Eksekusi atas Saddam Hussein pada Sabtu, 30 Desember 2006 kembali mengguncang dunia. Banyak pro dan kontra atas pembunuhan tersebut. Di atas itu semua, dunia kembali mendapat tantangan, khususnya dalam menciptakan perdamaian dunia.
Dalam zaman global ini, berbagai persoalan sosial nampaknya muncul bak air yang meluap ke udara. Kekerasan atas agama, kemiskinan, bencana, dan perang menghiasi dunia kita sekarang. Nampaknya apa yang disebut Samuel Huntington dengan The Clash of Civilization mendapatkan konteksnya saat ini. Di mana peradaban yang satu clash dengan peradaban yang lain.
Tragedi 11 September juga menggambarkan kenyataan di atas. Serangan atas WTC tersebut dapat ditafsirkan bukan hanya serangan atas Amerika semata sebagai negara super power, melainkan serangan atas kapitalisme dan Barat. Serangan yang dipropoganda oleh Osama tersebut menegaskan kembali tentang clash antara Islam dan Barat. Perang antara Amerika sebagai simbol Barat dan Osama sebagai simbol Islam.
Ancaman ke Depan
Dapat diprediksi bahwa ancaman ke depan bagi dunia adalah munculnya kembali fundamentaslime agama, fanatisme kesukuan dan nasionalisme yang sempit. Ketiga hal tersebut muncul karena salah satu tantangan dalam globalisasi adalah bagaimana mempertahankan identitas mereka.
Fundamentalisme, fanatisme dan nasionalisme yang sempit menjadi ancaman, karena ketiga hal tersebut merupakan ‘ideologi’ yang ekslusif. Suatu cara berpikir yang tak bisa berdialog dengan yang lain. Maka ketika ada suatu kenyataan yang ganjil, ‘ideologi’ tersebut akan melegitimasikan untuk berbuat sesuai cara-caranya sendiri. Tak ada dialog dan tak ada komunikasi.
Hal ini ditegaskan oleh Karl R. Popper dalam bukunya The Open Society and Its Enemies (1945). Ia menyatakan bahwa musuh dari masyarakat terbuka (The Open Society) adalah otoritarianisme, marxisme dan totalitarianisme. Pada zaman sekarang, musuh dari demokrasi dapat diterjemahkan sebagai fundamentalisme, fanatisme dan nasionalisme yang sempit. Karena terdapat prinsip yang sama, yaitu tak adanya ruang dialog.
Oleh karena itu, ketika ketiga hal tersebut masih menggejala di masyarakat dunia, dunia masih dalam ancaman. Ke depan, tak dapat dipastikan tak akan ada lagi serangan bom bunuh diri, kekerasan dan penghinaan atas agama tertentu, dan konflik antara keyakinan atau golongan tertentu.
Kita tahu bahwa sampai saat ini, kekacauan di Irak pasca invasi Bush tak kunjung selesai. Konflik antara Sunni dan Syiah masih belum dapat diredam. Ditambah dengan eksekusi Saddam, menyedot berbagai gerakan-gerakan kekerasan dari para pendukung fanatik Saddam. Butuh kerja keras tanpa lelah untuk meredam dan mencoba merelai konflik tersebut.
Di Indonesia, gejala itu terlihat dari perang antara suku yang terjadi di Papua, pengusiran Jemaah Ahmadiyah dan juga Fatwa MUI yang mengharamkan liberalisme, sekuralisme dan pluralisme. Padahal, liberalisme, sekuralisme dan pluralisme adalah dasar bagi pertumbuhan demokrasi. Sebab itu, tak dapat dipastikan di tahun mendatang, kekerasan atas agama dan konflik antar suku tak akan terjadi lagi.
Upaya Rekonsiliasi
Kasus-kasus di atas menegaskan bahwa dunia saat ini sedang terancam. Maka itu, upaya untuk melakukan rekonsiliasi dunia sangat diperlukan agar tak ada lagi perang, tak ada lagi kematian yang sia-sia, dan tak ada lagi tangis. Walaupun itu sangat tidak mungkin, tapi setidaknya berkurang.
Untuk upaya ke arah itu, Bassam Tibi dalam artikelnya yang berjudul Dialogue among Civilizations: in Search of a Just and Pluralistic World Order, menyatakan bahwa untuk mengupayakan perdamaian di masa depan diperlukan empat pilar utama, pertama mutual understanding (saling memahami), kedua mutual respect (saling menghormati satu sama lain), ketiga mutual tolerance (saling mentoleransi) dan keempat pluralisme.
Tidak bisa tidak, keempat hal tersebut merupakan dasar bagi perdamaian dunia di abad global ini. Dibutuhkan saling memahami antara satu negara dengan negara yang lain. Saling menghormati suatu agama dengan agama yang lain. Dan saling mentoleransi terhadap segala perbedaan, entah itu perbedaan suku, warna kulit dan golongan tertentu.
Tak bisa dilupakan, peran PBB juga sangat penting. Sebagai lembaga yang menaungi bangsa-bangsa, ia diharapkan mampu mengakomodasi semua kepentingan bangsa dan merelai konflik antar bangsa. PBB adalah lembaga politik yang tepat bagi dialog dan diskursus di antara bangsa-bangsa untuk menyampaikan kepentingannya. Menurut hemat penulis, itulah tugas penting dan tertantang peran PBB ke depan dalam rangka menciptakan perdamaian dunia.
Hal ini ditegaskan oleh Jurgen Habermas dalam bukunya Inclusion of the Other. Ia menyebutnya dengan lembaga kewarganegaran dunia. Lembaga dimana warga dunia dapat menyampaikan aspirasi dan kepentingannya. Dapat berdialog dan berkomunikasi secara bebas dan tanpa paksaan. Karena perdamaian dunia tak akan tercipta bila tak ada ruang dialog dan komunikasi antar warganya.
Diharuskan, PBB ke depan mampu mengemban peran ini. Karena apalah guna bila tidak mampu melakukannya. Dan warga dunia sadar akan pentingnya apa yang ditekankan oleh Bassam Tibi di atas.