Sungguh sesat argumen bahwa pilkada langsung tidak sesuai Pancasila, yang diandaikan mengamanatkan demokrasi perwakilan semata. Spirit utama demokrasi Pancasila, pada hakikatnya, adalah permusyawaratan rakyat.
Argumen yang dikembangkan fraksi-fraksi DPR penolak pilkada langsung tersebut tidak memiliki alasan memadai, kecuali dilandaskan pada hasrat kekuasaan. Argumen ini menyesatkan karena hendak mengubur kedaulatan rakyat dengan menggunakan instrumen demokrasi Pancasila.
Di hadapan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan pada 1 Juni 1945, ketika menyampaikan landasan filosofis Indonesia merdeka, Soekarno menyerukan bahwa Indonesia hendaknya didirikan atas ”dasar mufakat, dasar perwakilan, dan dasar permusyawaratan.” Dasar-dasar inilah yang kemudian mewujud dalam prinsip ketiga, di antara prinsip-prinsip lain dalam Pancasila usulan Soekarno, yaitu ”mufakat atau demokrasi”.
Sesungguhnya, yang terutama Soekarno tekankan di sini adalah prinsip permusyawaratan. Dengan jalan permusyawaratan, kita akan memperbaiki segala hal. Inilah spirit yang menghidupi keberlangsungan negara demokrasi Pancasila.
Bahwa untuk mengelola negara kita membutuhkan Badan Perwakilan Rakyat, perjuangan kepentingan dalam badan dilakukan lewat jalan musyawarah. Dengan demikian, prinsip perwakilan bahkan kehilangan maknanya manakala di sana tidak ada permusyawaratan.
Rakyat tertinggi
Penegakan prinsip musyawarah dalam pengelolaan negara adalah perwujudan kedaulatan rakyat dalam republik, yaitu ketika rakyat memegang kekuasaan tertinggi untuk menentukan arah yang hendak dituju oleh komunitas politik tersebut.
Lewat teks yang ditulisnya pada 1946, Muhammad Hatta menunjukkan bahwa kedaulatan rakyat itu dibangun berlandaskan musyawarah. ”Kedaulatan rakyat berarti bahwa kekuasaan untuk mengatur pemerintahan negeri ada pada rakyat. Rakyat berdaulat, berkuasa untuk menentukan cara bagaimana ia harus diperintah…. [Inilah] kekuasaan yang dijadikan oleh rakyat atau atas nama rakyat di atas dasar permusyawaratan.”
Implikasi pemahaman tersebut adalah rakyat subyek yang menulis—langsung ataupun tak langsung—peraturan perundang-undangan, yang dengan dasar itu negara dikelola. Rakyat, sekaligus, adalah hamba-hamba hukum yang tunduk pada apa yang mereka tetapkan secara otonom. Meski demikian, pemberlakuan hukum diikat oleh suatu syarat legitimasi, yaitu bahwa ia dihasilkan lewat permusyawaratan rakyat.
Dengan demikian, pada kedaulatan rakyat bukan hanya terkandung kekuasaan, melainkan pula tanggung jawab. Siapakah rakyat yang mampu memikul tanggung jawab itu? Ialah mereka yang, menurut Hatta, memiliki keinsafan. Karena itulah, Hatta menekankan pentingnya pendidikan politik untuk menumbuhkan kesadaran dan kecerdasan rakyat. Sebab, pada akhirnya, kehendak rakyatlah yang menggerakkan para pemimpin, bukan sebaliknya.
Pendidikan politik
Kita belajar bahwa demokrasi Pancasila memberi tempat utama bagi kedaulatan rakyat lewat permusyawaratan rakyat. Berdaulat bukan berarti rakyat bebas melakukan segala hal, melainkan rakyat memikul tanggung jawab untuk menjaga arah pengelolaan negara agar selalu berorientasi pada kesejahteraan umum. Inilah suatu hikmat kebijaksanaan yang sepatutnya memandu segenap proses permusyawaratan rakyat.
Dalam demokrasi Pancasila, permusyawaratan rakyat berkelindan dengan partisipasi. Permusyawaratan rakyat membutuhkan keterlibatan dan pelingkupan yang memastikan bahwa tidak ada hambatan sistematis bagi warga negara untuk turut serta berpolitik.
Lebih lanjut ia membutuhkan kesadaran yang memastikan bahwa kualitas partisipasi warga negara dapat memelihara pengambilan keputusan untuk tidak mengingkari kepentingan bersama.
Pilkada langsung, sekurangnya sepuluh tahun terakhir, memberi ruang keterlibatan dan pelingkupan meluas bagi rakyat. Namun, belum meratanya kesadaran dan kecerdasan politik telah menghalangi partisipasi politik berkualitas. Akibatnya, kandidat yang mumpuni kadang dikalahkan kandidat lain yang lebih populer. Problem ini membutuhkan solusi pendidikan politik.
Sejauh ini, partai-partai politik mampu berperan baik sebagai mesin politik dalam berbagai kontestasi kekuasaan. Namun, kita belum sungguh-sungguh mendapati peran besar partai politik dalam pendidikan politik untuk membangun masyarakat berkesadaran. Inilah salah satu akar masalah mengapa pilkada langsung belum kunjung memberi kontribusi signifikan bagi penguatan demokrasi dan pemajuan kesejahteraan di sejumlah wilayah Indonesia.
Logika tidak lurus
Dalam situasi semacam itu, mengembalikan kuasa kepada DPRD untuk memilih kepala daerah menunjukkan ketidaklurusan logika para penyusun Undang-Undang Pilkada. Publik juga patut syak bahwa motif untuk mengakumulasi kekuasaan telah mendorong DPR untuk merampas kedaulatan rakyat. DPR mesti paham bahwa pilkada bukanlah sekadar kontestasi kekuasaan. Dengan basis permusyawaratan rakyat, pilkada mengekspresikan spirit demokrasi.
Penyusunan undang-undang memang merupakan wewenang konstitusional DPR. Namun, saya sungguh khawatir bahwa pengesahan Undang-Undang Pilkada adalah suatu penyalahgunaan wewenang konstitusional untuk, pada akhirnya, justru mengubur kedaulatan rakyat. DPR bukan sekadar memperlemah badan perwakilan rakyat. Lebih daripada itu, DPR telah merongrong landasan berdirinya negara.
DPR seharusnya memperkuat sandaran logis agar suatu undang-undang berterima di hadapan rasionalitas publik dan itu berarti undang-undang diarahkan pada kemanfaatan terbesar untuk publik.
Selain itu, dibandingkan dengan bersikukuh melihat rakyat sebagai sumber masalah buruknya kualitas demokrasi, ada baiknya DPR juga mewawas diri sembari membangun komunikasi politik yang sehat dengan rakyat.
Tulisan ini telah dipublikasikan di harian Kompas Siang, 14 Oktober 2014.