Kita mungkin sulit melupakan, tetapi harus bisa memaafkan!” Kalimat itu diucapkan Nelson Mandela saat membujuk Miriam Makeba untuk kembali ke Afrika Selatan dari tempat pengasingannya. Dengan pengendalian diri yang kuat atas kepedihan masa lalunya, Mandela berpetuah, ”Untuk berdamai dengan musuh, seseorang harus bisa bekerja sama dengan musuh dan musuh itu menjadi mitramu.”
Petitih sakti Mandela itu beresonansi di langit Jakarta, tepat pada Hari Kesaktian Pancasila, saat keturunan tokoh bangsa yang pernah terlibat konflik di masa lalu berkumpul di gedung tempat MPR bersidang. Di podium kehormatan secara bergantian tampil Chaterine Pandjaitan (putri pahlawan revolusi, Mayjen DI Pandjaitan), Ilham Aidit (putra pemimpin PKI, DN Aidit), Sarjono Kartosuwiryo (putra Imam Besar DI/TII Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo), Perry Omar Dani (putra mantan KSAU Marsekal Omar Dani), Sukmawati Soekarnoputri (putri Presiden Soekarno), Hutomo Mandala Putra (putra Presiden Soeharto), dan lainnya. Mereka melantunkan kesaksian (testimony), penyesalan (repentance), dan pengasihan (compassion), seperti yang sering dianjurkan teolog rekonsiliasi Afrika Selatan, Desmond Tutu.
Dengan kebesaran jiwa untuk memaafkan kepedihan masa lalu, mereka bersepakat untuk berhenti mewariskan konflik dan tak membuat konflik baru. Penyesalan dan harapan Chaterine Pandjaitan mewakili perasaan ini: ”Banjir air mata menggenangiku separuh waktu. Itu lebih dari cukup. Jangan lagi ada tangis. Anak-anak masa depan tak sepantasnya tumbuh dalam akar dendam masa lalu, yang membuat masa depan bangsa karam dalam bah air mata prahara.”
Sungguh mengharukan dan membanggakan. Di tengah arus besar mentalitas kerdil yang memaguti bangsa ini, masih tersisa jiwa besar yang bisa berdamai dengan memoria passionis. Ekspresi jiwa besar sebagai anak- anak ideologis dari tokoh bangsa yang mengedepankan kekuatan ”akal untuk berkuasa” (reason to rule), mereka lebih mengedepankan ”belas kasih untuk memaafkan” (mercy to forgive). Seakan menjadi pembumian dari nubuat penyair Inggris, John Dryden, ”Reason to rule but mercy to forgive: the first is law, the last prerogative”.
Inilah keseimbangan yang dibutuhkan demi mekarnya bunga kesejahteraan Indonesia. Pada diri tokoh bangsa di masa silam ada kekuatan yang bisa diwariskan, yakni berpolitik menurut penalaran (reason) yang diformulasikan dalam ideologi. Mereka berjuang merebut kekuasaan demi memperjuangkan gagasan yang mereka yakini keampuhannya untuk menggapai cita-cita nasional di seberang jembatan emas kemerdekaan. Namun, dalam suatu masyarakat majemuk dengan ragam keyakinan ideologis, mengandalkan kekuatan penalaran saja, yang sifatnya menguasai, memang menyimpan potensi ledakan.
Meskipun pendiri bangsa mengidealkan negara kekeluargaan, yang mengatasi paham golongan dan perseorangan, dalam praktiknya, perwujudan nation building masih terhadang oleh lemahnya budaya kewargaan (citizenship). Keanggotaan dalam suatu bangsa memerlukan apa yang disebut ”kebajikan sipilitas” (the virtue of civility), yakni rasa pertautan dan kemitraan di antara ragam perbedaan serta kesediaan untuk berbagi substansi bersama, melampaui kepentingan kelompok, untuk kemudian melunakkan dan menyerahkannya secara toleran kepada tertib sipil.
Sayang, seperti dicatat oleh Edward Shils (1972), ”Yang lama berkembang di sini adalah suatu kecenderungan padat politisasi yang disertai oleh keyakinan, bahwa hanya mereka yang memiliki kesamaan prinsip dan posisilah yang dianggap sebagai anggota absah dari masyarakat politik. Sedangkan bagi mereka yang berbeda, dikucilkan oleh curam hambatan yang terjal”.
Untuk membangun kebangsaan Indonesia, kekuatan reason to rule itu harus diimbangi dengan kekuatan mercy to forgive. Di sinilah signifikansi dari kebesaran jiwa korban sejarah itu. Daya permaafan yang mereka tunjukkan adalah kunci bagi pencapaian bangsa ke depan. Seperti ditekankan Viktor Frankl, psikolog yang menjadi korban kekejaman Nazi, ”Penerimaan secara sadar atas penderitaan dan nasib dapat ditransformasikan ke dalam pencapaian agung”. Kenestapaan bisa mendorong pencarian makna hidup, man’s search for meaning.
Dalam kehidupan suatu bangsa, kepahitan sejarah harus meratakan jalan bagi pencarian kesejatian makna bernegara. Negara ini didirikan untuk mencapai kebahagiaan, yang kepenuhan maknanya bisa diisi dengan jalan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Dengan kata lain, hasrat rekonsiliasi dari kekuatan konfliktual di masa lalu itu hanya memperoleh kepenuhan makna jika mendorong transformasi dalam pengelolaan negara. Pada titik inilah sumber kepedihan lain justru membayangi kehidupan negara ke depan.
Jika kepahitan masa lalu ditimbulkan oleh reason to rule yang terlalu mengandalkan penalaran dalam perjuangan politik, sumber kepahitan masa depan justru karena mal-reason to rule; ditinggalkannya penalaran dalam kehidupan politik. Berpolitik bukan untuk memperjuangkan gagasan, melainkan semata-mata demi kekuasaan.
Dalam pudarnya ideologi, perjuangan politik lebih didorong oleh kepentingan. Jika perjuangan kepentingan ini berlangsung dalam suatu disorganisasi sosial (lumpuhnya hukum dan ketertiban) serta lemahnya perlindungan negara atas hak warga, yang akan berkembang adalah berjangkitnya kembali kekuatan-kekuatan ”tribus” (premanisme dan fundamentalisme). Kesengsaraan yang bisa ditimbulkan jauh lebih parah ketimbang konflik ideologis. Karena yang akan berkembang di jalanan adalah apa yang disebut Thomas Hobbes sebagai bellum omnium contra omnes (perang semua lawan semua). Saling serobot antarpengemudi di jalanan serta perang antarpreman dan antarwarga di Jakarta, Tarakan, dan tempat lainnya adalah indikasi awal gerak mundur perkembangan bangsa ke era prapolitik, yang bisa merobohkan bangunan negara-bangsa.
Perkembangan bangsa harus merupakan proses belajar sosial dari akumulasi sejarah nasional. Dari semangat rekonsiliasi pihak- pihak yang terlibat konflik di masa lampau, kita bisa belajar untuk berhenti mewariskan konflik dan tidak membuat konflik baru. Kunci menghidupkan negara adalah keseimbangan antara nalar bernegara dan rasa berbangsa. Dari kemampuan memaafkan itu, semoga terbit kesadaran untuk menghidupkan!
Tulisan ini pernah dimuat di harian Kompas, 5 Oktober 2010.