Saudaraku, di era medsos, di mana algoritma menjadi ukuran keterpandangan seseorang, praktik-praktik skandal-sensasional asal terkenal bisa mendapat insentif—banyak pengikut (followers). Sementara praktik-praktik keteladanan terpuji yang bergerak dalam sunyi sepi perhatian, dengan sedikit pengikut.
Seolah memenuhi bayangan Jalaluddin Rumi, “Benih tumbuh dengan tanpa suara. Dahan jatuh dengan gemuruh. Destruksi itu penuh keriuhan, sedang kreasi itu penuh kesunyian.”
Tugas kewarasan, jika kita menghendaki tumbuhnya keteladanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita harus memberi insentif bagi praktik-praktik terpuji dan orang-orang berprestasi dengan mengarusutamakan kisah-kisah kepahlawanan dan keteladanan mereka di ruang publik.