Trisno Sutanto: Gerakan Interfaith Harus Menyatu dengan Gerakan Sosial-Politik

1791

Era reformasi telah berlangsung lebih dari sepuluh tahun lalu. Banyak hal yang dicapai dalam era ini, kebebasan diantaranya. Sejauh mana suasana bebas dirasakan masyarakat terutama kebebasan beragama? Apakah masih sama seperti zaman Orde Baru atau malah keran kebebasan yang dibuka di era reformasi membuat setiap orang bebas berbuat apa saja? Pascareformasi banyak sekali peristiwa-peristiwa memilukan berkaitan dengan kehidupan beragama bangsa ini. Lalu, sejauhmana pandangan Trisno Sutanto dari Masyarakat Dialog Antar Agama (MADIA) terhadap masalah ini? Berikut wawancara Sunaryo dan Fachrurozi dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia (PSIK-Indonesia) dengan Trisno Sutanto pada 7 Mei 2009, terkait dengan kehidupan beragama di Indoensia.

Bisa diceritakan sedikit apa kemajuan yang dicapai dalam dialog antar-agama 10 tahun pasca reformasi?

Trisno Sutanto
Trisno Sutanto

Pada awalnya program dialog antaragama adalah program pemerintah namanya Program Kerukunan Antarumat Beragama dimulai sejak Soeharto berkuasa dan berlangsung terus kira-kira hingga akhir 80-an. Di tahun 70-an almarhum Mukti Ali pernah mencoba keluar dari skema itu dia membangun perjumpaan yang lebih real dalam masyarakat.

Program pemerintah lebih birokratis, sangat formal dan tidak praktis. Kemudian di tahun 70-an ada program live-in. untuk pertama kalinya mahasiswa-mahasiswa STF, STT dan IAIN tinggal di komplek yang sama, mengolah persoalan-persoalan bersama. Jejak-jejaknya sampai sekarang masih ada. Orang-orang seperti Djohan Effendi, Romo Haryanto terlibat di situ dari awal, begitu juga beberapa pendeta dari GKJ. Tapi itu hanya dilakukan sekali.

Akhir 80-an, diawal 90 ketika Soeharto mendirikan ICMI, Gus Dur mendirikan FORDEM sebagai tandingan. Waktu itu Gus Dur bersama dengan ibu Gedong, Romo Mangun dan Hasim Ardhana mendirikan interfidei tahun 1991. itulah gerakan awal interfaith yang dimulai dari bawah, bukan pemerintah. Kalau kita membandingkan tahun 90-an sampai sekarang, apa yang berubah? Dilihat dari kebijakan tidak ada perubahan. Cara pandang KUB masih tetap sama yaitu muncul dalam bentuk FKUB sekarang, tidak ada bedanya. Tapi yang ada pembedaannya adalah diawal 90-an gerakan itu adalah gerakan civil society, yang mencoba membangun kesepakatan-kesepakatan dasar. Hal inilah yang membantu dalam proses reformasi. Sekarang, khususnya sejak penyerangan terhadap Ahmadiah. Pergeseran yang paling signifikan dari gerakan interfaith sekarang masuk ke dalam persoalan-persoalan legal konstitusional, pada jaminan kebebasan beragama.

Wilayahnya sudah berbeda. Sekarang orang tidak berdialog hanya dengan sekadar membangun kesepakatan atau pemahaman. Tapi, ada perjuangan pada tataran konstitusional bersama. Sehingga kalau kita lihat para aktivis-aktivis dialog saat ini yang menonjol adalah lembaga-lembaga bantuan hukum. Arahnya advokasi. LBH, ELSAM, KONTRAS dan sebagainya. Tidak lagi lembaga-lembaga dialog yang hanya membangun kesepakatan. Dan akan berperan penting.

Keduanya seharusnya bertemu, ini yang menjadi kelemahan kita semua. Seharusnya gerakan interfaith menyatu dengan gerakan sosial-politik. Tapi keduanya bergerak sendiri-sendiri. Memang ada upaya-upaya untuk menyatukan kedua gerakan itu. Misalnya sebagai contoh gerakan perempuan, program-program terbaru mereka masuk dalam persoalan pluralisme, bukan lagi persoalan perempuan. Perempuan dalam konteks prluralisme. Jadi ini sudah ada upaya untuk menyatukan proses ini, maka kita akan menemukan benih-benih apa yang disebut dengan new social movement. Sekarang, kita belum memiliki itu, dalam artian yang sesungguhnya.

Ada upaya misalnya yang dilakukan Demos, mengupayakan lewat fakta sosial, lewat blok politik mencoba untuk menggabungkan itu, namun sampai saat ini masih belum berhasil. Kendalanya adalah ketika bicara soal agama, mau tidak mau kita terjebak dalam perdebatan teologis, sehingga yang diributkan adalah bagaimana mencari pembenaran ayat, fiqihnya bagaimana, Qurannya bicara apa. Akrinya kemudian para buruh juga enggan turut terlibat didalamnya. Ini yang tidak bisa membuat gerakan itu menjadi sebuah gerakan sosial. Kita harus mencari titik temunya. Itu menurut ku pergeseran yang cukup signifikan yang terjadi stelah reformasi, 1998.

Apakah isu tentang human right dapat dijadikan titik temu dalam persoalan kebebasan beragama?

Jadi yang ingin kita lakukan, hanya sampai saat ini belum menyatu gerak-gerakan itu, ada kebutuhan tapi belum kuat. Karena orang masih sulit sekali mengkaitkan isu buruh dengan isu interfaith. Terobosan-terobosan yang dilakukan Demos misalnya dengan blok politik mencoba untuk menggabung isu-isu tersebut. Blok politik itu sesungguhnya bagaimana civil society, yang tadinya tercerai-berai, menjadi satu blok bersama yang tak usah masuk ke negara atau bisa saja masuk ke negara namun ia harus menjadi counter attack dari negara, itu ide dasarnya kira-kira. Nah, dalam blok politik itu sesunggunya semua isu yang berkaitan dengan keidupan publik bisa menjadi isu bersama, disitu soal-soal kebebasan beragama kena. Tapi harus diakui sampai sekarang dua isu ini sulit digabung. Jadi semacam dua gerakan terpisah yang akhirnya mudah sekali untuk dipecah-pecah.

Kebebasan beragama sesungguhnya adalah persoalan warga, hak warga. Teman-teman di Jogja, CRCS, misalnya, yang mengembangkan pluralisme; jadi pluralisme pada tataran kewargaan bukan pada tataran teologi. Itu salah satu cara untuk melakukan terobosan, namun sekali lagi itu tetap sulit dilakukan, apalagi jika bicara soal kepentingan kelompok.

Soal kekerasan yang terjadi di masyarakat, paska reformasi melihatkan peningkatan jumlahnya. Sebenarnya faktor dominan apa yang menjadi penyebab?

Ada banyak faktor, salah satunya reproduksi praktek kekuasaan dari yang lama, kita lebih banyak belajar cara-cara menghadapi sesuatu dengan kekerasan ketimbang dengan negoisasi. Tapi ada juga faktor yang menonjol di masa reformasi adalah negara yang sangat lemah. Negara yang kuat tidak harus menjadi otoriter, ini kadang-kadang masih sering disatukan; kalau kita memperkuat negara, takutnya menjadi otoriter. Padahal dua hal ini harusnya berbeda sekali, otoriter itu persoalan satu rezim, negara bukan rezim, negara adalah suatu institusi dan dengan konstitusi ia menjamin semua orang. Kalau dia menjamin semua orang maka negara itu harus kuat pada dirinya.

Dalam konteks negara yang kuat tadi, misalanya dalam kasus Ahmadiyah, aparat dilapangan mengalami dilema, jika keras dianggap melawan HAM, dan sebagainya. Nah, sudahkah solusi yang diberikan oleh negara kemarin untuk Ahmadiyah sudah memenuhi standar?

Sama sekali solusi yang kemarin dikeluarkan itu bukan sebuah solusi, itu mengelak memberikan solusi. Mengelak konfrontasi dengan menyembunyikan persoalan. Pertama, SKB itu banci, ia tidak melarang tapi juga tidak melindungi. Kedua, kenapa tatarannya SKB, secara Undang-undang tidak boleh. Level human right aturannya harus Undang-undang, bukan SKB. Menurut tata peraturan perundangan demikian itu. Jika sekedar SKB maka yang terkait hanya kementerian yang bersangkutan, nah ini menunjukkan pemerintah mengelak dari persoalan itu.

Nah, jika soal tadi ketegasan aparat, justru ketidaktegasan oleh pemerintah itu melanggar human right. Ini yang harusnya menjadi kebebasan dalam human right selalu diperlawakan bukan dengan aturan tapi dengan kebebasan lain. Dalam pengaturan seluruh protokol human right international yang bisa membatasi kebebasan hanyalah kebebasan orang lain. Karena itulah dua kebebasan yang bertemu dan bisa bertabrakan ini maka dibutuhkan peraturan dalam hal ini undang-undang, secara konseptual yang demikian itu.

Dalam soal Ahmadiyah, pemerintah seharusnya menarik garis yang tegas, “Ini wilayah yang tidak boleh kalian langgar, kalian memiliki kebebasan, namun kalian tidak boleh melanggar ini kalau ini melanggar kebebasan orang lain.” Kita seringkali kelabakan, pemerintah sering kali dipersonifikasi pada individu, misalnya jika kamu sebagai Kapolda, sebagai individu Muslim, namun sebagai jabatan kamu bukan Muslim, tapi pejabat publik, batas ini yang kadang hilang. Sehingga jika seorang Kapolda ingin membela Ahmadiyah maka dia akan dianggap kurang muslim. Problemnya bukan muslim atau tidak, itu adalah persoalan publik karenanya ia harus terpisah dari perkara keyakinannya.

Banyak sekali usaha-usaha yang dilakukan untuk membangun komunikasi umat beragama, penulisan buku, workshop, seminar dan lain-lain. Kira-kira ke depan bagaimana masa depan soal dialog antaragama ini?

Yang masih kurang sesungguhnya adalah ada satu masalah yang luput dari perhatian ketika kita membuat workshop dan lain-lain, yang disebut sebagai istilah institusionalship work. Kalau pelatihan interfaith kita lebih sering melibatkan individu sebagai individu, tapi kemudian kita tidak bisa menarik istitusi di balik dia. Sehingga kita menemukan banyak orang Katolik yang aktivis dialog, tapi gerejanya tidak, di Protestan dan Islam juga sama.

Nah, bisa tidak membuat serangkaian program yang justru melibatkan institusi, sehingga yang terjadi adalah kesepakatan institusional, perwilayah, saya kira sekarang kita sudah harus mulai bermain di wilayah, bukan sekedar di tingkat nasional.

Terima kasih Mas Trisno atas waktunya.

 

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.