Pelantikan para komisioner baru Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) pada Selasa (12/4), patut dilanjutkan dengan langkah perbaikan tata kelola pemilu. Selain peningkatan kinerja lembaga, termasuk dengan menghapus noktah pemilu, penciptaan norma-norma yang menjaga asas luber dan jurdil akan mendorong pemilu berkontribusi pada penguatan demokrasi.
Awal reformasi elektoral
Peningkatan kualitas tata kelola pemilu merupakan tugas berkelanjutan para penyelenggara pemilu. Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu lebih khusus menegaskan KPU menjalankan tugasnya secara berkesinambungan. Artinya, pergantian kepemimpinan KPU tidak memutus rangkaian pelaksanaan tugas kelembagaan mereka.
Keberlanjutan tersebut menjamin bukan semata pemilu diselenggarakan secara periodik setiap lima tahun sekali, melainkan juga menjaga secara simultan perbaikan proses dan hasil pemilu. Hanya dengan begitu, administrasi kepemiluan tidak diletakkan secara terpisah dari persoalan kualitas demokrasi yang diharapkan terkonsolidasi setelah penyelenggaraan lima pemilu terakhir.
Patut menjadi sorotan bahwa terdapat relasi antara semakin rumit dan mahal pemilu jika dibandingkan dengan semakin rentan demokrasi Indonesia. Menyimak bertahannya korupsi politik dan polarisasi sosial, misalnya, kita paham bahwa selain isu efisiensi administrasi, pemilu kita mengidap masalah lebih kompleks. Suatu reformasi elektoral kiranya menjadi langkah lanjut penyembuhan yang dibutuhkan.
Saya membayangkan bahwa reformasi elektoral akan merupakan suatu jalan panjang perbaikan berbagai aspek dalam pemilu yang berkontribusi pembangunan demokrasi. Langkah awal reformasi tersebut dapat dimulai dari perbaikan tata kelola pemilu. Selain turut menentukan legitimasi pemilu, aspek manajerial itu juga memengaruhi dampak yang dihasilkan pilihan politik warga.
Pertama, mari bicara tentang independensi penyelenggara. Pemihakan penyelenggara terhadap peserta pemilu merupakan isu etis yang selalu mengemuka. Suap terhadap anggota KPU Wahyu Setiawan pada 2020 semestinya menjadi kasus terakhir ketidaknetralan penyelenggara. Penguatan pengawasan internal dan eksternal menjadi penting untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Kedua, pemutakhiran dan perlindungan data pemilih. Isu itu selalu kontekstual pada setiap pemilu yang menunjukkan bahwa KPU terdahulu gagal menjamin pemenuhan hak pilih dan kepastian keamanan data warga. Bagian dari terjaganya akuntabilitas, KPU tidak boleh lagi menoleransi kecerobohan dan buruknya koordinasi yang merugikan pemilih dan menurunkan legitimasi pemilu.
Ketiga, kerumitan prosedur. Pemilu nasional dikenal sebagai salah satu yang paling kompleks. Buruknya pemahaman prosedur dan mekanisme telah berdampak batalnya kepesertaan, banyaknya suara tidak sah, bahkan kelelahan akut petugas. Problem keserentakan, skala luas wilayah, maupun jumlah peserta dan pemilih perlu diatasi KPU lewat penyederhanaan prosedur dan tahapan.
Keempat, pembelian suara. Bagian dari penyakit yang selalu berulang setiap pemilu, pembelian suara semakin massif di tengah buruknya pengaderan partai dan komunikasi politik. Tidak boleh lagi abai, Bawaslu perlu mengoptimalkan kerja sama dengan penegak hukum dan institusi lain terkait. Tanpa keseriusan itu, muruah kelembagaan akan terjerembap bersama digadaikannya nasib pemilu.
Koordinasi, bukan kompetisi
Empat masalah pokok di atas serupa noktah yang terus menggelayuti penyelenggaraan pemilu. Terlepas upaya delegitimasi yang dilakukan kelompok politik tertentu pada dua pemilu terakhir, perbaikan tata kelola pemilu merupakan tugas kelembagaan yang tidak mungkin dilakukan sepihak. Kerja sama lembaga-lembaga penyelenggara pemilu menjadi tuntutan mutlak agar progres berjalan.
Pada periode-periode terdahulu, cukup sering kita menyaksikan perbedaan pandangan antara KPU, Bawaslu, dan DKPP yang mengarah rivalitas terbuka di antara ketiga lembaga. Kontroversi seputar pelanggaran etik seorang anggota KPU pasca-Pemilu 2019, misalnya, mengarah ketidakpercayaan silang di antara ketiga lembaga yang potensial menurunkan kepercayaan publik kepada mereka.
Demi menghindari kontroversi, dibutuhkan bukan saja aturan jelas yang tidak menimbulkan multitafsir, melainkan juga kehendak baik setiap lembaga. Arah yang perlu dituju ialah kolaborasi penyelenggara demi mewujudkan pemilu yang adil, berintegritas, dan menyumbang penguatan demokrasi, bukan mengedepankan kepentingan partikular sebagian lembaga penyelenggara pemilu.
Hal itu pertama-tama, mengandaikan kapabilitas dan integritas prima setiap lembaga, sebelum kemudian bergerak pada tataran kerja sama dan kooordinasi antarlembaga. Selain berperan bagi penguatan setiap lembaga, langkah itu akan melindungi secara integratif kemandirian seluruh penyelenggara pemilu berhadapan dengan kepentingan sepihak politik.
Menghadapi tantangan lebih kompleks Pemilu 2024, para penyelenggara pemilu tidak bisa menjalankan business as usual. Potensi beban kerja lebih besar bersumber dari segi keserentakan ataupun irisan tahapan antara pemilu dan pilkada serentak 2024. Kebutuhan peningkatan kualitas pemilu juga muncul bersama kepentingan efisiensi dan penyederhanaan prosedur setiap tahapan.
Terakhir, di tengah belum mapannya sistem pemilu, para penyelenggara pemilu dapat menyumbang upaya reformasi elektoral lewat penciptaan norma-norma yang menjaga asas luber dan jurdil. Dengan begitu, pemilu tidak hanya akan menghasilkan pemimpin dengan legitimasi kukuh, tetapi juga menjadi bagian mekanisme pemeliharaan nilai demokrasi sebagai ‘the only game in town’.
*) Tulisan ini telah dipublikasikan di harian Media Indonesia 14 April 2022.