Ilustrasi: Agama vs Politik

Pertautan antara agama dan negara di negeri ini selalu dihadapkan pada situasi dilematis, sifat profetiknya mengalami pengerdilan ketika hanya dijadikan pengawal moral ruang privat di satu sisi. Di sisi lain, politisasi agama mulai berkecambah ke ruang publik yang berpotensi mengancam geologi kebudayaan Indonesia yang plural serta majemuk. Sehingga, wajah garang dari agama kian mengemuka dengan rangkaian tindakan teror dan kekerasan. Dalam persoalan ini, agama ibarat dua sisi mata pedang yang bila diayun dapat mengenai kawan dan lawan sekaligus.

Sementara itu, krisis politik yang terjadi di Indonesia setelah runtuhnya rezim Orde Baru kian mengikis moralitas bangsa Indonesia, ditambah tantangan globalisasi yang sulit dibendung. Hal itu menambah pengerdilan agama, terutama terkait dengan kegagapan beberapa kelompok kalangan keagamaan yang terlebih dahulu fobia terhadap sekularisasi di berbagai bidang kehidupan.

Tentunya pertautan yang kusut itu rentan pada hilangnya ‘pesan profetik’ sebagai inti dari agama dalam ranah privat dan publik yang mengatur secara horizontal maupun vertikal. Padahal penghayatan keberagamaan yang terjadi di ruang individual dan ruang publik menjadi pengandaian penting yang menopang satu sama lain dalam konteks keindonesiaan. Karena, pesan-pesan agama (terutama Islam) syarat dengan ajaran moral yang menyediakan ruang kebebasan bagi individu dan masyarakat yang dapat menciptakan solidaritas dalam bentuk moralitas publik.


Agama dalam ruang publik

Ketika peran ideologi-ideologi ciptaan manusia–sebagaimana berlangsung di masa lalu–baik, fasisme, nazisme, maupun komunisme sudah mengalami kehancurannya dalam membangun tatanan moralitas publik, lalu apalagi yang tersisa kini sebagai sandaran moralitas politik? Ajaran apa yang menyisakan, penghargaan terhadap manusia? Di manakah ruang kebebasan bagi kebudayaan yang heterogen, duduk setara dalam membangun solidaritas sosial? Ketika negara mengalami demoralisasi dengan korupsi, moralitas apa yang tersisa dari ruang publik? Apakah cukup dengan formalisasi agama dalam bentuk perda syariat atau sebaliknya menarik agama ke wilayah privat?

Agama sebagai ‘pesan nilai’ terkadang terjebak dalam formalisasi yang sempit. Agama mendikte ruang publik atas klaim kebenaran tanpa menyisakan ruang dialog yang dapat mengakomodir berbagai keragaman dari bangsa ini. Bhineka Tunggal Ika sebagai perekat menyediakan ruang bagi peran agama-agama dalam sila pertama adalah sebentuk bukti nyata bahwa moralitas publik lebih layak dijadikan referensi bersama tanpa harus menafikan agama sebagai etosnya. Sehingga, ikhtiar membangun negara atas satu perspektif kebenaran agama kian mustahil tanpa ditopang penangkapan inti dari kemajemukan agama sebagai pesan yang memuat moralitas publik di dalamnya.

Agama dan moralitas publik mempunyai hubungan yang saling mengandaikan, bahkan menegaskan, kebaikan universal tidak hanya bersifat privat tapi juga publik. Kebebasan berpendapat, sikap toleran, ketaatan pada hukum, bersikap adil, dan solidaritas sosial merupakan varian dari tindakan yang dapat berlaku pada ruang publik. Sebagaimana juga diajarkan agama-agama.

Pesan keselamatan sebagai misi profetik dari semua agama hendaknya dapat diwujudkan dalam ikhtiar mencari solusi bagi Indonesia yang sedang jatuh dalam kubangan krisis yang berkepanjangan. Birokrasi yang korup, cengkeraman utang luar negeri, kemiskinan yang menggurita, tingkat pengangguran yang tinggi, krisis energi, bencana alam, lumpuhnya hukum serta mahalnya pendidikan menjadi potret buram bagi generasi yang mendatang. Fenomena itu merupakan cerminan dari bobroknya moralitas publik dan peran agama yang mandul.

Dengan demikian, ikhtiar memosisikan agama dalam ruang publik pada titik ini menjadi penting, sebagaimana dilakukan para founding fathers negeri ini. Meski bukan berarti bahwa kita kemudian melegitimasikan ajaran agama sebagai satu-satunya dasar konstitusi bagi ruang publik, peran profetik itu adalah upaya merehabilitasi kebobrokan moralitas politik bangsa ini. Upaya itu tentunya berbeda dengan kalangan fundamentalis keagamaan di satu sisi yang hanya menekankan paham keagamaan yang literal. Terlebih ada upaya romantisisme terhadap masa lalu, sebagaimana banyak dikampanyekan kalangan Islam fundamentalis yang mengusung ide tentang kekhalifahan di negeri ini. Di sisi lain, upaya yang ekstrem dengan menempatkan agama ke wilayah privat adalah bentuk ahistoris dan sesungguhnya jatuh pada ekstremisme baru dalam dunia pemikiran. Terlebih, sikap ekstrem tersebut menyokong kemapanan kekuasaan semata.


Peran profetik agama

Nilai-nilai universal dari agama sangat penting dalam kehidupan publik, demi membangun dialog yang dapat mengakomodasi dari berbagai latar kemajemukan bangsa Indonesia, peta kekeliruan dapat dideteksi secara jelas dan terpilah-pilah agar ajaran universal dari tiap-tiap agama dapat membangun moralitas publik secara korektif.

Kesalehan personal dan sosial pada titik ini menjadi bentuk konkret dalam upaya menciptakan harmoni bagi kemajemukan bangsa Indonesia. Akan tetapi, upaya kesalehan personal itu terkadang mudah terpelanting pada penafsiran di ruang publik dalam bentuk tindakan penyeragaman sehingga menimbulkan fasisme agama. Karena, kekusutan pengertian tentang moralitas yang privat dan yang publik. Padahal agama sesungguhnya memuat pesan yang proporsional dalam mengatur ‘etika yang publik’ dan ‘yang privat’, ‘yang horizontal’ dan ‘yang vertikal’, ‘yang duniawi’ dan ‘yang ukhrawi’ serta ‘yang profan’ dan ‘yang transendental’. Sebagaimana pernah ditegaskan Cak Nur. (Nurcholis Madjid, 1992)

Pengertian yang kusut mengenai agama yang akhir-akhir ini terjadi kerap kali dilatarbelakangi upaya politisasi agama, terutama dalam upaya melegitimasi pesan-pesan agama ke dalam tindakan teror dan kekerasan yang sesungguhnya sangat berlawanan dengan prinsip-prinsip serta ajaran agama sendiri. Gejala konflik antarsuku yang diperkuat perbedaan agama di Sambas, Maluku dan Poso, bom Bali, dan rangkaian aksi teror lainnya menyisakan luka bagi nilai-nilai kemanusiaan yang sangat dijunjung tinggi oleh agama.

Moderasi ajaran-ajaran keagamaan dengan demikian menjadi satu alternatif pemikiran yang membebaskan bagi berlangsungnya pluralitas penghayatan dan menyokong perubahan bagi keadilan serta kesejahteraan sosial dalam ruang publik. Di kemudian hari, ruang publik dapat menjadi tempat persemaian ide atau gagasan yang menyokong terlibatnya segala nilai-nilai agama dan moralitas politik bangsa. Dengan tentunya melalui proses diskursus yang bebas dari tekanan dan kepentingan pribadi maupun kelompok.

Sehingga, di tengah ancaman kebuntuan komunikatif, merebaknya segala belenggu bagi kebebasan, munculnya ragam friksi suku maupun agama dan traumatisme akan pengalaman totalitarianisme di masa lalu dapat direhabilitasi melalui revitalisasi pesan profetik agama-agama. Karena, pesan profetik keagamaan memiliki kontribusi yang sangat penting bagi moralitas publik tentunya lewat etika diskursus tadi.

Sebagaimana ditekankan Hannah Arendt (Robert Lee-Nichols, 2006), kebebasan selalu dilatarbelakangi tindakan yang bersifat publik, kolektif, spontanitas, dan sederajat. Manifestasi dari yang praksis itu terkait dengan tindakan komunikatif yang melibatkan pikiran, dengan setiap nilai dapat dikomunikasikan secara rasional. Sehingga, martabat kemanusiaan dapat menjadi tujuan kolektif bagi sebuah bangsa dan negara di masa mendatang.


Tulisan ini telah diterbitkan di harian
Media Indonesia, 16 November 2007. 

 

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.