Setiap kali kita peringati Hari Proklamasi Kemerdekaan, hendaklah mengingat pesan Bung Karno, ”Bangsa yang tidak percaya pada kekuatan dirinya tak dapat berdiri sebagai bangsa merdeka.”
Untuk menentukan ke mana dan jalan mana yang harus kita tempuh, kita harus mengingat dari mana dan mengapa kita berangkat.
Dengan sedikit lebih cermat, bisa kita luruskan bahwa Indonesia sesungguhnya tak pernah dijajah. Yang dijajah itu kerajaan-kerajaan di kepulauan Nusantara, yang secara bertahap dan berbeda intensitas diintegrasikan ke dalam kesatuan pemerintahan kolonial (swasta, kemudian negara) Belanda—dengan sela singkat penjajahan bangsa-bangsa lainnya. Nama Indonesia sendiri, sebagai sebutan entitas politik pengganti Hindia Belanda, baru diperkenalkan pada awal abad ke-20.
Kaum inteligensia sadar politik dari anak-anak kepulauan memopulerkan istilah yang semula dipakai dalam studi etnologi dan antropologi itu sebagai ikhtiar menemukan kode persatuan dan kode pembebasan bagi kaum terjajah dari segala keberagaman asal-usul.
Jadi, secara ontologis, Indonesia bukanlah suatu deskripsi kenyataan, melainkan prospeksi kemauan; bukan titik kedatangan (pencapaian), melainkan titik keberangkatan (perjuangan). Dalam ungkapan Bung Hatta: ”Bagi kami, Indonesia menyatakan suatu tujuan politik karena dia melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan dan untuk mewujudkannya, tiap orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”
Tatkala biduk Negara Republik Indonesia mulai diberangkatkan 18 Agustus 1945, cita-cita Indonesia itu tertulis di alinea kedua Pembukaan Konstitusi Proklamasi: menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Dengan cara pandang seperti itu, kita bisa melihat kenyataan Indonesia hari ini secara lebih realistis. Tak perlu terlalu pesimistis dengan segala kelemahan dan kekurangan karena (ideal) keindonesiaan memang bukan suatu kenyataan (state of being), melainkan suatu proses menjadi (state of becoming).
Tak boleh juga menghadapinya dengan optimisme buta, seolah segalanya akan berjalan baik-baik saja di jalur yang benar, karena faktanya perkembangan bangsa ini dalam banyak hal tertinggal jauh dari negara-negara yang titik keberangkatan kemerdekaannya semasa.
Peringatan Proklamasi Kemerdekaan harus jadi momen refleksi dan evaluasi. Seberapa efektif kita transformasikan pernyataan kemerdekaan menjadi kenyataan dalam kehidupan. Seberapa jauh kita melangkah dalam perjuangan mewujudkan mimpi Indonesia.
Perjuangan kemerdekaan
Kemerdekaan macam apa yang kita perjuangkan? Isaiah Berlin merumuskan dua konsep kemerdekaan dan kebebasan: ”kebebasan negatif” (bebas dari berbagai bentuk ancaman dan penindasan), ”kebebasan positif” (bebas untuk mengembangkan diri dan kehidupan).
Pengalaman ketertindasan, diskriminasi, dan eksploitasi memang pantas diratapi, dilawan, diperingati. Namun, menurut dia, ”Manusia tidaklah hidup sekadar untuk memerangi keburukan. Mereka hidup dengan tujuan positif, untuk menghadirkan kebaikan.”
Perjuangan kemerdekaan tak hanya tertuju pada apa yang bisa dijebol dan dilawan, tetapi juga apa yang bisa dibangun dan ditawarkan. Proyek historisnya bukan hanya mempertahankan, melainkan juga memperbaiki keadaan negeri.
Setelah masa panjang keterpasungan kebebasan negatif karena bentrokan berbagai ideologi-kepartaian dan beroperasinya pemerintahan otoriter yang memakan jutaan korban, kelahiran Orde Reformasi membawa musim semi kebebasan negatif seiring pelucutan berbagai bentuk represi negara.
Meski demikian, ancaman baru muncul dari aktor-aktor bukan negara. Masyarakat sipil terbukti tak homogen, malahan jadi ajang pertarungan berbagai kelompok ideologis dan kepentingan yang berlawanan. Civil society tak melulu diperhadapkan dengan ”negara”, tetapi juga elemen ”fanatisisme” yang bersifat tak beradab (uncivilized).
Saat bangsa ini memiliki pekerjaan rumah untuk memperadabkan masyarakat sipil lewat pembudayaan nilai-nilai Pancasila, beban baru muncul dari kemerosotan nilai-nilai keadaban masyarakat politik, ditandai oleh kemerosotan etika politik dan rekrutmen politik yang mengabaikan prinsip meritokrasi.
Senyawa defisiensi etika dan meritokrasi itu bisa menimbulkan ancaman baru bagi kebebasan negatif dari tendensi revivalisme bentuk-bentuk represi negara untuk menutupi krisis legitimasi moral dan kapasitas negara.
Dalam perjuangan kebebasan positif, capaian terpenting untuk menjadi Indonesia adalah kemampuan kita menjalin persatuan nasional. Dengan segala kelemahan tata kelola negara, sungguh ajaib negara kepulauan terluas di dunia dengan penduduk yang begitu besar dan beragam ini bisa dengan cepat diintegrasikan dalam keindonesiaan, dengan tarikan separatisme sangat minimal.
Hard power birokrasi negara memang cukup berperan dalam merajut dan mengawal konektivitas antarsudut kepulauan melalui jaringan aparatur pertahanan-keamanan dan pelayanan publik. Pembangunan infrastruktur ”keras” juga meluaskan jaringan perhubungan transportasi dan telekomunikasi yang memudahkan proses komunikasi dan interaksi keindonesiaan.
Tak kalah penting, bahkan mungkin lebih signifikan, adalah peran soft power jaringan budaya. Dengan segala keragaman dan konfliknya, jaringan keagamaan lintas pulau membawa konsekuensi ikutan sebagai katalis bagi integrasi nasional secara vertikal dari segala keberagaman suku dan daerah secara sukarela. Bersamaan dengan itu, dunia pendidikan dan media juga berperan besar dalam mengajarkan dan memopulerkan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Faktor pelemah persatuan nasional bisa timbul dari ketertinggalan pembangunan infrastruktur ”lunak” (keadaban, pendidikan, pengetahuan, kesehatan) yang menghambat kemampuan warga negara melakukan tindakan bernilai atau meraih kondisi keadaan yang bernilai.
Kendala ini, jika bertaut dengan tendensi eksklusivitas dalam akses layanan pendidikan, kesehatan, pekerjaan, permodalan, dan privilese sosial, bisa menimbulkan kekecewaan yang bisa membawa arus balik tribalisme dengan gerak sentrifugal dari orbit persatuan.
Kendala lain timbul dari kelemahan tata kelola negara dalam mencari format otonomi daerah yang tepat dalam bingkai NKRI. Sejauh ini, desain otonomi masih menimbulkan patahan, baik dalam relasi antarkabupaten/kota di satu provinsi maupun antarprovinsi.
Daerahisme memang bisa memberi afirmasi bagi pemberdayaan putra daerah, tetapi bisa menghambat proses belajar sosial komunitas daerah. Kendala tour of duty ASN antardaerah bisa menghambat proses penyerbukan silang budaya dan alih pengetahuan lewat arus masuk ASN yang cakap dari sejumlah daerah.
Selain itu, tendensi politisasi birokrasi oleh kepala daerah tidak hanya menghambat meritokrasi, tapi juga menjadikan daerah sebagai zona konflik yang melemahkan nilai-nilai persatuan.
Tiga ranah pembangunan
Di luar isu persatuan, perjuangan kemerdekaan untuk menyatakan diri dalam kedaulatan, keadilan, dan kemakmuran masih jauh dari harapan. Pandemi Covid-19 membantu kita mengenali kekuatan dan kelemahan tata nilai (mental-kultural), tata kelola (institusional-politikal), dan tata sejahtera (material-teknologikal) sebagai penentu ketahanan dan kemajuan bangsa.
Karena virus merupakan manifestasi otentisitas alam yang tak bisa dikendalikan dengan sogokan dan pencitraan, apabila ada kerentanan pada ketiga ranah pembangunan tersebut, virus bisa menemukan celah masuk dan menyerang komunitas bangsa tanpa pandang bulu.
Pada ranah mental-kultural, sisi positif terpancar dari semangat gotong royong yang relatif masih bertahan di masyarakat. Charity Aid Foundation, World Giving Index 2021, kembali menobatkan Indonesia sebagai negara yang paling dermawan di dunia. Sisi negatif dekadensi etis dunia politik termanifestasi dalam polarisasi politik bentukan elite yang terus berkobar di tengah wabah, serta tindak-tanduk elite yang kurang terpuji dan kurang punya empati pada suasana kebatinan rakyat yang sedang dirundung malang.
Karena pembangunan nilai-karakter kewargaan ini perlu upaya berkelanjutan sejak masa formatif dan dibudayakan lewat laku hidup sehari-hari, maka agen yang lebih berkompeten untuk merawatnya adalah komunitas. Salah satu yang begitu kuat pengaruhnya dalam pembudayaan nilai adalah komunitas agama.
Signifikansi agama tak terbatas pada fungsi sosialnya sebagai semen perekat integrasi sosial yang bisa menyatukan keberagaman dalam suatu komunitas moral, tetapi juga fungsi psikologisnya sebagai pengungkit etos kejiwaan dan motivasi yang kuat.
Dalam cita negara Pancasila, jalan menuju civic nationalism tak ditempuh melalui penyingkiran agama dari ruang publik, tetapi dengan pengadaban komunitas keagamaan untuk bisa memasuki komunitas kewargaan secara damai dan toleran.
Agama dimuliakan peran publiknya tidak dalam bentuk formalisasi agama dalam negara, tetapi sebagai perawat nilai keadaban di masyarakat, dalam kerangka penguatan moral publik (civil religion). Agama tak perlu meninggalkan aspek ritual dan doktrinalnya. Tekanan diberikan pada penguatan etos dan etis (akhlak).
Agen penting lain adalah komunitas sekolah. Emile Durkheim memandang institusi sekolah (terutama sekolah publik) semacam ”rumah ibadah” bagi penanaman nilai dan doktrin civil religion. Misi sekolah tidak hanya mengajarkan iptek, tetapi juga jadi wahana pembentukan warga negara yang baik.
Saat disrupsi teknologi jadi normalitas, segala sesuatu yang tak bisa didigitalisasi justru kian penting. Pendidikan harus memberi perhatian lebih pada sesuatu di luar jangkauan mesin, seperti etika, intuisi, emosi, dan imajinasi.
Pendidikan harus memberikan kapabilitas agar manusia bisa melampaui jangkauan teknologi dan data, dengan memberikan wawasan kemanusiaan dan kebijaksanaan. Dengan teknologi, peserta didik harus bisa menemukan ”rumah” (home), bukan menjerumuskannya ke ”pengasingan” (exile). Untuk itu, perlu ditumbuhkan rasa cinta negeri dengan kesadaran bahwa gerak kemajuan harus berangkat dari penghargaan atas apa yang kita punya (cerlang budaya, sejarah, tradisi, institusi, potensi).
Saat yang sama, mental kosmopolitan dikembangkan dengan kesadaran bahwa gerak kemajuan perlu keterbukaan terhadap unsur-unsur baik dari luar.
Dalam tata kelola kelembagaan politik, pandemi mengungkap berbagai retakan dan ketidakefektifan di sistem pemerintahan kita. Perselisihan mengemuka dalam relasi antartingkat pemerintahan serta praktik tata kelola yang bersifat sporadis tanpa mekanisme sistemik.
Perubahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi tak membuat postur dan cakupan negara kian ramping, malahan kian gemuk. Di masa Orde Baru, besarnya postur dan cakupan negara relatif bisa diimbangi oleh kapasitas negara untuk melaksanakan pemerintahan secara efektif. Di masa Orde Reformasi, hal itu diperumit oleh banyaknya veto players dan ”penunggang gelap” yang menghambat efektivitas pemerintahan.
Pergeseran dari negara otoriter-sentralistis ke negara demokrasi-desentralistis dengan euforia kebebasan individu yang dihadirkan Orde Reformasi juga tak disertai pemenuhan prasyarat fundamental yang ditekankan para pemikir liberalisme klasik, yakni rule of law, meritokrasi, dan akuntabilitas. Yang terjadi di sini, rule of law ditepikan rule by law; meritokrasi ditepikan mediokrasi; akuntabilitas ditepikan pelemahan institusi pemberantasan korupsi.
Tak ada sistem politik sempurna. Dua patokan perlu diperhatikan untuk tata kelola yang baik. Pertama, gerak progres itu perlu dukungan stabilitas, maka jangan merobohkan semua tiang tradisi. Edmund Burke mengecam Revolusi Perancis yang memenggal habis warisan masa lalu kendati ada unsur-unsur baik yang patut dipertahankan. Dalam kaitan ini, tradisi fundamental, seperti eksistensi lembaga MPR sebagai rumah permusyawaratan berbagai unsur kekuatan rakyat, seyogianya dipertahankan.
Kedua, gerak progres juga perlu usaha penyesuaian secara terus-menerus seiring perkembangan zaman. Seperti diingatkan John Micklethwait dan Adrian Wooldrige, negara-negara sejagat kini berada di tengah pacuan untuk mereinvensi (tata kelola) negara dalam rangka merespons perkembangan globalisasi, disrupsi teknologi, dan persaingan global. Tata kelola negara yang baik harus bisa memberi keseimbangan antara peran negara, pasar, komunitas.
Dalam tata sejahtera, pandemi mengungkap kelemahan negara kita dalam dua hal. Pertama, kesenjangan yang makin lebar karena pengabaian prinsip keadilan dalam distribusi harta, kesempatan, dan privilese sosial. Padahal, seperti diingatkan Richard Wilkinson dan Kate Picket, ketidakadilan dan kesenjangan lebar bukan hanya buruk bagi yang miskin, melainkan juga berbahaya bagi yang kaya karena bisa memicu polarisasi sosial, kecemburuan, dan prasangka, memudarkan rasa saling percaya. Ujungnya, bisa merembet ke peluluhan capaian pembangunan.
Kedua, Indonesia dengan potensi sumber daya alam (SDA) berlimpah justru tak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya secara berdaulat. Ketergantungan pada impor harus diakhiri karena membuat kita kehilangan wahana peningkatan kapabilitas belajar untuk mengolah dan mengembangkan nilai tambah SDA. Kita harus mengembangkan kemandirian dengan jiwa merdeka.
Harus dipastikan yang berkembang di negeri ini bukan sekadar pembangunan di Indonesia, melainkan juga pembangunan Indonesia. Alangkah malangnya apabila dalam kisah bangsa sendiri, justru bangsa lain yang menjadi aktor utamanya. Setiap kali kita peringati Hari Proklamasi Kemerdekaan, hendaklah mengingat pesan Bung Karno, ”Bangsa yang tidak percaya pada kekuatan dirinya tak dapat berdiri sebagai bangsa merdeka.”
*) Tulisan ini telah dimuat di harian Kompas 19 Agustus 2021.