Sejarah kebangkitan nasional adalah tentang proses menumbuhkan spirit persatuan dalam raga kebangsaan, menuju Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Kini tantangan persatuan Indonesia muncul dari populisme yang membawa serta kebencian atas yang berbeda.
Ironi dan paradoks merundung peralihan masa menuju abad XX. Diperkenalkannya politik etis tampak sebagai suatu ironi, karena setelahnya Pemerintah Kolonial Belanda justru meningkatkan represi demi melibas kuncup nasionalisme Indonesia. Pada masa yang sama, pilihan perjuangan kooperatif mengiringi secara paradoksal perjuangan nonkooperatif untuk tujuan tunggal: Indonesia merdeka.
Inilah suatu masa kebangkitan nasional, yang ditandai terutama oleh menggelegaknya gagasan kebangsaan Indonesia. Deraan penderitaan dan sentuhan pendidikan, sedemikian rupa, membuka selubung kesadaran yang sebelumnya tenggelam oleh penundukan. Masa pembentukan kesadaran baru ini, sesungguhnya, adalah juga suatu masa ujian bagi orientasi persatuan Indonesia.
Persatuan Indonesia, sebagaimana disebut Soekarno, merupakan suatu pendahuluan bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tentu ini bukan suatu proyek untuk meringkus keberagaman, yang secara hakiki menjadi karakter masyarakat Nusantara. Persatuan Indonesia adalah suatu langkah untuk memberi jiwa bagi raga kebangsaan sehingga terbentuk suatu entitas politik yang berdaulat.
Bagaimana jiwa tersebut dapat tumbuh dan bangkit? Dalam ”Melihat ke Muka!”, yang diterbitkan Suluh Indonesia Muda pada 1928, Soekarno memberi jawaban: ”…nasionalis-nasionalis kita tidak boleh lalai bahwa tiap-tiap geraknya Roh Nasional hanyalah bisa terjadi jikalau rakyat itu mempunyai harapan atas berhasilnya usaha kekuatan sendiri dan mempunyai kepercayaan dalam kekuatan sendiri itu”.
Hindia Belanda awal abad XX adalah suatu lokus pergulatan harapan dan kepercayaan yang bersilangan di antara mereka yang yakin bahwa kita memiliki kemampuan untuk bersandar pada kekuatan sendiri. Namun, problem persatuan terus-menerus mengadang di antara mereka yang meragukan bahwa keberagaman pandangan dan identitas itu justru mampu memperkaya jiwa kebangsaan.
Para nasionalis bukan saja memiliki harapan tentang Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur; mereka percaya bahwa kehendak baik itulah yang mempertautkan pribadi dan kelompok yang berlainan. Meskipun begitu, sejak awal kelahirannya, keindonesiaan berhadapan dengan tantangan berkelanjutan berkenaan bagaimana memelihara persatuan dalam keberagaman.
Tantangan ini tampak menggugat secara keras kesadaran kebangsaan kita hari ini. Bukan saja karena kita dituntut untuk mampu meniti secara cermat di antara tarikan nasionalisme dan globalisme, melainkan pula karena nasionalisme mendapatkan ujian dari populisme yang dibawa para demagog bersama dengan gagasan kebencian berbasis identitas, hanya demi kemenangan elektoral.
Keterputusan sosial
Dalam kerangka nasionalisme, pengalaman sejarah merupakan bagian dari repertoar ingatan yang dapat ditinjau pada masa krisis dan menjadi panduan bagi tindakan kolektif (Hutchinson, 2017:80). Merawat ingatan sejarah merupakan suatu kebutuhan setiap negara-bangsa; bukan sekadar suatu nostalgia sentimentil, hasil refleksi sejarah dapat memandu gerak bersama ke depan.
Krisis kebangsaan kini mendera manakala gejala pembelahan sosial mewujud sebagai dampak buasnya kontestasi kekuasaan. Intimidasi, persekusi, diskriminasi, dan bentuk-bentuk lain ekspresi kebencian semakin mudah kita dapati di antara kelompok-kelompok berbeda dalam masyarakat. Keberagaman menjadi sulit diterima dan perbedaan menjadi hambatan besar dalam komunikasi sosial.
Sumber masalahnya bukanlah perbedaan itu sendiri, menimbang sejak awal keberagaman telah menjadi bagian lekat identitas Indonesia. Kebencian itu digerakkan oleh agitasi dalam politik populis, yang mendapatkan energinya dari keterputusan sosial; suatu situasi yang tercipta dari keterpinggiran dan kesenjangan, yang memutus rantai interaksi di antara mereka yang berlainan.
Pada sisi lain, orientasi berlebihan pada kontestasi kekuasaan telah menempatkan banyak politikus pada pilihan ”menang atau tidak sama sekali”. Kemenangan membuka peluang akses luas terhadap sumber daya kekuasaan; sebaliknya, kekalahan menghasilkan hanya kerugian. Dalam situasi ini, politik dihidupi bukan oleh dialog dan diskusi publik, melainkan oleh hasrat pengejaran kekuasaan.
Kegagapan komunikasi terjadi pada tataran elite maupun massa, yang semakin terisolasi oleh pengejaran kepentingan partikular masing-masing. Bukan saja enggan berinteraksi, pihak yang berbeda dianggap sebagai kompetitor yang menghalangi pencapaian tujuan. Empati terkikis seturut keterputusan sosial, yang kemudian menghasilkan pembelahan dan mengancam sosiabilitas.
Di tengah kepengapan politik, kini kita membutuhkan gagasan segar bagi pembaruan spirit persatuan Indonesia. Sejarah kebangkitan nasional telah mengajarkan bahwa harapan dan kepercayaan rakyat adalah suatu modal penting yang menggerakkan ”Roh Nasional”. Bertolak dari sini, politik mesti mampu menerbitkan harapan dan menumbuhkan kepercayaan massa pemilih.
Kompetisi politik perlu ditransformasi jadi suatu kontestasi gagasan, yang mendorong diskusi publik tentang persoalan-persoalan bersama. Sementara populisme tidak boleh dibiarkan mengebawahkan rakyat sekadar obyek kekuasaan. Melampaui hasrat saling menundukkan, upaya pencapaian kemenangan politik tak mungkin diraih dengan mengorbankan persatuan nasional.
Tulisan ini telah dipublikasikan di harian KOMPAS, 22 Mei 2018.