Sjahrir adalah a man of paradox dalam berbagai arti. Tubuhnya kecil dengan tinggi tidak mencapai satu setengah meter, 145 sentimeter, dan berat badan hanya 45,5 kilogram. Namun di sana tersimpan energi dahsyat. Inteligensinya mengagumkan
—Daniel Dhakidae, 2009—
Hanya satu, dua, tiga orang tokoh bangsa yang rela kesepian di penghujung hayatnya. Setelah Bung Hatta, Tan Malaka, Natsir; tersebutlah Sjahrir, bung kecil yang berperan besar. Ia dalam sekam Orde Baru nyaris dilupakan, bahkan diendapkan dalam lumpur sejarah kekuasaan yang bingar. Demikian, sejarah milik para penguasa; mudah, enteng untuk kemudian melenyapkan segudang jasa pahlawan, seperti Sjahrir. Karena hanya lantaran Sjahrir adalah pengagum ideologi sosialis-demokrasi, bukan ideologinya penguasa sewaktu ia masih tegak pada sebingkah tanah, yang bernama Indonesia, sampai akhirnya ia terbenam dalam hening sejarah yang engan bertutur tentang dirinya.
Memantik, merasakan energi Sjahrir terasa kian menyesakkan dada, seolah ”ingin” meletup, berdesak-desakan keluar, bergupal menjadi kritik terhadap kemapanan, bahkan memecah kebekuan tatanan bernegara saat ini. Ada banyak dawai pencerahan yang dapat dipetik dari seorang Sjahrir, hingga mengalun merdu untuk sebuah bangsa Indonesia yang tengah meregang kaku, seperti saat ini. Namun masih adakah deret pengagum Sjahrir, yang rela berlari, bertahan dalam dinginnya terpaan godaan cyberspace culture; hanya untuk menyelami sosok, nilai, dan karakter seorang Sjahrir? Tampaknya Sjahrir kalah saing dalam hal popularitas dibanding para selebritis. Pasalnya, banyak jemari engan membalik ”memoir” tentang Sjahrir. Kebalikannya, banyak gemulai jari remaja tak bosan-bosannya membalik photo selebritis, mengutak-atik segala hal tentang artis, sehingga tak disadari photo itu pun koyak karena sangkin seringnya di bolak balik. Demikian sejarah, bangsa melupakan seorang Sjahrir. Tak hanya penguasa, ”kita” pun kerapkali engan mengenang sosok Sjahrir.
Anak Biasa
Anak biasa, namun punya karakter. Demikian argumen yang tepat mengambarkan seorang Sjahrir. Dalam masa-masa kecilnya, Sjahrir tidak berbeda dengan kebanyakan tokoh bangsa lainnya. Berpetualang mengejar ilmu, bukan lantaran cinta. Namun terpaksa untuk mencintai. Bapaknya, Muhammad Rasyad; seorang jaksa tinggi, menyebabkan Sjahrir terpaksa untuk mencintai pendidikan jauh dari tanah kelahirannya di Padang Panjang. Ia digambleng oleh Bapaknya, dikota Medan; kota yang kemudian menjadi awal bagi Sjahrir untuk berinteraksi lebih terbuka sekaligus kota yang diduga signifikan membentuk karakter seorang Sjahrir.
Sjahrir adalah sosok yang inklusif. Ia dengan mudah bergaul dengan pemuda dan noni Belanda. Keterbukaan Sjahrir ini menjadi karakter politiknya. Sehingga dalam karier politiknya merebut dan mempertahankan tanah Indonesaia, ia memilih jalur diplomasi ketimbang jalur phisik. Masa remajanya banyak dihabiskan di kota Medan, belajar di Europeesche Lagere School (ELS) dan lulus pada tahun 1920. Kemudian melanjutkan ke ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), juga di Medan, yang ia tamatkan pada tahun 1923.
Di Medan Sjahrir tak lebih menjalani hari layaknya remaja biasa, yang jauh dari bising politik. Ia hanya tahu bermain sepakbola, membaca cerita anak, dan sesekali bermain biola di Hotel de Broer, ”Sjahrir kerap mencari uang saku dengan bermain biola di sana,” ungkap Mrazek dalam Politics and Exile in Indonesia (1994).
Seorang Sjahrir kecil di Medan, lebih banyak tersimpan dalam memori orang perorang ketimbang dalam lembaran buku, dan diary. Hal ini pertanda, bahwa Sjahrir walau biasa, tetapi setidaknya ia telah menjadi lukisan munggil di kota Medan doeloe, hingga sekarang masih saja banyak orang yang mengenang, sembari mencoba mengingat-ingat kesan tentang Sjahrir. Walau susah diingat, tapi masih berbekas. Di lain sisi kehidupan Sjahrir, nun jauh dari kota Medan; ia juga mempunyai kisah unik di Banda Neira.
Manusia Pantai
1 Februari 1942, menjadi hari yang lain dalam hidup Sjahrir. Sebuah awal dari kehidupannya yang akan ia mulai dengan hal-hal kecil, namun sarat makna dalam pengasingan yang tak terduga. Inilah jejak biasa Sjahrir di Banda Neira; sebuah tempat pengasingan bagi Sjahrir, bersamanya ada Hatta, Cipto Mangunkusumo, Iwa Kusumasumantri. Di Banda Neira ini, Sjahrir menjadi manusia pantai; sebuah sosok manusia yang mencintai hamparan samudera, mengagumi sembari memetik makna dari hamparan pasir pantai. Berbeda dengan Bung Hatta, yang menjadikan Banda Neira sebagai pengasingan untuk menyelami kedalaman pengetahuan dari buku-buku yang ia cintai.
Sjahrir di Banda Neira tidak memilih buku-buku sebagai teman dalam kesepian. Namun, ia lebih tertarik bermain dengan anak-anak, berlari-lari di pantai setelah memberikan pengertian tentang hidup kepada anak-anak, dan tak jarang juga mengajak anak-anak memahami alam, dengan mendaki gunung yang tak jauh dari pengasingannya di Banda Neira.
Mencoba merasakan Sjahrir di Banda Neira, ”Kita” ingat akan sajak yang ditulis oleh Tagore, ”Mereka bangun rumah dari pasir, mereka rajut kapal dengan daun kering, dan dengan tersenyum mereka apungkan ke laut dalam…”, ” Nelayan menyelam mencari mutiara, saudagar berlayar mengarungkan perahu, sementara anak-anak menghimpun batu dan menebarkannya kembali…”. Tak berat untuk membayangkan Sjahrir sebagai manusia pantai di Banda Neira. Karena memang ini terpecik dari karakternya yang lunak, lembut, terbuka serta anti kekerasan, namun tegas, liat dan licin jika berdiplomasi.
Layaknya Hatta mendalami, mengasah akalbudinya melalui buku-buku berat yang setiap saat ia geluti, telanjangi sampai tuntas. Sjahrir memilih mengasah budinya dengan belajar pada alam, mencoba memahami suara hati anak-anak yang setiap saat ia bercengkrama bersama mereka. Dus, Sjahrir hanya ingin mengasah rasa cintanya terhadap kehidupan, yang menghanyutkanya dalam alunan kedamaian. Sehingga memiuh-miuh jiwanya untuk jauh dari kekerasan, dan perang. Pantas jika Sjahrir adalah anak perdamaian, yang lahir di tengah perang berkecamuk di luar Banda Neira. Lewat gagasannya melawan penjajahan melalui ”antifacism”, ”antiperang”. Walaupun mereka penjajah, meraka tak layak diberi pelajaran dengan kucuran darah, pun tak manusiawi jika anak bangsa bersembur darah melawan mereka, agaknya seperti itu yang terbetik pada kedalaman budi politik Sjahrir. Walau banyak orang yang mengolok-olok gaya perjuangan Sjahrir yang terlalu lunak terhadap penjajah. Namun, diluar dugaan di mata dunia; ia adalah bapak Indonesia yang sangup memiuh rasa kemanusian masyarakat internasional untuk kemudian mengakui ada nama sebuah bangsa ”Indonesia”—untuk meraih itu Sjahrir tanpa memangku senjata, apalagi bersembur darah.