Penyelesaian berbagai kasus kekerasan yang menimpa Jamaah Ahmadiyah di Indonesia terlihat berlarut-larut, tanpa ada kepastian hukum bagi para pelaku kekerasan. Fakta tersebut memunculkan anggapan tumpulnya penegakkan hukum di tanah air, terutama bagi kelompok minoritas di Indonesia. Padahal, hingga tahun 80-an, hampir tak ada persoalan dengan Ahmadiyah. Tetapi sejak tahun 85-an, masalah itu mulai bermunculan. Hal ini menurut J.H. Lamardy, seiring dengan menguatnya kaum fundamentalis di Timur Tengah yang gerakannya berimbas ke Indonesia. Gerakan inilah yang kemudian memicu penolakan terhadap Ahmadiyah di Indonesia. Padahal, Ahmadiyah sudah cukup lama hidup di Indonesia. Dan, jika menengok sejarah, pemikiran dan buku-buku karya pemikir Ahmadiyah sejatinya juga banyak menginspirasi para tokoh bangsa ketika masa perebutan kemerdekaan, seperti Cokroaminoto dan Bung Karno. Demikian penuturan J.H. Lamardy dalam wawancara dengan PSIK-Indonesia diwakili Julmansyah dan Dhona el-Furqon, pada Jumat 15 Mei 2009 di kantor Ahmadiyah, Jalan Balikpapan, Jakarta. Berikut petikan wawancaranya.
Sejauh ini ketidakadilan terhadap Ahmadiyah kerap terjadi, penghancuran sekolah, masjid, tempat tinggal, dan bahkan terkucil dari lingkungan sosial adalah contoh konkretnya. Bagaimana Bapak melihat penyelesaian kasus ini atau seharusnya bagaiana?
Harusnya, dalam persoalan berbangsa dan bernegara berpegang pada konstitusi. Seharusnya pada itulah kita berpegang; negara kitakan bukan teokrasi, tapi berpedoman pada Pancasila. Lebih-lebih, sudah banyak sekali sudah ditandatangani mengenai HAM dan anti diskriminasi. Bahkan dalam beberapa hal sudah menjelma dalam bentuk undang-undang atau aturan yang berlaku di negara kita.
Ternyata yang paling penting, sejauh ini hukum belum betul-betul ditegakkan. Waktu kita mengadakan sebuah seminar pada bulan Maret, para peserta seminar sepakat bahwa presiden harus tegas melarang orang-orang yang melakukan kekerasan. Jika presiden dan pemerintah lalai, tentu itu merupakan sebuah kesalahan dan dengan itu pemerintah pantas untuk dibawa kepengadilan konstitusi.
Penutupan itu; secara kekerasan, dalam banyak hal dilakukan oleh sekelompok masyarakat. Sayangnya, pemerintah yang berwenang untuk menegakkan hukum tak berbuat banyak untuk itu. Namun, para penegak hukum itu tidak juga melarang kami (Ahmadiyah) untuk beribadah; misalnya setelah terjadi pengerusakan dan kita pindah ketempat lain tak menjadi soal buat mereka. Namun, ketika terjadi pengerusakan, umumnya tidak ada langkah hukum untuk meminta pertanggungjawaban dan mengadili. Kasus parung misalnya, hanya kroco-kroconya saja yang diadili, itu juga sekedar dikenai hukuman percobaan. Ketiadaan sikap tegas dari aparat hukum ini, melahirkan keberanian lebih bagi para oknum masyarakat itu untuk melakukan penghancuran dan pengerusakan yang sama di tempat atau wilayah lain terhadap Ahmadiyah.
Boleh sedikit diceritakan temuan Ahmadiyah soal penyebab yang memicu masyarakat melakukan kekerasan itu, mungkin soal perbedaan yang ada pada ajaran Ahmadiyah misalnya?
Jadi begini, Ahmadiyah sesungguhnya sebelum kemerdekaan sudah berada di Indonesia. Bahkan orang seperti HOS Cokroaminoto dalam beberapa hal diinspirasi oleh oleh buku-buku Ahmadiyah. Buku-buku itu menginspirasi karena secara gamblang memperlihatkan kelemahan-kelemahan agamanya penjajah. Ketika orang Islam sendiri melihat bagaimana pendiri memperlihatkan kristianiti ketika itu, timbul semangat bukan hanya untuk membangkitkan Islam, tapi juga memiliki pemahaman bahwa betapa lemahnya aqidah para penjajah itu.
Inilah yang juga menjadikan Cokro mengambil inspirasi pemikiran Ahmadiyah dan ini pula yang oleh Bung Karno; kalau kita membaca bukunya, Di Bawah Bendera Revolusi, ia mengatakan bahwa “Warisilah api Islam, jangan abunya” atau Bung Karno mengatakan “Setiap nabi-nabi membawa revolusi.” Itu semuanya diambil dari buku Ahmadiyah. Jadi tokoh-tokoh awal kemerdekaan kita, banyak mendapat inspirasi dari Ahmadiyah. Sebagaimana juga pemimpin-pemimpin awal dari Masyumi; melalui Jong Islamiten Bond, bersemangatnya membela negara karena inspirasinya dari Ahmadiyah.
Sampai pada tahun 80-an tidak ada masalah, jadi kira-kira sudah enam puluh tahun Ahmadiyah berada di Indonesia. Nah, justru mulai bangkitnya masalah mulai tahun 85-an. Kita melihat memang dengan bersamaan dengan kebangkitan kaum fundamentalis di Timur Tengah, itu tak terelakkaan berimbas ke Indonesia. Jadi, sepertinya perbedaan-perbedaan itu memang agak besar; perbedaan aqidah Ahmadiyah dan non-Ahmadiyah. Kita beranggapan Imam Mahdi yang dikabarkan oleh Rasulullah; yang akan membangkitkan Islam diakhir zaman, telah datang, ini salah satu perbedaannya. Pun ketika kita beranggapan, kalau bukan berpangkat nabi, Rasulullah tidak perlu mengabarkannya, kalau hanya orang biasa. Tetapi jika pun nabi, itu adalah nabi kecil yang serta-merta lantas membatalkan syariat Islam. Sebagaimana juga ketika Musa, ada nabi Harun yang hadir secara bersamaan ketika itu. Harun tidak membatalkan Musa, tetapi memenuhi perintah Musa. Demikian juga Imam Mahdi itu selalu memenuhi perintah Muhammad dan membesarkan Islam, bukan agama lain. Ini perbedaannya. Jadi perbedaan ini dieksploitasi dan inilah yang memicu konflik-konflik yang kerap terjadi.
Ada anggapan bahwa Ahmadiyah bersifat eksklusif. Pandangan ini setidaknya terlihat pada pendirian masjid-masjid yang seolah khusus untuk pengikut Ahmadiyah atau Ahmadiyah punya masjidnya sendiri, bagaimana tanggapan Bapak?
Begini, itu ada sejarah sendiri kenapa Ahmadiyah mendirikan masjid. Pendiri Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad, sejak beliau kecil memang rajin belajar al-Qur’an, rajin belajar agama. Sejak beliau berumur sekitar 35 tahun sudah memiliki murid dan itu cukup banyak yang belajar padanya. Jadi, sejak beliau belum mendakwahkan Imam Mahdi itu pun, murid-murid memang sudah banyak yang menimba pengetahuan pada beliau. Ketika beliau mendakwahkan bahwa akulah Imam Mahdi zaman ini, itu teman-teman, ulama-ulama yang dulu dekat dengan beliau mulai menjauh dan lama-kelamaan menjadi bermusuhan. Bahkan, sampai-sampai para murid Mirza Ghulam tak diperkenankan untuk melakukan shalat di masjid mereka yang memusuhi beliau.
Tentu tak ada jalan lain para jamaah Ahmadiyah mendirikan masjidnya sendiri. Ini merupakan reaksi dari sikap yang kurang toleran dari yang lain, sehingga ya sudah, jika kita tak diperbolehkan, ya kita tak usah kesana. Kebijakan yang mula-mula terjadi di Pakistan ini, kemudian diikuti seluruh pengikut Ahmadiyah yang ada di negara atau wilayah lain. Begitu kira-kira latar sejarahnya.
Namun, bagi kita tak masalah jika umat Islam pada umumnya beribadah di masjid Ahmadiyah, kami welcome. Saya waktu di Jogja dulu, saya angkatan Mas Dawam, Mas Johan, dan Mas Amin, setiap Minggu melakukan pengajian khusus di masjid Ahmadiyah, ketika itu saya pengurus HMI Jogja, datang sekitar tiga puluhan lebih dan berdiskusi panjang lebar. Setelah selesai kita juga shalat bersama dan berjamaah. Dan karena masjid kami di Jogja itu berdekatan dengan sekolah-sekolah SMEA dan SMA, mereka shalat Ashar dan Zuhur misalnya di masjid kami, dan kita welcome sekali.
Tahun 2008 kita tahu banyak sekali kekerasan yang mengatasnamakan keyakinan. Ini tentu terkait dengan minimnya toleransi di kalangan umat beragama; baik antar, lebih-lebih internal agama, seperti dalam kasus Ahmadiyah. Nah, bagaimana Ahmadiyah melihat hal ini?
Nurcholish Madjid sejak awal juga mengatakan bahwa itu adalah pertanda sebuah kecemburuan, mainstream ini ingin menjaga, bahwa inilah kemurnian, jangan diganggu-ganggu, jika kalian ingin tidak Islam, ya silahkanlah sendiri. Tapi bagaimanapun juga ternyata selama tiga tahun delapan bulan, kita ini diobok-obok positif sekali. Ahmadiyah menderita, tetapi tidak satu pun membiarkan dia diperlakukan demikian. Jika di Arab, Pakistan Ahmadiyah ditendang, di Bangladesh juga hampir mendapat perlakukan sama, pun di Malaysia juga terjadi dan semua itu tidak ada yang membela. Tetapi di Indoensia, ditendang oleh fundamentalis Islam, dibela oleh cendekiawan Islam, itu luar biasanya.
Negara seolah berhak turut menyelesaikan keyakinan Ahmadiyah, terlihat dari dikeluarkannya SKB, bagaimana tanggapan Ahmadiyah soal SKB ini?
Itu inkonstitusional. Secara secara struktur konstitusi ada memang undang-undangnya nomor satu tahun 1965, mula-mula itu keputusan presiden, kemudian menjadi undang-undang. Tapi bagaimanapun itu kan ketika dulu zaman presidensilnya bung Karno; semua boleh demi revolusi. Seharusnya dalam konteks sekarang yang sudah berada pada era reformasi, itu sudah saatnya dibuang dan kini kita juga sedang berjuang ke arah itu.
Jadi, SKB itu menjadi ranjau bagi kita. Tapi kita tetap akan melakukan langkah-langkah hukum untuk mencabut pemberlakukan undang-undang nomor satu tahun 1965 yang berlaku sejak lama itu.
Mungkin ini terakhir, kita sudah berbincang soal prodak hukum yang mengatur soal perlindungan untuk berkeyakinan, meski sudah ada namun belum dilaksanakan dengan baik. Harapan kedepan Ahmadiyah untuk pengembangan toleransi kira-kira bagaimana?
Harusnya kita membangun civil society yang memang persoalan keagamaan adalah persoalan setiap individu dan adalah kewajiban pemerintah untuk melindungi itu. Secara jelas konstitusi mengatakan bahwa jika pemerintah tidak menjalankan itu, dia berhak dihukum.
Karena persoalannya adalah hukum yang kurang tegak, maka kita juga berkeinginan bergerak di wilayah itu. Kita tidak akan memakai langkah-langkah politis, demo dan pengerahan masa dan lain sebagainya.
Terima kasih Pak Lamardy atas kesempatan wawancara ini.