Nurcholish Madjid (1939-2005) atau dipanggil akrab Cak Nur, tercatat salah satu deretan Guru Bangsa yang pernah ada di Indonesia. Cak Nur adalah seorang pemikir Islam di Indonesia, cendekiawan Muslim Indonesia dan budayawan yang tidak pernah bosan mencurahkan pemikiran untuk mencari solusi atas permasalahanan yang dihadapi oleh umat dan bangsa di Indonesia.
Cak Nur juga tercatat sebagai salah satu tokoh pembaruan pemikiran Islam di Indonesia, seperti K.H. Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur. Semasa bermahasiswa, Cak Nur aktif di organisasi mahasiswa yang paling tua saat ini di Indonesia, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) berdiri sejak 1947 dan menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar HMI (PB HMI) selama dua periode (1966-1969 dan 1969-1971). Cak Nur pernah menjadi Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara, serta pernah menjadi Asisten Sekretaris Jenderal International Islamic Federation of Students Organizations (IIFSO).
Dalam mencurahkan pemikiran-pemikirannya, selain lewat ceramah didepan publik, Cak Nur banyak menulis buku, artikel diberbagai media massa. Salah satu pengakuan atas peranannya dalam kancah pemikiran keislaman di Indonesia tampak pada kenyataan dijadikannya pemikiran-pemikiran Cak Nur sebagai bahan beberapa disertasi doktoral, dan juga karya-karyanya dijadikan rujukan pembahasan atas suatu masalah yang berhubungan.
Sebagaimana yang diceritakan oleh Dawam Rahadjo dan Anies Baswedan dalam kata pengantar bukunya Cak Nur yang berjudul “Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan” terbitan Mizan, bahwa beliau (Cak Nur) menjadi tokoh yang banyak mengundang kontroversial (pro-kontra) karena mengutarakan gagasan-gagasan dan ide-ide pemikirannya mengenai pembaruan Islam di Indonesia, serta terminologi yang sering Cak Nur gunakan. Gagasan atau ide-ide pembaruan pemikiran Islam di Indonesia, sebagaimana yang dikatakan oleh Anies Baswedan, bermula dari kegigihan Cak Nur dalam menanggapi berbagai macam tantangan umat Islam dan bangsa dalam memasuki dunia modern pada awal 1970-an. Usaha pertamanya yaitu tewat tulisann yang berjudul “Modernisasi Ialah Rasionalisasi, Bukan Westernisasi” ditulis tahun 1968. (Nurcholish Madjid, 2008: xv-xlvi).
Lebih lanjut Anies mengatakan, sebagai seorang Muslim yang tinggal di Indonesia, Cak Nur sangat prihatin melihat kondisi umat Islam yang tampak “gagap” dalam menyikapi modernisasi yang muncul dari Barat. Cak Nur menyatakan bahwa modernisasi, walaupun datangnya dari Barat, tidak perlu ditolak karena tidak bertentangan dengan Islam. Menurutnya, proses modernisasi merupukan konsekuensi logis dari paham tauhid yang dijarkan Islam. Pada keadaan ini, Cak Nur mencoba meletakkan konteks tauhid dalam membangun wawasan kemodernan.
Penekanan tegas perlunya pembaruan pemikiran Islam di Indonesia, kembali ia utarakan pada 3 Januari 1970, lewat persentasi makalahnya yang berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integritas Umat” di acara diskusi yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Pemuda Islam (GPI), Pelajar Islam Indonesia (PII), dan Persatuan Sarjana Muslim Indonesia (Persami). Isi makalah itu pun tidak dapat membendung kontroversi terkait istilah-istilah yang Cak Nur gunakan, seperti “Sekularisasi” dan “Sekularisme”.
Cak Nur dengan gigih menyuarakan pluralisme selain ide-ide pembaruan pemikiran Islam yang lainnya. Pemikirannya yang mendorong konsep pluralisme dan keterbukaan mengenai ajaran Islam di Indonesia juga menjadi salah satu yang bersifat kontroversial. Tidak sedikit kalangan yang gagal memahami konsep pluralismenya yang menyesuaikan golongan yang mejemuk di Indonesia.
Nah, seperti apakah konsep pluralisme dalam pandangan Cak Nur, sehingga umat Islam sebagai umat terbanyak di Indonesia perlu untuk menegakkannya? Mengapa pluralisme menjadi suatu keharusan bagi Cak Nur?
Keharusan Pluralisme di Indonesia
Tidak dapat kita pungkiri bahwa kemajemukan atau pluralitas umat manusia adalah kenyetaan yang telah menjadi kehendak Tuhan. Dalam Kitab Suci yang dirujukan oleh Cak Nur, Quran Surah Al-Hujurat ayat 13, menyebutkan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai. Maka, kata Cak Nur, pluralitas itu meningkat menjadi pluralisme, yaitu suatu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu. (Nurcholish Madjid, 1992: lxviii).
Lebih lanjut Cak Nur kembali merujuk pada Al-Quran Surah 30 ayat 22 yang menyebutkan bahwa perbedaan antara manusia dalam bahasa dan warna kulit harus diterima sebagai kenyataan yang positif, yang merupakan salah satu kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Cak Nur juga mengutip Quran Surah 5 ayat 48 yang menyebutkan tentang kemajemukan dalam pandangan dan cara hidup antara manusia yang tidak perlu digusarkan, dan hendaknya dijadikan sebagai unsur dalam berlomba-lomba menuju berbagai kebaikan.
Melihat pada kemajemukan manusia di Indonesia, Cak Nur menjadikan perkataan Tuhan yang ada dalam Kitab Suci menjadi landasan bahwa pluralisme menjadi suatu keharusan. Cak Nur menegaskan bahwa pluralisme adalah Hukum Tuhan (Sunnatullah). Karena Sunnatullah tersebut, ditambah dengan berbagai faktor pembatas yang tidak mungkin dihilangkan tentang Indonesia sebagai negeri kepulauan terbesar di muka bumi, maka segi keberagaman sosial-budaya lebih akan tetap menonjol dan amat penting untuk diperhitungkan.
Jika diperhatikan bagaiamana kemajemukan di Indonesia ini, maka akan kita dapatkan bahwa di Indonesia ini terlihat ada Bahasa Daerah yang berjumlah kurang lebih 700 bahasa, ada kurang lebih 300 suku, ada banyak agama atau aliran kepercayaan (Islam, Nasrani, Hindu, Buddha, Konfusianisme dan lainnya), warna kulit yang berbeda dan kurang lebih ada 17.000 pulau.
Hal demikian pertama-tama kita harus mencoba berbuat secara realistis dalam kerangka yang menjadi kemestian tuntutannya. Yaitu bahwa kondisi sosial-budaya dengan kemajemukan tersebut memerlukan adanya sebuah titik temu dari semua kelompok. Maka dari itu, Cak Nur menekankan supaya mencari dan menemukan titik kesamaan atau titik bertemu yang bertujuan untuk kerukunan berbangsa dan bernegara.
Titik untuk bertemu itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam bahasa Cak Nur, pangkal tolak ajaran kesamaan (kalimah sawa). Dan di Indonesia, dukungan optimisme seluruh bangsa telah sepakat untuk bersatu dalam titik pertemuan yang lebih besar, nilai-nilai dasar yang kita sebut Pancasila.
Pancasila, sebagaimana kata Cak Nur, merupakan pendukung besar pluralisme di Indonesia, karena dari semula Pancasila mencerminkan tekad untuk bertemu dalam titik kesamaan antara berbagai golongan di Indonesia. Sehingga Cak Nur pun sampai pada kesimpulan bahwa Pluralisme sesungguhnya adalah sebuah Aturan Tuhan (Sunnatullah) yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari. Dan Islam adalah agama yang Kitab Suci-nya dengan tegas mengakui hak agama-agama lain, kecuali agama paganisme atau unsur syirik, untuk hidup dan menjalankan ajaran masing-masing dengan penuh kesungguhan.
Penutup
Di bulan atau di hari memperingati wafatnya Cak Nur sebagai Guru Bangsa, Cendikiawan Muslim Indonesia, Pembaru Pemikiran Islam di Indonesia, Budayawan, dan Tokoh Pluralisme Indonesia yang ke-14, tepatnya pada 29 Agustus 2019, perlu apresiasi dalam bentuk pengiriman doa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai agama masing-masing.
Apresiasi selanjutnya adalah seperti pluralisme Cak Nur, dapat diterapkan di negara Indonesia yang majemuk dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara, demi terwujudnya kerukunan, nilai-nilai kemanusiaan, dan pastinya nilai-nilai keimanan.
Sebagai penutup, perlu kita tekankan bahwa pemikiran-pemikiran (selain pluralisme) Cak Nur dalam kondisi bangsa dan negara kita saat ini sangat relevan untuk dipraktikkan atau diterapkan dalam kehidupan sehari-hari tanpa menyampingkan nilai agama masing-masing dan Pancasila. Mudah-mudahan!!![]
Tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Analisa Medan, 22 Agustus 2019.