Tahap kampanye pilkada segera memasuki putaran akhir sebelum masa tenang dan akhirnya pemungutan suara pada 27 Juni 2018 nanti. Melampaui sekadar keterkenalan dan keterpilihan, kampanye politik mestinya merupakan arena eksaminasi kritis oleh publik terhadap gagasan yang dibawa para pasangan calon. Selain menegaskan legitimasi hasil pilkada, hal tersebut juga menjaga konteks politik untuk tetap hidup dalam kepublikan. Dengan demikian, pilkada tidak lantas tersuruk menjadi suatu proses dekontekstualisasi politik lewat pesta mahal untuk mentransaksikan kekuasaan.
Konteks Politik
Sejak 15 Februari 2018, lebih 500 pasangan yang berkompetisi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) di 171 daerah berkampanye di wilayah pemilihan masing-masing. Meskipun Komisi Pemilihan (KPU) dan KPU daerah mendorong kampanye dialogis, termasuk melalui debat publik untuk mengkritisi pasangan calon, masih terdapat pertanyaan besar tentang kontribusi kampanye tersebut bagi pemajuan politik demokratis.
Demi memastikan derajat keterkenalan dan keterpilihan mereka tinggi, para pasangan calon menggelontorkan dana fantastis untuk penyelenggaraan survei, pengadaan atribut kampanye, iklan politik, dan berbagai bentuk lain sosialisasi. Berdasarkan pengalaman 2017, pada level kabupaten/kota saja Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memperkirakan setiap pasangan membutuhkan Rp20-100 miliar untuk berkontestasi.
Adalah menyedihkan bahwa jumlah dana yang fantastis tersebut berpeluang menjadi daya dorong dekontekstualisasi politik. Penyebabnya yaitu kampanye yang cenderung bernuansa superfisial, karena komunikasi politik kurang menumbuhkan daya kritis publik pemilih. Dalam proses serupa, orientasi publik pemilih diperlakukan mirip selera konsumen yang dibentuk melalui suatu metode pemasaran.
Mengedepankan pemenuhan aspek emosional ketimbang rasional, banyak calon mengaku sifat-sifat seperti “merakyat” dan “bijaksana” tanpa menjelaskan mengapa mereka layak untuk menyematkan julukan-julukan tersebut. Selain itu, penonjolan aspek personal seperti “rupawan” dan “tersohor” bahkan tidak memiliki kaitan jelas dengan kapabilitas seorang calon kepala daerah.
Di tengah minimnya identifikasi isu-isu publik, para pemilih diarahkan untuk menyukai pasangan calon tertentu tanpa pemahaman rasional tentang implikasi meluas suatu pilihan. Imajinasi publik pemilih tentang seorang pemimpin tidak memiliki landasan jelas. Seolah keputusan pemilih sekadar merupakan pereferensi subjektif, yang tidak terkait dengan serta tidak berdampak pada-situasi publik.
Streeck (2012) mengingatkan bahwa “komunitas politik adalah suatu republik yang pada hakikatnya tidak mungkin digeser menjadi pasar, tanpa menggerus nilai-nilai pokoknya.” Manakala kait-kelindan antara tindakan politik dan kemanfaatan umum maupun identitas sosial menjadi lemah, kita patut mengkhawatirkan penggerusan konteks kepublikan lewat suatu kampanye politik berbiaya mahal.
Konteks politik suatu tindakan, sesungguhnya, terletak pada fakta bahwa ia tidak mungkin dilepaskan keterkaitannya dengan kondisi anggota-anggota lain dari komunitas yang sama. Relasi politik menekankan suatu ikatan kuat kewajiban ketimbang pertautan longgar pilihan. Konsekuensinya, Anda tidak mungkin mengabaikan anggota lain komunitas yang terdampak oleh pilihan politik Anda.
Dalam suatu komunitas politik, kepublikan menuntut anggota-anggota komunitas untuk memiliki solidaritas kolektif. Melampaui semata loyalitas terhadap kebersamaan, kepublikan membutuhkan suatu dialog yang terus-menerus mempertautkan individu-individu. Proses semacam inilah yang absen dari seruan-seruan dalam kampanye politik yang mengecoh kesadaran demi keterpilihan kandidat.
Eksaminasi Publik
Politik, sebagaimana dikemukakan oleh Streeck, pada pokoknya adalah tentang penciptaan dan pengaturan tatanan sosial. Inilah suatu mekanisme yang di dalamnya anggota-anggota komunitas menegosiasikan kepentingan-kepentingan mereka, yang tidak selalu sama, hingga terjalin kesepahaman. Politik merupakan suatu kesempatan untuk terus-menerus memperbarui kesepahaman tersebut.
Sejak awal bersifat sosial, proses politik tidak seharusnya didegradasi untuk menghasilkan produk-produk yang memenuhi semata hasrat dan selera individu. Dimaksudkan untuk menghasilkan kebaikan bersama, melalui politiklah orang hidup dalam kepublikan dan berpartisipasi secara kritis dalam dialog untuk mengambil keputusan-keputusan yang menentukan keberlangsungan tatanan.
Partisipasi politik membutuhkan kesediaan untuk menimbang pilihan seseorang dalam terang prinsip-prinsip umum. Selain dapat menyatukan publik, pertimbangan bersama juga memastikan derajat legitimasi keputusan tertentu yang memperoleh dukungan luas. Politik, dengan begitu, dipandu oleh suatu eksaminasi publik sebagai jalan untuk memadukan berbagai kehendak.
Pilkada pada dasarnya adalah juga suatu bentuk eksaminasi publik; di dalamnya para pemilih mesti menimbang secara cermat siapa calon tepat untuk mengisi jabatan kepala daerah. Sebagai suatu eksaminasi, tindakan memilih dalam pilkada seharusnya dilandaskan pada pertimbangan-pertimbangan yang berterima (reasonable) agar ia menghasilkan suatu pilihan yang absah (legitimate).
Sebagai suatu pemungutan suara, kemenangan dalam pilkada memang ditentukan oleh besarnya dukungan. Namun, dukungan besar yang muncul bukan dari suatu eksaminasi kritis hanya mampu menghasilkan suatu legitimasi semu. Perhatikan bagaimana tanpa pertimbangan kritis pilkada dapat menciptakan oligarki ataupun kleptokrasi, yang keduanya minus legitimasi nyata.
Ketika para pemilih menentukan preferensi mereka tanpa menafikan kepublikan, dan saat ikatan kolektif dalam suatu republik menjadi kukuh oleh pertukaran gagasan, semestinya pilkada tidak menjadi suatu pesta pemilihan pemimpin yang mahal minus substansi demokrasi. Politik, juga pilkada, harus diselamatkan dari kecenderungan personalisasi dan komersialisasi yang hendak menelan kepublikan.
Tulisan ini telah dipubliksikan di KORAN SINDO, 6 Juni 2018.