Yudi Latif, Ketua Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia
25
Ilustrasi
Ada saatnya, Indonesia berdiri di panggung dunia sebagai mercusuar kepemimpinan dan kepeloporan. ”Indonesia tahun 1945-1949 adalah laboratorium dekolonisasi paling penting abad ke-20. Di sini, untuk pertama kalinya sejak Perang Dunia, sebuah bangsa terjajah tidak hanya memproklamasikan kemerdekaan, tetapi mempertahankannya dengan sukses melawan kekuatan kolonial,” tulis sejarawan Benedict Anderson dalam Java in a Time of Revolution.
Kata-kata Anderson menggambarkan denyut nadi sebuah revolusi yang tak hanya mengubah nasib satu bangsa, tetapi menggetarkan poros-poros kekuasaan global.
Gelombang kejutnya menyebar ke seantero dunia kolonial. Di Vietnam, Ho Chi Minh mempelajari taktik gerilya Indonesia; di Aljir, pejuang National Liberation Front mengutip pidato Sukarno; di Accra, Kwame Nkrumah menjadikan Konferensi Bandung 1955 sebagai kompas perjuangan Afrika.
Seperti domino, satu per satu negara terjajah menemukan keberanian: dalam lima tahun setelah pengakuan kedaulatan Indonesia, 17 bangsa Afrika melepaskan belenggu kolonialnya. Revolusi ini bukan sekadar perlawanan—ia menjadi bahasa universal pembebasan.
Di panggung global, revolusi ini mengubah segalanya. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang awalnya klub negara-negara Barat, tiba-tiba harus mendengarkan suara Dunia Ketiga. Amerika Serikat yang awalnya mendukung Belanda, akhirnya berbalik haluan, takut negara-negara baru akan jatuh ke tangan Uni Soviet.
Ketika Sukarno, Nehru, Nasser, Nkrumah, dan Tito meluncurkan Gerakan Nonblok pada 1961, mereka sedang menulis bab baru dalam politik internasional—sebuah bab yang dimulai dari pekik ”Merdeka!” di Bandung.
Gerak mundur di tengah laju Asia
Ironisnya, ketika dunia menggelari abad ini sebagai abad Asia, Indonesia sebagai pelopor kebangkitan Asia-Afrika justru mengalami gerak mundur.
Tiga puluh tahun telah berlalu sejak Indonesia menggulingkan rezim otoriter, membuka lembaran baru Orde Reformasi. Demokrasi tumbuh, kebebasan bersuara mekar, tetapi di tengah gegap gempita perubahan, ada satu pertanyaan yang menggelitik: ”Mengapa Indonesia justru tertinggal?”
Di era Orde Baru, Indonesia adalah Macan Asia yang bangkit—pertumbuhan ekonomi menjulang 7 persen per tahun, jalan tol pertama membentang, industri manufaktur mulai bersinar. Tetapi, hari ini? Kita tersandung di angka 5 persen, kalah oleh Vietnam yang melesat 6-7 persen, ditinggal Malaysia dan Filipina.
Negeri ini masih menggantungkan nasib pada batubara dan minyak sawit, sedangkan tetangga-tetangga kita sudah beralih ke cipkomputer dan rakitan mobil listrik.
Dalam infrastruktur, pembangunan jalan berbayar (tol) memang digencarkan dalam satu dekade terakhir. Di sisi lain, jalan nasional rusak parah di 38 persen ruasnya (BPS 2023), pelabuhan antarpulau kalah bersaing dari Malaysia dan Singapura, sementara 82 persen lalu lintas udara masih terpusat di Jawa.
Kereta cepat Jakarta-Bandung—pencapaian simbolik—tenggelam oleh ketertinggalan kita dari Vietnam yang membangunnya secara terintegrasi: rel cepat Hanoi-Ho Chi Minh (2.045 kilometer), Pelabuhan Lach Huyen (kapasitas 10 juta TEUs), hingga bandara Long Thanh yang akan jadi hub ASEAN.
Pembangunan MRT masih terbatas satu lintasan pendek di tengah kemacetan Jakarta, sementara pembangunan IKN dipaksakan tanpa penghitungan yang matang. Semua itu menyiratkan bahwa pembangunan infrastrukur masih terkotak-kotak dan kurang terencana, jauh dari visi poros maritim dunia.
Korupsi, penyakit lama yang diharapkan mati bersama Orde Baru, justru bermetamorfosis. Dulu, ia terpusat di Istana. Kini, ia menyebar seperti jamur—di proyek desa, anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), bahkan dana bantuan sosial (bansos).
Indeks Persepsi Korupsi 2023 menempatkan kita di peringkat ke-115, jauh di bawah Malaysia dan Thailand. Setiap tahun, kepala daerah berjatuhan karena kasus korupsi, sementara rakyat hanya bisa bertanya: ”Ke mana larinya uang rakyat?”
Ketimpangan sosial menganga lebar. Rasio gini melonjak dari 0,31 di 1998 menjadi 0,38 hari ini. Jakarta gemerlap dengan mal-mal megah, sementara anak-anak di Nusa Tenggara Timur masih berjuang melawan tengkes (stunting).
Pendidikan, yang seharusnya menjadi tangga mobilitas, justru jadi cermin kegagalan. Peringkat PISA kita jeblok, enam terbawah dunia, jauh di bawah Vietnam yang bahkan bukan negara kaya.
Reformasi hukum Indonesia mengalami kemunduran nyata, terlihat dari: Indeks Negara Hukum (World Justice Project) 2023 yang stagnan di peringkat 64 dari 142 negara. Jauh di bawah Malaysia (55) dan Singapura (17).
Kemunduran juga tecermin dari meningkatnya impunitas dengan 62 persen kasus korupsi (data ICW, 2022) berujung vonis ringan atau pembebasan; politik hukum transaksional seperti revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang melemahkan pemberantasan korupsi.
Juga dualisme putusan pengadilan (contoh: sengketa Pemilu 2024) yang mengikis kepastian hukum; serta Indeks Kemerdekaan Hakim (Global Judicial Independence Index) yang turun ke peringkat ke-8 dari 15 negara ASEAN. Hukum semakin menjadi alat kekuasaan, bukan penjaga keadilan.
Politik kita seperti panggung sandiwara tanpa akhir. Demokrasi mahal, penuh transaksi, dan kebijakan ekonomi kerap dikalahkan oleh kepentingan jangka pendek. Pada saat Singapura dan Vietnam fokus membangun teknologi, kita terjebak dalam perang wacana kosong dan populisme manipulatif, sedangkan tetangga kita membangun masa depan.
Politik sebagai teknik (rekayasa) makin canggih, tetapi politik sebagai etik mengalami kemunduran. Dengan pelapukan landasan etis, kebijakan negara sering dibajak oleh oportunisme, lebih didorong keuntungan jangka pendek ketimbang tanggung jawab jangka panjang, memperparah kesenjangan sosial dan mempercepat kerusakan ekologis.
Fenomena aji mumpung ini tecermin dari peringkat Indonesia yang berada di urutan ke-72 dari 122 negara dalam Indeks Solidaritas Antargenerasi yang dikembangkan oleh Jamie McQuilkin dan Roman Krznaric sejak 2019. Lingkungan pun menjerit. Hutan kita menyusut tajam, udara Jakarta termasuk terburuk kesembilan di dunia, banjir tahunan jadi ritual yang tak terelakkan.
Peran kepemimpinan
Di antara debu ketertinggalan dan gemerlap kemajuan, kepemimpinan berdiri bagai mercusuar—menyinari jalan sebuah bangsa yang terombang-ambing antara masa lalu yang membelenggu dan masa depan yang menjanjikan. Ia bukan sekadar pengambil keputusan, melainkan jiwa kolektif yang mengubah nasib suatu negeri. Mengapa? Karena kepemimpinan adalah kekuatan yang mengukir sejarah, mengubah ”yang mustahil” menjadi ”kita bisa”.
Kepemimpinan adalah roh pembangunan yang menentukan apakah suatu bangsa akan tetap terbelakang atau melesat meraih kemajuan. Negara berkembang bisa terperangkap dalam lingkaran kegagalan atau melompat menjadi macan ekonomi, tergantung pada kualitas pemimpinnya. Pemimpin yang berani, cerdas, dan berintegritas bukan hanya mengubah kebijakan, melainkan juga nasib suatu peradaban.
Alasannya telah dikemukakan oleh banyak ahli. Pemimpin visioner berperan penting sebagai pendorong perubahan sistemik, dengan membongkar struktur korup dan membangun institusi inklusif yang menciptakan landasan bagi pertumbuhan berkelanjutan (Acemoglu & Robinson).
Pemimpin berintegritas adalah pemersatu dan penjaga kepercayaan, stabilitas dan kohesi sosial (Fukumaya). Pemimpin cakap merupakan katalis bagi pembangunan manusia dan ekonomi—tanpa investasi dalam sumber daya manusia (SDM) dan tata kelola yang baik, sumber daya alam (SDA) hanya akan jadi ”kutukan” (Stiglitz).
Pemimpin bersih menjadi pilar bagi penegakan hukum, pemerintahan bersih dan pemberantasan korupsi (Bank Dunia). Pemimpin waskita juga berperan penting sebagai navigator di tengah disrupsi global—hanya pemimpin yang adaptif dan berstrategi jangka panjang yang bisa merespons perubahan zaman dan menjaga keberlanjutan (Schwab).
Dunia mencatat dengan tinta emas, sejumlah pemimpin yang telah berhasil mentransformasikan negaranya dari situasi keterpurukan menuju kemajuan. Di Asia, ada Lee Kuan Yew (Singapura), dan Park Chung-hee (Korea Selatan). Di Afrika, ada Nelson Mandela (Afrika Selatan) dan Paul Kagame (Rwanda). Di Amerika Latin, ada José Mujica (Uruguay) dan Lula da Silva (Brasil).
Semua kisah keteladanan para pemimpin ini membuktikan satu kebenaran abadi: kepemimpinan visioner adalah kekuatan transformatif yang mampu mengubah nasib bangsa.
Mereka menunjukkan bahwa dengan integritas yang tak tergoyahkan, keberanian membongkar sistem yang busuk, kebersahajaan hidup dan komitmen pada pembangunan jangka panjang, bahkan negara yang terpuruk sekalipun bisa bangkit menjadi raksasa. Pemimpin bukan sekadar pengelola kekuasaan—mereka adalah arsitek peradaban, yang dengan telak membedakan antara bangsa yang mandek dalam kemunduran dan bangsa yang melesat menuju kejayaan.
Regresi kepemimpinan Indonesia
Celakanya, kualitas kepemimpinan politik di Indonesia justru menunjukkan tanda-tanda kemunduran. Di bawah langit yang sama di mana Bung Karno pernah membacakan proklamasi dengan suara menggelegar, kini kita seperti kehilangan arah. Indonesia, yang dulu jadi mercusuar Gerakan Nonblok, pemimpin di antara bangsa-bangsa terjajah, kini lebih sering jadi pengekor daripada pelaku utama dalam panggung global.
Kita menyaksikan para pemimpin yang dulu bermimpi membangun Indo- nesia sebagai mahakarya sejarah, kini terperangkap dalam prasasti kekuasaan yang lapuk. Politik transaksional telah menggerogoti tulang punggung kepemimpinan bagai kusta yang menggerogoti tubuh. Visi generasi dikorbankan di altar popularitas sesaat, kebijakan pencitraan menggilas terobosan visioner.
Ironi pun menganga: sementara bangsa lain mendirikan monumen peradaban, kita sibuk mengerdilkan diri dalam pahatan sempit kekuasaan.
Mentalitas ”jago kandang” telah membuat kita terpenjara dalam batas-batas sendiri. Di era di mana Singapura dengan dingin merancang masa depannya di papan gambar, dan Vietnam dengan gigih mengejar ketertinggalan, kita masih asyik berdebat tentang simbol-simbol tanpa substansi.
Pemimpin kita terlalu sering membanggakan warisan masa lalu dengan mengulangi kesalahannya; lupa bahwa sejarah hanya akan mengingat mereka yang berani menggagas masa depan.
Lalu ada penyakit kronis yang menggerogoti tulang punggung bangsa ini: korupsi yang telah berevolusi menjadi oligarki modern. Kekuasaan bukan lagi amanat, melainkan komoditas yang diperjualbelikan. Seperti dalam novel-novel distopia, uang dan koneksi berbicara lebih lantang daripada ide dan kapabilitas.
Sistem kita telah menjadi mesin yang secara teratur memproduksi pemimpin-pemimpin medioker, sementara yang terbaik justru tersingkir oleh mekanisme politik yang sakit.
Masyarakat pun turut serta dalam tragedi ini. Kita terlalu mudah terpesona oleh retorika kosong, terlalu cepat puas dengan pencapaian semu. Pemilih kita seperti penonton sinetron yang lebih tertarik pada drama kekuasaan daripada substansi pemerintahan. Di negara lain, kinerja buruk seorang menteri akan memicu gelombang protes; di sini, kita lebih memilih menggerutu di warung kopi daripada menuntut perubahan.
Kekayaan alam yang melimpah, yang seharusnya menjadi berkah, justru menjadi kutukan yang membuat kita terlena. Tidak seperti Singapura yang miskin sumber daya namun kaya inovasi, atau Jepang yang bangkit dari abu perang, kita seperti anak yang terlahir kaya raya, tetapi malas belajar. Krisis yang seharusnya menjadi pendorong perubahan, justru kita atasi dengan solusi temporer, seperti menambal kapal bocor dengan permen karet.
Jalan ke depan
Namun, sejarah tak harus menjadi penjara. Ia bisa menjadi cermin yang jernih atau kompas yang menuntun.
Untuk menghentikan langkah mundur Indonesia yang terselubung kemajuan semu, kita harus menggemakan panggilan kebangkitan yang tak sekadar fisik, tetapi kebangkitan jiwa.
Inilah tiga jalan terang untuk mengubah kemerdekaan yang mandek menjadi kemerdekaan yang melesat maju.
Pertama, pendidikan harus dibebaskan dari belenggu pragmatisme. Bukan lagi sebagai pabrik pencetak tenaga kerja, melainkan sebagai kawah candradimuka pembentuk manusia merdeka—yang pikirannya tajam, hatinya peka, dan tindakannya berakar pada nurani.
Indonesia tak sekadar butuh generasi cerdas, tetapi generasi yang memiliki kesadaran sejarah dan tanggung jawab moral di tengah deru modernitas.
Kedua, kepemimpinan harus dibangun di atas fondasi etika, diterangi cahaya nalar bernegara, dan ditempa dalam kerapian tata kelola. Ketiga unsur ini harus bersatu padu menciptakan kepemimpinan transformatif. Etika menjadi kompas moral yang tak tergoyahkan, nalar kebijakan jadi penerang jalan pembangunan, sementara kecakapan tata kelol a menjadi tangan terampil yang mewujudkan cita-cita.
Indonesia membutuhkan pemimpin yang tak hanya jujur, tetapi juga mampu menerjemahkan integritasinya dalam kebijakan yang brilian dan implementasi tepat guna. Sebab, kepemimpinan yang hanya mengandalkan salah satu aspek akan seperti bangunan retak, mungkin tampak megah, tapi rapuh di dasar.
Ketiga, pembangunan harus diarahkan sebagai proyek peradaban. Di balik megahnya jalan tol dan gedung pencakar langit, harus ada jawaban tegas: manusia macam apa yang ingin kita wariskan kepada bumi? Indonesia bukan sekadar kumpulan pulau, melainkan sebuah civilizational state yang ditakdirkan untuk menyeimbangkan kemajuan material dengan keluhuran spiritual, antara teknologi dan kearifan.
Kita pernah menjadi pionir, dan pionir sejati tak boleh terpaku pada nostalgia. Di tengah dunia yang gamang mencari arah, Indonesia bisa kembali menjadi mercusuar—asal berani membersihkan cermin bangsanya sendiri.
Kemerdekaan sejati bukan lagi sekadar seremonial tahunan, melainkan lompatan nyata: merdeka yang bergerak maju, merdeka yang menyembuhkan luka kolonialisme mental, merdeka yang mencerahkan akal budi. Inilah kemerdekaan yang sesungguhnya—yang tak hanya memerdekakan tanah air, tapi juga jiwa-jiwa yang menghuninya.
*Artikel telah dimuat di harian Kompas 14 Agustus 2025.