Meskipun meletakkan Teori Keadilan Rawls sebagai suatu pusat kajian, sebagaimana seharusnya, Sunaryo menggunakan lensa kritis untuk menimbangnya bersama diskursus keadilan yang disumbangkan oleh para filsuf kontemporer.
Selain mengundang klaim ideologis, keadilan juga menjadi suatu subyek penting dalam filsafat politik sejak masa Yunani Kuno hingga kini. Penerbitan buku Perihal Keadilan karya Sunaryo memahamkan kita tentang keluasan perspektif keadilan. Dibutuhkan suatu tata kelola untuk memajukan keadilan, tetapi juga perlu pertimbangan bagi tindakan berikut implikasinya untuk mengurangi ketidakadilan.
Teori keadilan
”Keadilan merupakan kebajikan utama bagi lembaga-lembaga sosial, sebagaimana kebenaran bagi sistem-sistem pemikiran.” Sulit untuk tidak setuju dengan pandangan John Rawls yang dipatrikannya dalam A Theory of Justice, suatu karya yang memengaruhi pergulatan filsafat politik sejak pertama kali ia diterbitkan pada 1971. Namun, apa yang mungkin untuk dilakukan demi mewujudkannya?
Dengan pertanyaan terakhir, diskusi filsafat politik berkutat bukan semata pada konsepsi tentang apa itu ’yang adil’, melainkan lebih jauh memikirkan prosedur tertentu bagi suatu tata kelola masyarakat yang stabil sekaligus sensitif terhadap ketidakadilan. Problem ini menjadi tidak mudah karena suatu masyarakat politik berhadapan dengan keberagaman kepentingan dan pandangan.
Pencapaian konsensus dalam suatu masyarakat majemuk itu jauh lebih mudah seandainya warga dapat, terutama saat pengambilan putusan, melepaskan acuan-acuan primordial mereka. Namun, memisahkan orang dari cangkang identitas mereka itu bukan saja merupakan suatu ketidakadilan, ia bahkan adalah suatu kemustahilan. Lantas, bagaimana para filsuf keluar dari jebakan semacam itu?
Buku Perihal Keadilan karya Sunaryo menjelajahi secara panoramikal diskursus keadilan di antara para filsuf terkemuka. Jalur awal dibuka dengan cara menelusuri rumusan keadilan dalam kronik filsafat klasik, yang juga menjadi rujukan para filsuf kontemporer. Berikutnya, tinjauan lebih banyak terpusat pada Teori Keadilan Rawls dan dialog kritis lebih kini yang berutang pada teoretisasi Rawls.
Dibangun dalam kerangka kontraktarian, yang fondasinya lebih dulu dibentuk oleh, antara lain, John Locke, JJ Rousseau, dan Immanuel Kant, Teori Keadilan Rawls adalah suatu pukulan terhadap gagasan utilitarianisme. Rawls meyakini bahwa keadilan itu tidak mungkin dikesampingkan, termasuk atas nama kesejahteraan bagi jumlah lebih banyak. Rawls mengajukan keadilan sebagai kesetimbangan (hlm 57).
Unggul dalam mengutamakan kebebasan serta sensitif terhadap ketimpangan, Teori Keadilan Rawls bukan tanpa celah. Sunaryo menghabiskan tiga bab untuk berayun dari Rawls kemudian berkutat dengan gagasan-gagasan alternatif tentang keadilan, mulai dari Amartya Sen hingga Chantal Mouffe. Tinjauan ini diakhirinya dengan suatu evaluasi kritis tentang bagaimana merealisasikan keadilan (hlm 179).
Kritik Sen, misalnya, relevan untuk ditimbang (hlm 115). Lewat The Idea of Justice, Sen menunjukkan kelemahan pendekatan institusionalisme transendental Rawls yang berkonsentrasi pada perwujudan keadilan paripurna. Sementara, selain institusi, kehidupan riil ditentukan pula oleh tindakan aktual orang berikut interaksi sosial mereka dalam masyarakat untuk dapat mengurangi ketidakadilan.
Tantangan ketidakadilan
Selama masa pendemi Covid-19 kita mendapati berbagai ketimpangan, yang mengekspresikan bentuk-bentuk ketidakadilan. Sebagai suatu problem konkret, ketidakadilan membutuhkan penawar pada tataran prosedural; tetapi, formulasi tuntutan keadilan memerlukan jawaban lanjutan dengan bersandar pada perspektif lebih luas tentang realisasi sosial untuk mengurangi kesenjangan.
Pada situasi tersebut, penerbitan buku Perihal Keadilan menemukan sedikitnya tiga alasan penting. Pertama, ia memperkaya kajian tentang keadilan yang tergolong miskin dalam kepustakaan nasional. Kedua, ia dapat menjadi acuan untuk melihat konteks keadilan terkait problem riil yang kita hadapi. Ketiga, ia memberi perspektif teoretik bagi upaya stabilisasi masyarakat bebas sekaligus majemuk.
Meskipun meletakkan Teori Keadilan Rawls sebagai suatu pusat kajian, sebagaimana seharusnya, Sunaryo menggunakan lensa kritis untuk menimbangnya bersama diskursus keadilan yang disumbangkan oleh para filsuf kontemporer. Pendekatan ini, betapa pun mungkin tidak semua orang bersepaham dengan hasilnya, berhasil menyodorkan tinjauan multi-perspektif tentang keadilan.
Buku ini, kendati demikian, dapat memberikan sumbangan lebih banyak seandainya memberi ruang lebih besar bagi tinjauan terhadap gagasan para pemikir, seperti Robert Nozick, Juergen Habermas, dan Michael Sandel. Bukan sekadar memberi tantangan langsung terhadap Teori Keadilan Rawls, bersama para kritikus lain ketiganya memperkaya perspektif keadilan dalam filsafat politik selama peralihan abad terakhir.
Gagasan mereka disinggung pada beberapa bagian, terutama untuk membantu mengevaluasi Teori Keadilan. Namun, penelusuran gagasan mereka tidak seekstensif yang Sunaryo lakukan terhadap gagasan keadilan Sen atau bahkan Dostert. Bukan tidak mungkin pendekatan komparatif Sen berbunyi lebih nyaring manakala gagasan berlainan tentang keadilan tersebut dipertarungkan.
Lebih lanjut, Sunaryo menghunjamkan tinjauan keadilan ini dalam konteks lebih riil untuk melihat Indonesia (hlm 200). Selain mengapresiasi kesepahaman para pelopor dalam menyusun prinsip-prinsip dasar negara Indonesia, yang antara lain menjamin kebebasan dan kesetaraan, Sunaryo juga melihat tantangan ketidakadilan yang membutuhkan perhatian negara maupun pelaku-pelaku non-negara.
Terakhir, seperti disampaikan Magnis-Suseno dalam pengantarnya, keadilan itu dikontestasikan dalam kajian-kajian teori serta menjadi rebutan klaim politik dan ideologi. Faktanya, dengan semakin tajamnya ketimpangan di Indonesia, pemahaman lebih baik tentang ide keadilan dapat membantu secara praktis untuk terbebas dari klaim serupa dan merancang jalan mengurangi ketidakadilan.
*) Resensi ini telah dimuat di laman Kompas.id pada 2 September 2021.