatkan kecenderungan parpol sebagai industri untuk kekuasaan.

Dengan beriklan, mereka mengejar popularitas demi kekuasaan. Bagi mereka, kekuasaan bukan keniscayaan yang diperoleh setelah perjuangan mewujudkan kebaikan bagi rakyat, melainkan diraih setelah rakyat terpengaruh (untuk tidak mengatakan tertipu) oleh kekuatan rekayasa citra. Efektifnya iklan produk komoditas dagang, katakanlah seperti sabun cuci atau pembersih WC, bagi tingginya angka penjualan, tampak menjadi inspirasi.

Meskipun muncul dengan berbagai slogan menawan seperti “hidup adalah perbuatan”, “tak ada kemerdekaan tanpa perbuatan”, “if there is a will there is a way”, “generasi baru harapan baru”, dan berbagai slogan lainnya, sesungguhnya mereka tak terlihat menawan. Mereka lebih terlihat seperti wajah yang memelas, meminta-minta dikasihani untuk dipilih. Bukannya kebaikan yang diberikan kepada rakyat, melainkan kebaikan rakyat yang mereka harapkan. Apakah sosok seperti ini yang dibutuhkan sebagai pemimpin Republik?

Dalam kondisi seperti itu, benar perkataan Franki Sahilatua, parpol tak lebih menjadi industri. Pemilihan pemimpin pada akhirnya menjadi seperti pemilihan merek sabun cuci atau pembersih WC. Pertanyaannya, jika produk industri sabun cuci dan pembersih WC dijamin akan menghasilkan kegunaan bagi konsumen berupa membersihkan, apakah keuntungan yang sama akan diperoleh konsumen (baca: pemilih) dari sang bintang iklan?

Kehilangan roh

Fenomena terakhir ini merupakan cermin dari merasuknya logika dan rasionalitas ekonomi ke dalam nilai-nilai politik. Politik tidak lagi merupakan arena memperjuangkan kebaikan umum. Padahal, perjuangan mencapai kebaikan umum merupakan roh dari politik itu sendiri.

Perubahan ini membuat politik menjadi seperti raga tak berjiwa. Setelah teracuni logika pasar, politik kehilangan roh. Kekuasaan dan kepemimpinan kehilangan jiwa berupa semangat pengabdian perjuangan mewujudkan kebaikan umum. Ujungnya, human beingsdan politik yang berada di dalam ruang antara tak lebih seperti barang dagangan dan mekanisme jual beli yang bisa menghasilkan keuntungan atau kerugian.

Racun logika pasar, pada akhirnya mengubah nilai-nilai mulia yang sebelumnya terkandangkan dalam politik menjadi nilai-nilai dangkal yang dihasilkan dari pertukaran barang. Politik tak lebih sebagai alat transaksi, atau lebih buruk lagi sebagai alat tipu daya. Nilai politik pun berubah dari kebaikan atau keburukan menjadi hanya sebatas keuntungan atau kerugian.

Tanpa cita-cita

Dengan kondisi ini, tidak mengherankan jika di masa depan bangsa ini akan menjadi importir berbagai produk pertanian di tengah sebutan negeri agraris, harga gas elpiji akan sama dengan harga internasional, padahal negeri ini merupakan produsen terbesar gas dunia, listrik menjadi “byarpet” gara-gara terhentinya pasokan batu bara yang lebih diprioritaskan oleh perusahaan tambang swasta untuk diekspor, biaya sekolah dan kesehatan menjadi semakin tinggi dan kontras dengan janji-janji kampanye, angka statistik menjadi terlalu indah dibanding realita, dan berbagai hal ironis lain.

Kecenderungan tersebut membuat politik di negeri ini semakin jauh dari cita-cita bernegara. Kesejahteraan dan kemakmuran semakin menjadi “pepesan kosong” saat kampanye. Maka, tak mengherankan jika benih padi pun, yang seharusnya terbebas dari persaingan politik, menjadi komoditas politik. Akibatnya, penelitian benih dilakukan dengan tidak sepenuh hati, melainkan sekadar membangun citra pro-petani. Petani hanya dilihat saat menjelang pemilu.

Dalam politik yang tak lagi berjiwa, tidak ada harapan akan munculnya kebaikan bersama. Penetrasi dan strategi menaklukkan pasar menjadi satu-satunya fokus politikus. Politik pun seakan terhenti saat politikus tersebut terpilih. Segala janji politik menguap saat pelantikan. Politik yang tak berjiwa menghasilkan bangsa tanpa cita-cita.

Tulisan ini telah dipublikasikan di KORAN TEMPO, 21 September 2008.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.