Ilustrasi. (Sumber: radarmiliter.blogspot.co.id)

Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki pemuda,” ujar Tan Malaka.  Masalahnya, setiap zaman punya tantangannya tersendiri yang menuntut respons berbeda. Seturut dengan itu, idealisme pemuda juga harus diletakkan dalam konteks tantangan zamannya.

Kemampuan merespons tantangan zaman sebagai kerja kolektif, bukan sekadar pencapaian pribadi-pribadi, itulah yang melahirkan suatu generasi transformasi. Pengertian generasi dalam sosiologi tak sekadar merepresentasikan kolektivitas atas dasar kesamaan usia, tetapi juga kesamaan pengalaman, visi, dan panggilan kesejarahan yang membentuk kekuatan perubahan. Ron Eyerman menyatakan, “Konsepsi sosiologis mengenai generasi mengimplikasikan lebih dari sekadar terlahir pada masa yang hampir sama. Konsepsi itu menyatakan sebuah kesamaan pengalaman sehingga menciptakan sebuah dasar bagi cara pandang yang sama, orientasi tujuan yang sama, sehingga bisa mempersatukan para pelaku, bahkan meski mereka tak pernah saling bertemu.”

Para pemuda pelopor Angkatan 1928 merupakan representasi kehadiran suatu generasi yang gemilang. Dalam keterbatasan konektivitas teknis (sarana transportasi dan komunikasi), generasi ini mampu meluaskan horizon imajinasi komunitas politiknya melampaui batas-batas spasial kepulauan dan primordial.

Bisa dibayangkan, transportasi umum yang tersedia bagi perutusan pemuda dari Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun (Jong Sunda), dan yang lainnya untuk bisa mengikuti Kongres Pemuda di Jakarta mengandalkan kapal laut dan kereta. Sebagian mereka perlu waktu tempuh berminggu-minggu. Sementara media komunikasi untuk meluaskan pertukaran pikiran antar-pemuda yang tersebar di banyak wilayah masih terbatas pada kehadiran media cetak (koran, majalah), dengan sirkulasi yang terbatas serta masa yang lama untuk bisa diakses pembaca di seberang pulau.

Kendala-kendala konektivitas teknis nyatanya tak menghalangi konektivitas nalar dan rasa kebangsaan. Padahal, menautkan orang-orang yang hidup di berbagai kepulauan terpisah, dengan segala kemajemukan komunalitasnya, ke dalam suatu imajinasi komunitas persaudaraan kebangsaan bukanlah perkara mudah. Jangan lupa, meski manusia sering disebut zoon politicon (hewan bermasyarakat), kenyataannya riset sosiologis menunjukkan ukuran maksimum suatu kumpulan manusia untuk bisa bergaul intim sebagai sesama kelompok hanya 150 orang.

Di atas ambang itu, rasa solidaritas sesama sulit dilakukan, apalagi terhadap penduduk di pelosok pulau di seberang lautan.  Bayangan persaudaraan dalam skala luas, melintasi batas-batas kekubuan-kesukuan, hanya bisa dibangun lewat perekayasaan realitas imajiner yang dibangun oleh sistem “mitos” (sistem keyakinan, simbol, dan ritual bersama).

Para pemuda pelopor Angkatan 1928 berhasil meluaskan bayangan komunitas bersama lewat penciptaan “mitos” kesamaan riwayat (sejarah), dengan dipersatukan “nasionalisme negatif-defensif” (melawan musuh bersama), yang mendorong penciptaan bayangan “berbangsa satu: bangsa Indonesia”. Generasi ini juga mampu menciptakan bayangan “mitos” kesamaan geopolitik, dengan mengakui “tumpah darah satu: tanah-air Indonesia”; yang dibentangkan horizonnya oleh jaringan administrasi dan ekonomi kolonial.

Mereka juga mampu menciptakan “mitos” pertautan akar-akar sosiokultural yang memungkinkan komitmen bersama “menjunjung bahasa persatuan: bahasa Indonesia”. Terima kasih pada politik kebahasaan dan literasi kolonial serta dampak tak sengaja kebijakan ekonomi liberal yang memungkinkan kehadiran industri pers vernakular, perluasan pengajaran bahasa Melayu, dan penyediaan bahan bacaan dalam bahasa Melayu yang meratakan jalan bagi penggunaannya sebagai bahasa resmi di masa pendudukan Jepang.

Singkat kata, generasi pemuda Angkatan 1928 mampu mengatasi hambatan konektivitas teknis dengan kreativitas penciptaan sistem keyakinan yang menautkan jutaan manusia dari berbagai aliran sungai primordial menuju samudra kebangsaan Indonesia, yang membuka jalan bagi pembentukan nasionalisme kewargaan (civic nationalism) yang luas dan inklusif.

Tantangan pemuda masa kini

Situasi tantangan yang dihadapi para pemuda hari ini justru sebaliknya. Dari segi konektivitas teknis, kendala ruang dan waktu dalam komunikasi dan perhubungan sudah bisa dilampaui oleh berbagai keserbahadiran teknologi mutakhir dalam telekomunikasi (digital) dan transportasi. Masyarakat Indonesia termasuk pengguna internet dan media sosial paling intens, yang memungkinkan orang-orang yang tersebar di berbagai kepulauan semakin terkoneksi secara intensif dan ekstensif.

Ditinjau dari sudut ini, jutaan pemuda Indonesia hari ini bahkan berpotensi mengalami pergeseran dalam konsep dirinya mengenai komunitas imajiner yang ditujunya, dari seorang citizen suatu komunitas negara-bangsa menjadi netizen suatu komunitas global. Masalahnya, tak pernah ada manusia yang bisa sepenuhnya universal yang bisa hidup selamanya dalam dunia khayal. Selama punya jasad, manusia terikat pada ruang waktu, perlu makan-minum dan menjalani pergaulan hidup secara riil; yang secara tak terhindar dipengaruhi kondisi-kondisi lingkungan terdekatnya. Pada titik inilah, pemuda Indonesia kini dihadapkan pada situasi paradoksal.

Ketika konektivitas teknis makin rapat, konektivitas dalam nalar dan rasa berbangsa justru kian renggang. Adopsi teknologi tinggi umumnya tak diikuti budaya tinggi. Tingkat literasi rendah, wawasan kesejarahan cetek, nalar ilmiah rendah, pergaulan lintas kultural mengerut, pengetahuan naratif sebagai basis karakter tersisihkan. Intensitas konektivitas teknis tanpa basis keadaban dengan cepat melambungkan industri kebohongan (hoaks).  Mitos-mitos pertautan kebangsaan yang luas dan inklusif sebagai warisan generasi Sumpah Pemuda mulai terdesak oleh kemunculan mitos-mitos baru yang diproduksi dengan defisit nalar literasi dan nalar ilmiah, dengan tujuan untuk menautkan anak-anak muda ke arah komunitas bayangan baru secara dogmatis dan fasistis.

Tiba-tiba saja, kita menyaksikan jutaan pemuda hari ini hanyut dalam gelombang arus balik dari samudra kebangsaan Indonesia menuju sungai-sungai kecil primordial. Bayangan komunitas imajiner kekitaan menyempit, dipenggal-penggal kembali menurut garis perbedaan identitas agama, suku, dan golongan. Indonesia seperti cermin yang jatuh, lantas pecah berkeping-keping. Setiap orang melihat bayangan komunitasnya dari sudut kepentingan dan golongan masing-masing.

Dalam tendensi meluasnya gejala polarisasi dan fragmentasi kebangsaan, kaum muda hari ini ditantang kembali mengemban misi emansipatorisnya.  Dalam kaitan ini, hendaklah diingat pada setiap zaman, kuantitas pemuda sebagai pemikir dan pelopor selalu merupakan minoritas kreatif.  Tahun 1926, pada masa puncak aktivitas politik Perhimpunan Indonesia (PI), dari 673 lebih mahasiswa Indo¬nesia di Belanda saat itu, hanya 38 orang yang menjadi aktivis PI (Ingleson, 1979: 2). Demikian pula dengan situasi kepemudaan di Tanah Air. Menyusul berdirinya tiga perguruan tinggi pada 1920-an (THS, RHS, dan GHS), beberapa klub mahasiswa universitas bermunculan di Hindia, dengan arus utama bersifat rekreatif.

Namun, di sela arus utama klub-klub berorientasi rekreasi, muncul sekelompok kecil mahasiswa sadar politik yang mendirikan perkumpulan berorientasi politik dengan pengikut sangat terbatas, seperti Algemene Studieclub, yang dipimpin Soekarno. Sejarah mencatat, minoritas kreatif inilah yang jadi pelopor perubahan, yang mengonseptualisasikan “Indonesia” sebagai simpul persatuan dan kemerdekaan.

Alhasil, tak perlu terlalu diratapi jika kebanyakan anak muda hari ini lebih suka menghabiskan waktu chatting di medsos, bersenang-senang di pusat belanja, atau pelesiran ke tempat rekreasi. Toh, masih ada minoritas pemuda kreatif yang terlibat kerja inovatif, kewirausahaan dan aksi politik. Malah, sesuai struktur demografis Indonesia saat ini (dengan mayoritas penduduk berusia muda), minoritas kreatif masa kini mestinya jauh lebih besar dengan varietas bidang kreatif lebih beragam ketimbang generasi sebelumnya.

Letak masalahnya, jika minoritas kreatif pada generasi Sumpah Pemuda mampu mempertautkan dan mengorganisasi potensi kreatif yang berserak menjadi kesatuan generasi perubahan, generasi hari ini belum menunjukkan kesanggupan seperti itu dengan risiko bisa menuju “generasi yang hilang” (the lost generation). Tantangan terberat kaum muda hari ini bukanlah melahirkan pribadi-pribadi berhasil; melainkan kesanggupan menautkan keberhasilan pribadi itu ke dalam agenda bersama menghadapi tantangan zaman.

Tak ada generasi perubahan tanpa usaha kesengajaan. Generasi Sumpah Pemuda secara sengaja merespons tantangan kolonialisme dan feodalisme lewat penciptaan ruang publik, wacana publik, dan organisasi aksi kolektif yang mempertautkan minoritas kreatif dari berbagai latar primordial menjadi blok nasional yang inklusif dan progresif. Melalui penciptaan ruang publik, wacana publik, dan kekuatan nalar publik, terbentuklah suatu konektivitas kolektivitas yang dalam kekuatan artikulatifnya menjadi katalis bagi perwujudan politik perubahan.

Minoritas kreatif pemuda hari ini bergerak sendiri-sendiri atau dalam kelompok terbatas.  Tanpa usaha sengaja untuk mengangkat partikularitas sel-sel kreatif menjadi komonalitas jaringan kreatif, kekuatan minoritas kreatif terpencar ke dalam unit-unit terkucil. Munculnya medsos baru dengan kecenderungan individuasi yang sangat kuat kian memperkuat tendensi ke arah atomisasi kekuatan kreatif. Sesekali jaringan kesadaran yang merambat melalui medsos memang bisa melahirkan kekuatan korektif. Namun, kekuatan korektif, tanpa keberadaan agenda dan pengorganisasian bersama, sering kali sekadar kekuatan reaktif yang akan segera padam begitu daur isu memudar.

Tampak jelas, kemampuan mengorganisasikan gagasan secara publik-politiklah yang bisa mengangkat partikularitas kekuatan kreatif jadi kekuatan perubahan kolektif. Seperti kata Hannah Arendt, politiklah yang menjadi “ruang penampakan” (space of appearance) bagi ide-ide terpendam. Tanpa kesanggupan mengorganisasikan diri secara politik, kekuatan-kekuatan kreatif hari ini, betapapun besar jumlahnya, tak membuat ide-ide mereka terungkap secara publik; tak mampu membangkitkan inspirasi kreatif bagi banyak orang; dan tak mendorong pengikatan bersama kekuatan-kekuatan progresif.

Komitmen kebangsaan

Dalam memberikan respons generasional atas tantangan zaman ini, hendaklah diingat, di balik perubahan revolusioner dalam aspek-aspek keteknikan, selalu ada elemen konstanta yang menentukan apakah penemuan-penemuan baru itu membawa maslahat atau mudarat bagi kemanusiaan. Elemen konstanta itu bernama “nilai etis”.  Rasionalitas instrumental tanpa tuntutan rasionalitas nilai membuat perburuan akan penghidupan yang pendek menghancurkan kehidupan yang panjang.

Kita tak tahu persis bagaimana kelangsungan negara-bangsa ke depan; tetapi selama manusia butuh ruang hidup, selama itu pula orientasi etis kita harus mendahulukan relasi etis dalam lingkungan terdekat. Nilai-nilai Pancasila merupakan warisan genius para pendiri bangsa, yang menggali nilai-nilai etika publik dari bumi Indonesia sendiri, tetapi dengan relevansi universal yang dapat menjadi sandaran etis dalam menghadapi era globalisasi.

Dalam wawasan Pancasila, kesadaran nasionalisme itu mengandung nilai-nilai emansipatorisnya. Bahwa sumber penindasan dan dehumanisasi itu bisa datang dari homogenisasi globalisme maupun dari partikularisasi lokalisme. Nasionalisme menjembatani kedua kecenderungan ekstremisme itu. Di satu sisi, nasionalisme melindungi eksistensi keragaman budaya lokal dari dominasi dan hegemoni budaya asing; di sisi lain, nasionalisme juga mengangkat partikularitas renik-renik budaya lokal untuk diabstraksikan dan dipersatukan dalam nilai kolektif kebangsaan.  Dengan kata lain, kebangsaan Indonesia dengan panduan nilai-nilai Pancasila-nya bisa mengantisipasi tantangan generasi milenial, dengan menawarkan perpaduan antara visi global dengan kearifan lokal.

Dalam konteks itu, patut dicatat, tarikan global ke arah demokratisasi dan perlindungan hak-hak asasi memang menguat. Tetapi, oposisi dan antagonisme terhadap kecenderungan ini juga terjadi. Di seluruh dunia, “politik identitas” yang mengukuhkan perbedaan identitas kolektif—etnis, bahasa, agama, bahasa dan bangsa—mengalami gelombang pasang.

Dalam situasi seperti itu eksistensi Indonesia sebagai republik dituntut untuk berdiri kokoh di atas prinsip dasarnya. Ide sentral dari republikanisme menegaskan bahwa proses demokrasi bisa melayani sekaligus menjamin terjadinya integrasi sosial dari masyarakat yang makin mengalami ragam perbedaan. Karena itu, tantangan demokrasi ke depan adalah bagaimana mewujudkan pengakuan politik (political recognition) dan politik pengakuan (politics of recognition) yang menjamin hak individu maupun kesetaraan hak dari aneka kelompok budaya sehingga bisa hidup berdampingan secara damai dan produktif dalam suatu republik.

Meski begitu, upaya negara memberi ruang bagi koeksistensi dengan kesetaraan hak bagi berbagai kelompok etnis, budaya, dan agama juga tak boleh dibayar oleh ongkos mahal berupa fragmentasi sosial. Setiap kelompok dituntut punya komitmen kebangsaan dengan menjunjung tinggi konsensus nasional seperti tertuang dalam Pancasila dan konstitusi negara, serta unsur-unsur pemersatu bangsa lainnya, seperti bahasa Indonesia. Peringatan Sumpah Pemuda harus mampu menggali api sejarahnya, bukan abunya. Api semangat menautkan potensi pribadi dan keragaman kultural ke dalam persatuan perjuangan demi merespons tantangan zaman.

 Tulisan ini pernah dipublikasikan di harian umum Kompas, 28 Oktober 2017.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.