Saudaraku, masih adakah simpul perekat yang mempertautkan bayangan keindonesiaan hari ini?
Suatu bangsa, menurut Ben Anderson, adalah suatu ”komunitas politik terbayangkan”. Setiap bayangan selalu punya ufuk horizon, berupa batas imajiner yang memisahkan ”kekitaan” dan ”ke-liyan-an” (otherness).
Dalam pergerakan kemerdekaan, tapal batas kekitaan itu diperluas horizonnya dengan mempertautkan berbagai keliyanan dalam fantasi keindonesiaan.
Dalam perkembangan terkini, tapal batas kekitaan itu terus menciut, dipecah belah berbagai fantasi keliyanan.
Persekolahan berlomba memecah kekitaan atas dasar perbedaan identitas dan status sosial. Sekolah publik yang mestinya jadi kuali pelebur ragam identitas justru jadi pengukuh perbedaan sosial saat diskriminasi dan favoritisme daya beli mewabah.
Politik yang mestinya jadi katalis bagi integrasi sosial, dengan mentransendensikan warga dari irasionalitas komunalisme ke rasionalitas publik, malah jadi sumber disintegrasi dan irasionalitas. Jumlah partai terus bertambah, merobek bayangan kekitaan oleh konflik kepentingan pragmatis-oligarkis.
Otonomi daerah tanpa fantasi persatuan memenggal integrasi teritorial, bahkan mengapling lautan menurut batas otoritas kabupaten; juga menggoyahkan integrasi sosial-nasional. Pilkada langsung, tanpa menimbang karakter dan kapasitas lokal, menguatkan kembali tribalisme yang meretakkan kekitaan.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan kian tertekan oleh kedangkalan pemujaan terhadap hal-hal berbau asing. Ruang publik dan perumahan dikepung logo dan sebutan asing, yang kerap digunakan semena-mena, yang menggoyahkan kapasitas bahasa sebagai penanda bangsa.
Pelipatgandaan dan komersialisasi media memicu fragmentasi publik. Dalam menjamurnya outlet media dan medsos, pemirsa dipotong dan diiris ke dalam segmen spesifik, yang membatasi terpaannya pada isu dan informasi bersama.
Suatu homogenitas ruang publik kecil muncul berdampingan—jika tidak mengganti—heterogenitas ruang publik besar, yang kemudian memecah jagat politik. Ujungnya, rakyat lebih diperlakukan sebagai segmen konsumen ketimbang publik kewargaan yang terikat padd kemaslahatan kolektif.
Dalam situasi demikian, dari manakah kita temukan sumber kekuatan yang dapat merawat semangat kekitaan?