Mencermati kompromi politik DPR yang menghasilkan UU Pemilu, Kompas (13/4) secara retorikal bertanya, “Demi bangsa atau demi partai?” Gugatan tersebut masuk akal mengingat perubahan UU Pemilu lebih mencerminkan akomodasi kepentingan partai-partai politik ketimbang kepentingan publik lebih luas.
Berhadapan dengan situasi tersebut, politik nasional membutuhkan semacam suntikan imajinasi. Imajinasi yang dibutuhkan adalah suatu bayangan yang memperluas perspektif elite politik agar bersimpati dan menimbang kepentingan publik saat mereka mengambil keputusan atau kebijakan. Imajinasi serupa dapat menghindarkan politik dari kemungkinan terlumpuhkan oleh prosedur kompromi transaksional di antara kepentingan sempit para elite.
Kompromi Politik
Di hadapan BPUPKI pada 1 Juni 1945, Soekarno mengungkapkan pentingnya upaya bersama untuk menemukan suatu modus yang melandasi Indonesia merdeka. “Ini bukan kompromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita bersama-sama setujui,” ujar Soekarno. Dimuliakanlah para pendiri Indonesia yang kemudian bermufakat tentang suatu negara “semua buat semua”, bukan buat golongan tertentu.
Terdapat suatu paradoks dalam keinginan Soekarno untuk mencapai kesepahaman, tetapi tidak semata kompromis tersebut. Persoalannya, mungkinkah paradoks semacam itu menjadi suatu jalan politik?
Chantal Mouffe memberi afirmasi atas hal itu dalam The Democratic Paradox (2000). Suatu demokrasi yang berfungsi baik, menurut Mouffe, butuh konfrontasi di antara posisi-posisi politik demokratis. Ini menuntut perdebatan sejati tentang berbagai alternatif kemungkinan.
Pada kenyataannya, konsensus merupakan suatu kebutuhan praktis bagi institusi demokrasi. Namun, akan selalu ada perbedaan menyangkut bagaimana prinsip-prinsip harus diterapkan dalam institusi tersebut. Perbedaan tersebut menjadi penting karena ketika batas yang menegaskan pelaku-pelaku politik itu kabur, demikian Mouffe, di situ politik mengalami penghancuran karena samarnya identitas politik.
Tantangan bagi demokrasi kemudian adalah bagaimana mencapai tingkat kesepahaman tertentu tanpa menghapuskan perbedaan. Jika kesepahaman koalisi unilateral tersebut hendak dihindari, alternatifnya bukanlah transaksi kepentingan yang penuh konsesi kompromis. Sebaliknya, yang dikehendaki adalah suatu model demokrasi dengan tingkat konflik moderat yang memelihara keberagaman identitas kepentingan, tetapi tetap mampu meniti konvergensi tertentu.
Dengan pemahaman tersebut, saya khawatir proses pengesahan UU Pemilu adalah suatu langkah menuju lumpuhnya politik yang hakiki. Kompromi politik yang dihasilkannya cenderung mencerminkan suatu transaksi untuk mempertukarkan berbagai kepentingan partikular partai-partai politik. Sistem pemilu mungkin ditukar ambang batas parlemen, alokasi kursi dibarter dengan metode penghitungan perolehan kursi, begitu seterusnya.
Jika itu yang terjadi, kita tidak lagi melihat partai politik sebagai pihak-pihak politik (dengan perbedaan dan identitas kepentingan yang jelas) dalam suatu sistem demokrasi pluralistik. Pertentangan telah dinetralkan melalui kompromi transaksional sehingga politik tidak menjadi kontestasi alternatif gagasan-gagasan. Perdebatan sejati telah dikalahkan oleh barter aturan sehingga politik tersuruk menjadi sekadar transaksi kepentingan.
Dengan kebijakan yang kompromis, tak mengherankan DPR terjebak oleh rutinitas mengubah UU Pemilu setiap lima tahun demi mengakomodasi kepentingan sepihak partai politik.
Ketiadaan Sensibilitas
Selain cenderung kompromis, proses menuju pengesahan UU Pemilu juga cenderung elitis. Pemilu lebih dipandang sebagai kepentingan partai politik. Konsekuensinya, pertimbangan-pertimbangan yang lebih adil dan terbuka pada akhirnya terkalahkan oleh pertimbangan subyektif politik praktis. Prioritas kepentingan partai-partai politik atas kepentingan publik terasa ironis di tengah retorika elite politik yang hampir selalu mengatasnamakan rakyat.
Sesungguhnya pemilu dapat menjadi instrumen demokrasi dan perwujudan kedaulatan rakyat. Sebagai kepentingan segenap rakyat, pemilu mempersyaratkan keterlibatan rakyat bukan semata sebagai pemilih pasif, melainkan bahwa mereka turut aktif dalam deliberasi publik.
Jika pemilu dipahami sebagai salah satu perwujudan deliberasi publik, sepatutnya pelibatan publik dalam pembahasan rancangan UU Pemilu tidak sekadar penghias bibir yang penuh klise. Lagipula, semakin luas keterlibatan publik (sejauh relevan), akan berkemungkinan memberi perspektif yang lebih luas bagi para penentu keputusan. Dengan begitu, kiranya fungsi agregasi dan artikulasi kepentingan dapat dimainkan secara lebih optimum oleh DPR dan partai politik.
Sebaliknya, ketika partikularitas elitis jadi landasan bekerjanya sistem politik, sesungguhnya politik berjalan tanpa imajinasi. Orientasi elite terbatas pada kepentingan sepihak mereka tanpa sensibilitas terhadap kepentingan publik. Saya sungguh mencemaskan bahwa politik tanpa imajinasi seperti itulah yang berlangsung dalam tawar-menawar yang berujung kompromi politik pengesahan UU Pemilu.
Mengapa imajinasi jadi penting bagi politik? Tak lain karena imajinasi memungkinkan rasa simpati. Tanpa sensibilitas atas kepentingan publik, politik minus simpati kiranya jadi semata transaksi kepentingan antarelite.
Bertolak dari pandangan Adam Smith tentang kepatutan perilaku, saya memandang perlu untuk menyuntikkan gagasan tentang imajinasi dan simpati ke dalam politik. Dalam The Theory of Moral Sentiments, Smith menunjukkan bahwa rasa simpati, melalui imajinasi, dapat membawa kita pada bayangan tentang situasi orang lain. “Seolah kita merasakan kepedihan yang sama, seolah kita merasuki tubuhnya, kemudian menjelma menjadi dirinya dan lantas membayangkan apa yang menimpanya, bahkan merasakan sesuatu yang meskipun pada tataran yang berbeda,” demikian Smith (2004:12) menjelaskan rasa simpati.
Imajinasi dan simpati terhadap kepentingan publik adalah kebutuhan para anggota DPR jika mereka sungguh-sungguh wakil rakyat. Sensibilitas terhadap kepentingan publik dapat mendasari pengambilan kebijakan yang diorientasikan pada pemenuhan kepentingan bersama tersebut.
Pada lain sisi, imajinasi dan simpati juga memungkinkan konformitas dalam pengambilan keputusan. Keduanya membuka jalan bagi pemahaman orang terhadap keberagaman dan prioritas pandangan sehingga terbentuk kesepahaman. Alih-alih berkompromi melalui barter aturan, perluasan perspektif semacam itu kiranya akan mendorong suatu permufakatan inter-subyektif.
Terakhir, jika benar bahwa negara ini didirikan bukan untuk memenuhi kepentingan golongan tertentu, seandainya memang negara ini berlandaskan prinsip semua untuk semua; kiranya para elite politik perlu mengembangkan imajinasi politik mereka tentang kepentingan publik.
Tulisan ini telah dipublikasikan di harian Kompas, 28 April 2012.