Ilustrasi

Demam pemilihan presiden mulai menjangkiti kehidupan publik di segala penjuru. Wabah ”penyakit” ini melahirkan kesadaran palsu. Segala kebaikan dan capaian negeri dinisbatkan pada sosok presiden. Segala persoalan dan tantangan bangsa ini juga disandarkan solusinya pada figur presiden.

Padahal, sehebat apa pun kualitas presiden tak akan melahirkan perubahan berarti tanpa disertai komitmen bersama untuk melakukan tata ulang sistem ketatanegaraan kita. Dalam kaitan ini, birokrasi memainkan peran sentral dalam konteks negara modern, karena kekuasaan secara de facto tidak dijalankan oleh presiden atau perdebatan parlemen, tetapi oleh rutinitas administrasi pemerintahan. Seriuh apa pun kampanye kepresidenan dan perdebatan di parlemen, perubahan yang diinginkan tidak akan terwujud selama rutinitas birokrasi, sebagai eksekutor terakhir, tidak responsif.

Dalam konteks perbaikan tata kelola birokrasi ini, ada keriuhan fantasi yang membayangkan presiden seperti manager-in-chief dari birokrasi pemerintahan yang mengatur ribuan lembaga pemerintahan, jutaan pegawai negeri sipil, militer, dan kepolisian. Bayangan seperti ini perlu dilempengkan. Birokrasi pemerintahan yang begitu gigantis dengan jumlah pekerja yang melebihi jumlah penduduk di sejumlah provinsi membuatnya tak bisa diurus dari satu titik pusat.

Lagi pula status konstitusional dari klaim manajerial kepresidenan tidak serinci itu. Bagian terluas pegawai negeri sipil tidak mendapat arahan (langsung) dari presiden, tetapi dari perundang-undangan yang mengesahkan kehadiran badan-badan dan mengarahkan tugasnya. Karena itu, masuk akal untuk menyebut birokrasi sebagai cabang keempat pemerintahan.

Atas dasar alasan ini, seorang ilmuwan politik, Richard Rose, menyebutkan, ”Presiden tidak bisa mengelola seluruh dimensi pemerintahan, yang nyata-nyata lebih sulit daripada mengurus kawanan kuda liar.” Ahli kepresidenan Stephen Hess meluruskan, ”Ketimbang sebagai chief manager, presiden adalah chief political officer dari sebuah republik.” Dalam posisi terakhirnya ini tanggung jawab utama seorang presiden adalah membuat sejumlah kecil keputusan politik yang amat signifikan, seperti menentukan prioritas nasional, yang diterjemahkan ke dalam anggaran dan proposal legislasi, serta memperlengkapi kebijakan untuk menjamin keselamatan negara.

Sebagai chief political officer, tugas utama presiden adalah ”memimpin” (to lead), bukan mengurus (to manage) pemerintahan. Sebagai pemimpin pemerintahan, presiden dituntut bertindak secara sistematis untuk mendefinisikan mandat dan watak kepemimpinannya. Dalam mendefinisikan mandat kepemimpinannya, pertama-tama seorang presiden harus memiliki landasan ideologi kerja (working ideology) berupa seperangkat prinsip dasar sebagai haluan kebijakan.

Ideologi kerja ini sudah harus dinyatakan dalam kampanye yang bisa memberi semacam jangkar nilai dan suar arah kepada publik pemilih. Dalam hal ini ideologi presiden terkait ideologi partai politik yang mendukungnya, yang dalam situasi Indonesia

hari ini justru kesulitan menemukan partai politik dengan ideologi kerja yang jelas. Tak heran jika presiden yang muncul bisa jadi tak punya prinsip dasar dan watak yang jelas pula.

Atas dasar ideologi kerja ini, sebuah platform bisa diturunkan dengan prioritas yang jelas. Presiden harus menunjukkan fokus dalam mendefinisikan, dan keefektifan dalam mengejar, agenda substantifnya, demi memudahkan mobilisasi sumber daya serta menawarkan sense of direction bagi aparat pemerintahan, publik, dan media. Ambisi menyelesaikan segala masalah sekaligus berisiko menangguk kegagalan di semua lini.

Dalam ”memimpin” pemerintahan, tantangan presiden mendatang harus memahami bahwa problem utama birokrasi pemerintahan Indonesia adalah ketidakseimbangan antara luasnya cakupan kendali negara dan lemahnya kapasitas negara untuk melakukan penegakan otoritas. Pada masa Orde Baru, luasnya cakupan kendali negara itu masih bisa diimbangi oleh kewibawaan otoritas negara untuk bertindak efektif—kendati dalam beberapa segi tidak selalu taat asas dengan prinsip-prinsip demokrasi. Pada era Reformasi, cakupan negara kian meluas karena terjadinya pelipatgandaan institusi dan aparatur negara serta perluasan kewenangan daerah. Namun, terjadi penurunan dalam kapasitas negara untuk melakukan delivery dan penegakan aturan akibat penetrasi kepentingan politik kepartaian.

Oleh karena itu, prioritas utama kepresidenan adalah merampingkan cakupan kendali negara dengan menyederhanakan institusi dan aparatur negara; bukan menggemukkan postur pemerintahan dengan menambah jumlah kementerian, komisi, badan, satgas, staf ahli, dan sejenisnya. Namun, tugas ini berat dijalankan presiden manakala jumlah partai politik dan ”sukarelawan” (padat kepentingan) tak bisa dibatasi. Koalisi kepartaian dan kepentingan yang banyak berarti menuntut akomodasi yang luas, yang pada gilirannya akan menjadi batu sandungan bagi presiden dalam memenuhi janji terkait penyehatan birokrasi.

Presiden idaman di masa depan adalah presiden yang mampu memimpin pemerintahan secara kuat dan efektif. Kuat dalam arti berani menempuh perubahan sekalipun itu berarti harus membatasi kompromi yang kontraproduktif dengan partai koalisi dan kelompok kepentingan. Efektif dalam arti punya kemampuan penetratif untuk menggerakkan segala pemangku kepentingan guna melakukan penataan ulang sistem ketatanegaraan. Keberanian melakukan perubahan fundamental itu mengandung risiko. Namun, ada risiko bagi presiden yang mencari jalan aman: peluang lewat, momentum lenyap, sinisme menguat.

Tulisan ini telah dipublikasikan di harian Kompas, 20 September 2018.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.