Kompleksitas hubungan antara sepak bola dan politik membelit Piala Dunia 2018 menyusul ancaman boikot diplomatik Inggris dan sejumlah negara lain. Rusia membutuhkan dialog dan reformasi tanpa menjadikan Piala Dunia sebagai sekadar alat propaganda.
Berbekal keyakinan bahwa kegairahan sepak bola dapat menyurutkan agresivitas politik, dunia mengharapkan lebih banyak cinta dari Rusia.
Gairah dan agresi
“Olah raga merupakan hal terpenting di dunia, lebih daripada politik, lebih daripada segalanya,” kata Paulo Coelho, Duta Piala Dunia 2014 Brazil bersama Dunga dan Romario. Penyebabnya, lanjut Coelho yang memengaruhi dunia dengan karya-karya sastranya, olah raga telah membawa serta gairah; ia adalah tentang emosi, yang tanpa itu kita hanya akan melihat agresi.
Coelho benar bahwa tanpa gairah, kita hanya akan melihat agresi. Aspek emosional inilah yang menyelematkan kita untuk tidak melihat yang lain sebagai semata musuh yang harus ditaklukkan. Kita ingat adegan menyentuh ketika Bastian Schweinsteiger memeluk secara simpatetik Lionel Messi, usai Jerman berjibaku mengalahkan Argentina pada final Piala Dunia 2014.
Namun, Coelho tidak perlu membenturkan terlalu keras olah raga dan politik. Faktanya, olah raga dan politik berkelindan dan cukup sering saling mendukung –entah untuk suatu tujuan etis atau pun untuk maksud lain yang lebih pragmatis. Relasi antara olah raga dan politik bahkan berlangsung nyaris abadi –sejak masa Yunani Kuno hingga Vladimir Putin berkuasa di Moskow.
Piala Dunia 2010, misalnya, disebut Nelson Mandela sebagai bagian rekonsiliasi nasional Afrika Selatan, yang sebelumnya terbelah apartheid. Sebangun upaya FIFA untuk menendang rasisme jauh dari sepak bola, komitmen politik tersebut berkontribusi terhadap dipilihnya Afrika Selatan sebagai tuan rumah Piala Dunia, yang menurut FIFA terkesan “sederhana, tetapi meyakinkan.”
Pada Piala Dunia 2014, Brazil mencoba menggabungkan kegairahan sepak bola bersama kegairahan ekonomi dan politik. Menguras lebih $11 milyar, Piala Dunia diharapkan menggenjot PDB Brazil di tengah merosotnya popularitas pemerintah. Sayangnya, tim Brazil tersungkur di semi final dan skandal korupsi menjerembabkan Dilma Roussef dari kursi kepresidenan pada 2016.
Miguel Delaney menulis bahwa Piala Dunia 2018 kali ini merupakan turnamen yang paling politis, bahkan dibandingkan Piala Dunia 1978 yang digelar junta militer Argentina. Turnamen ini, tentu saja, memiliki dimensi yang majemuk; tetapi, dalam pusaran ambisi kekuasaan Putin, persilangan politik menyita perhatian nyaris melebihi perbincangan teknis sepak bola.
Berbagai isu, seperti korupsi, rasisme, homofobia, hak asasi manusia –selain juga gejolak ekonomi– mengundang perdebatan tentang kelayakan Rusia sebagai tuan rumah perhelatan olah raga terbesar sejagad tersebut. Di tengah ancaman boikot yang sempat mengemuka, Presiden Putin menegaskan “Rusia telah siap untuk menyelenggarakan turnamen ini.”
Piala Dunia Politis?
Serupa kisah rekaan Ian Fleming “From Russia with Love”, relasi antara Inggris dan Rusia di tubir jurang setelah upaya pembunuhan Sergei Skripal, seorang mantan perwira militer Rusia yang pernah berperan sebagai agen ganda. Dia terkapar bersama putrinya, Yulia, di sebuah bangku dekat pusat perbelanjaan dengan tubuh mereka terpapar gas syaraf pada 4 Maret 2018 di Salisbury.
Telunjuk Perdana Menteri May mengarah kepada Rusia sebagai pihak yang harus bertanggung jawab, dan Rusia menyebut hal itu sebagai sirkus. Kemarahan Inggris, diikuti sekitar 26 negara lain, berdampak pengusiran lebih 150 diplomat Rusia. Pasca-pengusiran balasan oleh Rusia, Inggris dan 6 negara lainnya bersiap melakukan boikot diplomatik terhadap Piala Dunia 2018.
Sebelumnya, Uni Eropa menggunakan ancaman boikot untuk menekan Ukraina agar “tidak menggunakan Piala Eropa 2012 sebagai alat propaganda memperbaiki citra, tanpa melakukan reformasi”. Hanya kekhawatiran atas pengaruh lebih besar Rusia yang menghalangi Uni Eropa tidak bersikap lebih keras terhadap Ukraina saat itu.
Hampir mustahil untuk menjadikan sepak bola steril dari politik, dan keduanya memiliki hubungan yang tidak selalu mudah. Bahkan ketika FIFA berkeras menjauhkan politik dari sepak bola, pesan-pesan kemanusiaan mereka gemakan melalui berbagai pertandingan amal untuk menggalang solidaritas. Ambiguitas tampak menyelimuti relasi antara sepak bola dan politik.
Sikap moderat ditunjukkan pelatih Jerman Joachim Loew, yang melihat bahwa sepak bola tidak perlu dikaitkan langsung dengan politik. Namun, menggelar suatu turnamen sepak bola bukan berarti melupakan aspek HAM dan nilai-nilai lainnya. Sebaliknya, kata Loew, sorotan dunia terhadap turnamen itu menjadi kesempatan bagus untuk mendiskusikan masalah dimaksud.
Artinya, terlepas tegangan politik yang berlangsung, tim-tim nasional peserta Piala Dunia tetap dapat bertanding dan para pendukung mereka tetap dapat bersorak. Namun, di bawah sorotan dunia, tidak akan mudah bagi Rusia untuk berperan sebagai tuan rumah yang baik tanpa kesediaan untuk berdialog dan memperbaiki catatan demokrasi mereka.
Sebagai bagian masyarakat dunia, adalah penting bagi negara mana pun untuk tidak menunjukkan sikap agresif. Kita dapat belajar prinsip sportivitas dari tim-tim sepak bola, dengan segenap hasrat mereka untuk mengalahkan lawan tanpa kehilangan sikap saling menghargai. Dalam relasi kompleks antara sepak bola dan politik, dunia berharap lebih banyak cinta dari Rusia.
Tulisan ini telah dipublikasikan di laman GEOTIMES, Rabu, 20 Juni 2018.