Pergantian tahun hanyalah pergeseran bilangan yang tak serta-merta membawa substansi baru. Meski begitu, pergantian tahun bisa menjadi momen ritus transisional untuk menandai perpisahan dari dunia lama sekaligus penasbihan memasuki dunia baru, dengan tekad mengeluarkan yang buruk ke masa lalu, memasukan yang baik ke masa depan.
Ruang transisional memberi jeda untuk refleksi diri: dari mana kita bermula, di mana kita sekarang, dan hendak ke mana kita menuju. Melalui proses reflektif, kita bisa mengingat ulang dasar kelahiran, fitrah perjuangan, dan visi pengharapan bangsa ini sehingga kedatangan tahun baru bisa menjadi ajang kelahiran ulang semua orang dengan jiwa baru.
Saat menyongsong tahun baru, di tengah bumi yang masih berkabut pandemi, kekuatan reflektif bangsa ini juga bisa menjadi bintang penuntun di tengah kegelapan. Sejarah kemanusiaan dan bangsa ini memberi pelajaran berharga bahwa krisis dan katastrofi itu berwajah ganda. Di balik kegelapan dan penderitaan, krisis juga bisa menunjukkan cahaya, kesejatian dan kekuatan manusia.
Kelahiran bangsa Indonesia sendiri merupakan produk ikutan dari krisis dan pandemi. Berakhirnya Perang Dunia I, suasana kehidupan di Tanah Air ditandai oleh memburuknya kehidupan perekonomian akibat disrupsi perang, krisis industrial dan gagal panen, bersamaan dengan cengkeraman pandemi influenza (flu spanyol), yang mulai merebak sekitar akhir Perang Dunia I (1918) hingga awal 1920-an, yang memakan korban kematian hingga 4,6 juta jiwa.
Suasana katastrofik tersebut membangkitkan semangat perjuangan emansipasi di kalangan kaum terpelajar Bumi Putera, baik yang mengenyam pendidikan di Tanah Air maupun di luar negeri. Meningkatnya kesadaran politik emansipatif kaum terpelajar itu dilihat pemerintahan kolonial Belanda sebagai penambah beban kesulitan ekonomi, yang harus ditumpas dengan rezim keamanan yang lebih represif.
Aksi-reaksi dari dinamika itulah yang memperkuat solidaritas kaum terjajah yang membangkitkan semangat persatuan kebangsaan dengan Sumpah Pemuda sebagai monumennya, yang pada gilirannya membuka jalan bagi kemerdekaan Indonesia.
Untuk bisa maju ke depan, kita harus bisa menangkap ‘api’ masa lalu. Dalam menyikapi yang lama dan yang baru, ada dua jenis kebebalan yang harus dihindari. Seseorang berkata, “Ini tua, oleh karena itu bagus.” Yang lain menukas, “Ini muda, oleh karena itu lebih baik.” Padahal, esensinya bukanlah yang tua atau yang muda, melainkan kebaikan apa yang didapat dari yang lama dan yang baru. Dalam mengarungi masa depan, sikap terbaik ialah ‘mempertahankan warisan masa lalu yang baik, seraya mengambil hal-hal baru yang lebih baik’.
Krisis kebangsaan kerap berulang karena kita bergerak ke depan melalui trayek yang keliru: mempertahankan yang buruk, membuang yang baik. Tradisi korupsi, keserakahan, dan pembenturan sosial lebih giat dipertahankan, tetapi tradisi pemerintahan baik, keadilan dan keharmonisan, lebih malas dikembangkan. Luput dari keinsyafan, bahwa nilai kehidupan tidaklah ditentukan oleh tahun-tahun dalam kehidupan kita, melainkan oleh kehidupan kita dalam tahun-tahun itu. Bukan berapa lama kita berkuasa, melainkan nilai apa yang kita berikan selama berkuasa.
Pangkal keburukan kekuasaan bermula ketika orang lebih terobsesi ‘cinta kekuasaan’ (the love of power) ketimbang ‘kekuasaan untuk mencintai’ (the power to love). Dalam krisis yang membutuhkan kekuasaan yang lebih bertanggung jawab pada kebaikan hidup bersama, elite politik justru lebih mencintai kekuasaan yang melayani kepentingan diri dan golongannya sendiri. Demi kekuasaan yang melayani diri sendiri itu, mereka tak segan menjerumuskan rakyat ke dalam kobaran api permusuhan antaridentitas yang membakar rumah kebangsaan menjadi puing-puing kesumat.
Oleh karena itu, pada momen kelahiran kembali semua orang di tahun baru nanti, yang perlu kita hidupkan ialah kekayaan jiwa: kekuatan mencintai. Bahwa hidup itu pendek, sedang kehidupan itu panjang. Maka janganlah demi penghidupan, elite negeri tega mengorbankan kehidupan.
Bung Hatta mengingatkan, “Indonesia luas tanahnya, besar daerahnya, dan tersebar letaknya. Pemerintahan negara semacam itu hanya dapat diselenggarakan mereka yang mempunyai tanggung jawab yang sebesar-besarnya dan mempunyai pandangan amat luas. Rasa tanggung jawab itu akan hidup dalam dada jika kita sanggup hidup dengan memikirkan lebih dahulu kepentingan masyarakat, keselamatan nusa, dan kehormatan bangsa.”
Saat memasuki tahun baru, seribu masalah menghadang kita, namun kekuatan cinta akan membuat yang sempit menjadi lebar, yang pengecut menjadi pemberani, yang miskin menjadi kaya, yang kaya menjadi pemurah. Kekuatan cinta memancarkan ketulusan berbakti meski tanpa jaminan popularitas dan imbalan kedudukan.
Akhirnya, dengan kekuatan cinta, kita songsong masa depan dengan optimisme realistis. Tak perlu terlalu kecewa dengan segala kegagalan. Memang mengecewakan, plan A yang telah dirancang matang di awal tahun tahun silam tak berjalan sesuai harapan karena disrupsi pandemi. Meski begitu, bukankah masih terbentang skenario alternatif, sepanjang sisa huruf alfabet dari B hingga Z. Seorang optimistis akan terjaga hingga tengah malam untuk menyaksikan tahun baru datang; sementara seorang pesimistis terjaga hanya untuk mengiringi tahun lama pergi.
Tak perlu terlalu sedih dengan kehilangan. Pada dahan yang patah akan tumbuh tunas baru. Seperti kata TS Eliot, “Kata-kata tahun lalu milik bahasa tahun lalu, sedang kata-kata tahun depan menunggu suara yang lain dan mengakhiri sesuatu itu juga berarti menadai suatu permulaan.”
*) Tulisan ini telah dimuat di harian Media Indonesia 31 Desember 2021.