Ray Rangkuti: Partai Politik Sudah Berkhianat

1705

Pemilu legislatif 9 April 2009 silam tidak berjalan sesuai rencana. Banyak pihak dirugikan hak-hak politiknya, baik warga negara maupun partai politik karena kesemrawutan mengelola data pemilih. Problem kesemrawutan yang terjadi hampir merata di Indonesia ini merupakan salah satu dari sekian masalah yang mengiringi pelaksanaan pemilu legislatif. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya situasi demikian diantaranya mengenai banyaknya penduduk yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT), distribusi logistik yang kacau balau. Sehingga hal ini berimplikasi pada penghitungan perolehan suara yang molor dari jadwal yang sudah ditetapkan. Untuk melihat sejauhmana problem yang terjadi dalam Pemilu Legislatif 2009 berikut petikan wawancara Zaenal Abidien dan Fachrurozi dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK)-Indonesia dengan Ray Rangkuti, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia di Jakarta Media Center Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Kamis, 20 April 2009.

Pemilu legislatif telah berlangsung pada 9 April silam telah menyisakan banyak persoalan krusial diantaranya soal semrawutnya DPT dan penghitungan (rekapitulasi yang molor dari jadwal). Bagaimana Bung Ray memandang situasi ini?

Ray Rangkuti
Ray Rangkuti

Jauh sebelum tanggal 9 April, saya sudah mewacanakan supaya Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan apa yang saya sebut dengan “darurat pemilu”, yaitu satu situasi di mana pemilu dilakasanakan tidak sesuai dengan peraturan yang ada, bisa dikatakan tidak ideal. Saya sudah mendata ada banyak sekali masalah di sana. Pertama, soal logistik pemilu. Saya sudah memprediksi bahwa semuanya akan kacau dan memang pada tanggal 9 April itu kacau: banyak surat suara yang tertukar, sehingga maksud dari pelaksanaan pemilu yang menginginkan supaya masyarakat memilih wakil mereka itu tidak terpenuhi, karena suara-suara yang salah. Kedua, saya mengingatkan bahwa daftar Pemilih Tetap (DPT) ini secara umum bermasalah. Memang terbukti pada tanggal 9 itu memang sampai sekarang memang jauh sekali dari apa yang diduga, karana orang dulunya mengasumsikan bukannya orang yang tak terdaftar. Justru yang terjadi itu adalah orang yang mengasumsikan banyak data pemilih yang tidak benar. Ternyata selain data pemilih yang tidak benar banyak masyarakat yang tidak terdaftar. Saya nyatakan itu sejak tahun 1999. silahkan Anda cek di media-media.

Kemudian saya juga melihat sosialisasi yang sangat kurang. Sehingga implikasinya sampai sekarang penghitungan suara tidak tepat waktu karena sejak dari TPS itu sudah mulai kacau. Mengapa karena instruksi penghitungan manual yang diserahkan KPU kepada petugas KPPS terlambat, sehingga rata-rata diantara mereka membaca instruksi pada malam sebelum pencontrengan. Kedua, ternyata di lapangan antara instruksi dari buku manual itu dengan yang dilapangan berbeda. Misalkan formulir C-1 yang berkenaan dengan rekapitulasi. Nah memindahkan antara dari surat suara di mana orang memilih partai dan caleg menjadi satu suara itu agak sulit. Suara ini (partai) masuknya ke siapa? Asumsinya kan masuknya ke caleg, tapi ketika dipindahkan ke formulir C-1 kita kesulitan menghitung. Ini orang nusuk untuk caleg berapa, yang nusuk dua kali ini tapi di itung satu itu berapa kita tidak tahu. Contoh, yang nusuk partai itu kan delapan, total caleg ada 12 asumsinya ada orang yang mencontreng partai sekaligus dan caleg. Berapa totalnya kita kan tidak tahu, yang pasti sudah berubah: caleg dapat 12, atau partainya dapat delapan atau sebaliknya. Kita tidak tahu, karena formulirnya tidak memuat nomor. Jadi, untuk lebih konkret formulir sisa itu dibuat sesuai dengan surat suara, kalau perlu nama-nama caleg itu ditulis di dalam formulir itu, sehingga ketika dipindahkan sudah ketahuan, sementara ini tidak ada dan akhirnya kesulitan.

Kalau ternyata di partai yang memilih cuma delapan, kemudian calegnya dapet 16, nah ini sapa yang milih partai, kita tidak tahu. akhirnya di gabungkan saja. Akhirnya terjadi penggelembungan. Tentu saja ini terkait dengan kemampauan KPPS memahami instruksi. Hal ini karena lambatnya sosialisasi yang diberikan oleh KPU.

Masalahnya KPU lalu membela diri, bisa dikatakan seperti itu, bahwa mereka sudah berusaha betul menyesuaikan. Hal ini juga karena pemilu 2009 ini adalah baru dan berbeda dengan pemilu lalu. Lalu, itu menjadi alasan sosialisasi tertunda? 

Sebenarnya sosialisasi tertunda itu, lebih karena uang (anggaran) yang terlambat datang dari pemerintah. Sekarang kita mencari tahu, kenapa dana itu bisa terlambat datang? Kenapa pendaftaran agak terlambat dilakuan? Itu juga karena dananya terlambat. Kita terus mencari tahu. Karena belum mendapatkan jawaban maka muncul asumsi-asumsi bahwa ini memang disengaja karena mungkin ada satu-dua kelompok yang diuntungkan dengan situasi ini.

Apakah kesemrawutan itu bisa dikategorikan sebagai pelanggaran atas hak asasi manusia?

Itu sudah pasti! Dalam sistem apapun selalu ada toleransi, kalau, misalnya, daftar pemilih yang tidak terdaftar di bawah 2 persen atau tiga persen dari total pemilih, itu bisa ditoleransi. Kajian sosial juga demikian: ada semacam margin of error-nya.

Tapi kalau sudah 40 juta itu berapa persen? KPU sih ngakunya 20 juta orang yang tidak terdaftar, dari total pemilih, bagaimana? Itu jumlah yang sangat besar! Oleh karena itu, kami mengatakan pemilu itu “cacat” dalam artian tidak dilaksanakan secara sempurna. Batal sih tidak. Kenapa? Karena 60 persen pemilih datang ke TPS. Itu pertama. Kedua, surat suara yang tertukar. Itu yang kita sebut cacat. Dan lebih khusus lagi pada DPT yang pemilih yang tak terdaftar. Itu jelas mencederai konstitusi. Oleh karena itu kita mengatakan pemilu ini cacat karena mencederai konstitusi kita, mencederai hajat utama tujuan pemilu dan karena itu KPU harus dan wajib bertanggung jawab.

Dalam bentuk apa tanggung jawab KPU itu?

Pertama, meraka harus mengundurkan diri, karena mereka sudah tidak layak. Masalahnya, bangsa kita itu pemaaf sekali kepada elitnya, tetapi tidak pada rakyatnya. Baru saja saya menerima kabar dari kawan BBC. “Bung Ray, ada 2 orang di Tangerang dipidana 6 bulan karena terbukti memberi hak suara yang semestinya dia tidak punya.” Itu ironi, mereka korban dari sistem yang salah. Pertanyaannya, dari mana surat undangan itu datang ke dia? Lalu, siapa yang memberi undangan itu ke dia? Karena satu-satunya yang memegang surat undangan itu adalah KPPS, harus dihadirkan KPPS-nya. Terbukti petugasnya mengelak di lapangan, katanya dia tidak merasa meberikan kepada orang itu.

Kedua, surat undangan itu bukan persyaratan utama orang dapat memilih. Yang menjadi persyaratan utama dalah namanya terdaftar di DPT. Kalau hanya mempunyai surat undangan tapi tidak terdaftar di DPT, jangan diperbolehkan memilih.

Oleh karena itu, bagi saya yang harus dikejar itu adalah KPU yang membuat sistem ini begitu rumit di mana orang bisa melakukan dengan mudah, Misalnya, saya tidak tahu hukum, tiba-tiba ada undngan yang datang kepada, saya tidak tahu orang seperti saya ini ga boleh memilih. Tapi masalahnya saya mendapat undangan untuk memilih. Kalau saya tidak boleh memilih, mengapa surat undangan itu datang ke saya. Logis sekali jawaban mereka itu. Ketika sampai di TPS, saya langsung kasih lihat lalu diperbolehkan, tentu saya langsung nyontreng dong.

Ini yang saya bilang bahwa kita harus bongkar secara nasional. Aparat yang salah, pemerintah yang salah, petugas negara yang salah. Jangan rakyat yang dikorbankan. Rakyat ini kan sudah dua kali menjadi korban. Pertama, hak mereka tidak bisa dipenuhi, kedua kalau mereka memenuhi dengan cara yang tidak tepat mereka dipidana. Tapi, apa sangsi yang didapat oleh para elit? Karena itu, mereka harus mengundurkan diri, karena tidak becus sudah tidak becus dan membiarkan masyarakat sekitar 20 juta tidak bisa memilih. Lalu masih cari kambing hitam segala lagi. Pemimpin itu harus maju ke depan, bukan berlindung di balik kekuasaan atau berlindung di belakang moral. Atau pula berlindung di belakang undang-undang: “Apakah ada UU yang mengatakan kalau ada sekian persen warga yang tidak memilih saya harus mundur?” Itu memang tidak, tetapi fatsun berdemokrasi mu sangat rendah! Kau pikir demokrasi di ataur dengan undang-undang itu saja!

Selanjutnya, pemerintah harus bertanggung jawab. Data utama DPT yang diterima KPU itu datang dari mereka. Mungkin karena batas waktu yang sangat mepet untuk memutakhirkan DPS maka semua menjadi kacau balau. KPU harus harus melakukan pekerjaan mulai dari nol dengan beban yang berat sehingga kacau balau seperti sekarang ini.

Sekarang, KPU tidak bertanggung jawab, pemerintah juga tidak bertangung jawab rakyatnya menjadi korban. Lalu saya pikir ini negara apa? Lalu muncul pernyataan, KPU punya andil, partai politik juga punya andil: ini yang menurut saya, semuanya melempar tanggung jawab kepada orang lain. Jadi, tidak ada yang mengatakan “Saya ambil alih.” Padahal Undang-undang Pasal 19 ayat 1 dan 2 dengan tegas mengatakan “Warga negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berusia 17 tahun atau lebih atau sudah pernah kawin mempunyai hak pilih.” Asumsinya mendaftar atau tidak mendaftar, pokonya warga negara yang sudah berumur 17 tahun, sudah pernah kawin, dia harus sudah didaftar, wajib di daftar sebagai daftar pemilih.

Ayat ke 2, “Warga negara sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 didaftar oleh penyelenggara pemilu.” Dari sini jelas, bahwa warga negara tidak perlu melihat pengumuman DPT di tempat penempelan. Jadi bukan karena alasan “menjadi warga negara yang baik.” Justru tindakan itu membuat RT/RW menjadi manja: dia tinggal menempel, lalu masyarakat datang, selesai pekerjaan mereka. Semastinya tugas mereka datang ke rumah-rumah warga dan memastika bahwa semua warga sudah terdaftar adatau belum. Jika penting, daftar itu diberikan kepada warga. Itu tugas negara. Warga negara yang baik adalah anda diam di rumah karena anda yakin bahwa anda didaftar, kalau ternyata anda tidak didaftar anda ribut dan menuntut petugas.

Dulu yang membuat ini adalah Orde Baru. Meraka mengatakan “partisipasi,” yang pada dasarnya bahasa “partisipasi” ini adalah rakyat berbuat sebanyak-banyaknya, dan pemerintah menikmati sebanyak-banyaknya. Budaya itu sampai sekarang telah menjadi bias: rakyat yang harus datang ke kantor PPS mengecek sendiri. Partai politik juga demikian. Yang ingin saya katakan, bukan seperti itu. Itu negara yang otoritarian. Rakyat itu tidur di rumah dilayani oleh negara, kalau negaranya bekerja, itulah negera yang baik.

Nah ini tidak boleh lagi terjadi seperti ini. Filosofi seperti ini yang ingin saya ubah di dalam memandang pemilu. Oleh karena itu ketika KPU, Presiden mengatakan “Kenapa warga tidak mau mengecek?” Saya tegaskan, itu bukan tugas warga, tugas warga itu bayar pajak supaya memastikan namanya ada.

Lalu bagaimana dengan pengumunan yang ada saat ini bahwa setiap warga harus memastikan namanya sudah terdaftar atau belum ke RT/RW?

Pengumuman yang sekarang itu harus di cabut atau diubah menjadi, “Kami petugas TPS dan KPPS akan mendatangi rumah warga untuk memastikan Anda terdaftar sebagai pemilih untuk pilpres. Pendataan akan dilakukan pada tanggal sekian sampai tanggal sekian, dimohon untuk dapat melayaninya.” Oleh karena itu kita mempunyai solusi bukan “pemilu batal” tapi “pemilu cacat.”

Kami mengatakan “pemilu khusus.” Apa itu? Yakni pemilu yang dilaksanakan untuk memenuhi hak warga negara yang pada 9 April lalu tidak terpenuhi disebabkan kealfaan negara, dan untuk memenuhi kewajiban pemerintah maka diberikan satu waktu khusus kepada yang tidak dapat menggunakan hak pilih mereka. Dasar hukum ini adalah konstitusi: konstitusi menjamin hak politik warga negara. Bagaimana perangkat teknisnya? Buat Perpu. Perpu mengatakan kepada warga negara yang hak pilihnya atau tidak terdaftar pada pemilu 9 April yang lalu, dimungkinkan untuk mempergunakan hak pilihnya pada tanggal sekian.

Soal koalisi, saat ini koalisi yang sedang dibangun partai politik dalam menghadapi Pemilihan Presiden 2009 dikesankan semata-mata berorientasi untuk merebut atau membagi-bagi kekuasaan di (kabinet) pemerintahan. Bagaimana Bung Ray melihat fenomena para politisi bangsa ini?

Partai politik sudah berkhianat pada gembar-gembornya selama ini. Dulu mereka nmengatakan kenapa kita penting buat aturan 20 persen kursi di DPR dan 25 persen perolehan suara sah nasional adalah agar partai politik mengecil, juga dalam pencalonannya; supaya komposisi presidensial menguat dan ada check and balance-nya. Tapi semua itu menjadi tidak bermakna dengan perilaku yang mereka tunjukkan sekarang ini. Mereka berzig-zag. Tujuan utama untuk membuat sistem presidensial menjadi semakin kuat, itu tidak terjadi; tujuan mereka supaya partai politik semakin mengecil juga tidak ada. Partai yang mendapatkan kursi terbanyak urutan kedua tidak berani mencalonkan diri sebagai calon presiden. Partai kecil yang mendapatkan 4 persen suara justru berani mencalonkan diri presidennya sendiri.

Yang paling unik adalah dua minggu setelah penghitungan (bahkan hingga saat ini) belum ketahuan kemana arah koalisi ini? Siapa pasangannya masing-masing? Kejadian seperti ini justru memunculkan kebingungan pada masyarakat. Saya melihat wacana tentang koalisi ini boleh disebut sebagai “ultra pragmatis,” sama sekali yang menjadi ukuran untuk berkoalisi pertama adalah angka-angka dan kedua saya mendapat apa. Jadi, ukurannya itu betul-betul individual. Bukan bangsa. Tidak ada pernyataan untuk bangsa: kalau saya berkoalisi bangsa ini dapat apa?

Terakhir, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, banyak pendapat yang menyatakan bahwa Pemilu Legislatif 2009 merupakan pemilu terburuk pasca Reformasi. Apa yang harus diperbaiki agar peristiwa yang sama tidak terjadi di masa depan?

Ke depan, kalau kita mau, pemerintah jangan dilibatkan. Kalau datanya mau beres diserahkan kepada ahlinya. Kalau melibatkan pemerintah, masalahnya di kita ini (Indonesia) kan semakin keterlibatan pemerintah besar, semakin banyak penderitaan orang, bukan malah semakin baik. Kalau pemerintah ini mau mengurus rakyat, KTP itu diantar ke rumah donk. Itu kan bukan mimpi sekarang. KTP itu dibuat boleh lembaga independen yang kerjannya setiap tahun adalah membuat KTP, yang menyebarkan secara otomatis ke tempat di mana warga tinggal. Nyatanya tidak, kalau ada pemerintah birokrasi makin panjang, di mana pun pemerintah diletakkan. Saya kira itu.

Baik, terima kasih Bung atas waktunya.

 

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.