Agama merupakan kenyataan terdekat dan sekaligus misteri terjauh. Begitu dekat karena agama senantiasa hadir dalam kehidupan sehari-hari di rumah, kantor, media massa, pasar, dan di mana pun saja kita berada.
Begitu misterius karena agama sering kali menampakkan wajah-wajah yang ambigu sekaligus janus: ia bisa memotivasi solidaritas kemanusiaan maupun kekerasan, mengilhami pencarian ilmu pengetahuan maupun menumbuhkan takhayul, menebarkan perdamaian paling hakiki maupun memekikkan peperangan paling keji. Kasus konflik dan kekerasan di Irak, Afghanistan dan Israel-Palestina, merupakan eksemplar telanjang atas misteri agama tersebut.
Terkadang kita begitu resah, gelisah, dan tak kunjung mengerti ketika menjumpai seseorang yang tampak begitu religius, rajin beribadah, dan terlihat sangat beriman kepada Tuhan, namun pada saat bersamaan bersedia melakukan tindakan kekerasan dan bahkan pembantaian terhadap manusia serta sekaligus mencari pembenaran atau mengklaim tindakan tersebut sebagai kebenaran. Sebagai contoh, kita tak begitu mengerti mengapa Amrozi, seorang santri yang tampak sangat religius dan santun, begitu tega untuk ikut andil dalam peledakan bom di Bali yang menelan banyak korban. Bahkan para teroris Bom Bali, Bom JW Marriot dan Bom Kuningan Jakarta, tampak berpenampilan tenang, saleh dan santun. Pertanyaan kita adalah mengapa kaum santri yang saleh itu melakukan praktik keberagamaan dengan wajah kekerasan tersebut? Atau Sudah sedemikian radikalkah keberagamaan itu?
Bagaimana kita dapat mengukur dan memahami keberagamaan yang ambivalen dan ambigu tersebut? Agama tentu bisa saja dipelajari dari berbagai pendekatan. Namun, dibandingkan dengan pendekatan lain (khususnya teologi), pendekatan psikologi sosial dan agama merupakan pendekatan paling manusiawi dan adil.
Pendekatan psikologis memperlakukan agama bukan sebagai fenomena “langit” yang serba sakral dan transenden, seperti yang menjadi pendekatan teologi. Pendekatan psikologis ingin sepenuhnya membaca keberagamaan sebagai fenomena yang manusiawi dan menukik ke dalam proses-proses kejiwaan yang memengaruhi perilaku kita dalam beragama. Psikologi, karena itu, memandang agama sebagai perilaku manusiawi yang melibatkan siapa saja, agama apa saja, dan di mana saja.
Sigmund Freud, bapak psikologi modern, dalam bukunya The Future of An Illusion mengatakan bahwa pada dasarnya motivasi beragama berasal dari ketakberdayaan manusia melawan kekuatan-kekuatan alamiah di luar dirinya, dan kekuatan naluriah dari dalam dirinya. Agama timbul karena manusia belum mampu mempergunakan kekuatan diri dan akalnya secara maksimal.
Agama Posesif dan Infantil
Erich Fromm, dalam bukunya Psychoanalysis and Religion, menyebutkan agama sebagai sistem yang memberikan manusia kerangka orientasi dan obyek pengabdian. Agama adalah “suatu pandangan dunia” (world view) atau cara dalam melihat dunia ini. Dua orang yang sama-sama mengaku beragama, tetapi yang satu mengalami kemandekan dalam perkembangan rohani, dan yang lainnya sampai kepada perkembangan yang matang, pasti akan mempunyai pandangan dunia yang berbeda.
Mungkin yang satu akan melihat Tuhan sebagai zat yang Maha Kuasa dan selalu menghukum umatnya yang tidak taat, seperti anak kecil yang melihat orangtuanya dalam gambaran Freud (menjadi orang yang terbelenggu dalam otoritas hukum). Yang lain mungkin melihat Tuhan sebagai simbol cermin pribadi yang harus dituju setiap manusia. Yang terakhir inilah model keberagamaan yang sehat menurut Erich Fromm.
Pola keberagamaan para teroris dan Islamis radikal saat ini cenderung jatuh pada terminologi Fromm tentang “agama posesif dan infantil”, yang menganggap kebenaran adalah property personal. Di sini agama menjadi “sesuatu yang posesif” bagi para penganutnya. Kedewasaan, kematangan, dan pola beragama yang sehat bisa kita analisa lewat dua konsepsi, yaitu: memiliki (to have) dan konsep menjadi (to be ).
Pertama, konsep memiliki (to have). Sesuatu yang diafiliasi pada kepemilikan individu, eklusif, statis dan tertutup serta disertai ketertutupannya dari probability tertentu. Singkatnya, sikap posesif dan infantil dalam konsep ini yang mengakibatkan statis, stagnan dan monoton.
Kedua, konsep menjadi (to be). Sesuatu yang menganggap terbukanya terhadap probability, inklusif dan menghargai pada pluralitas serta dinamis dalam segala hal. Singkatnya, pandangan yang sangat terbuka dan dinamis, serta humanis.
Saya kira, pola keberagamaan kita jatuh pada konsep to have (memiliki). Yang pada akhirnya agama hanya dipandang sebagai ritual-ritual saja dan mengesamping nilai-nilai kemanusiaan. Dan pola beragama seperti ini, yang menimbulkan kekerasan atas nama agama dan identitas tertentu disebabkan the other religion tidak membawa ajaran kebenaran dan membahayakan agama yang diyakininya. Kecenderungan pola ini adalah pola infantil dan sangat-sangat kekanakan, childish. Kekerasan menjadi nampak seperti perbuatan kekanak-kanakan. Lihatlah, para teroris bisa berwajah garang sekaligus “riang” dan “infantil” dalam menjalankan aksinya.
Bukan hanya itu, apa yang pernah dikeluhkan oleh Soedjatmoko dan Hatta mengenai “dekadensi budaya” kita seperti yang tampak dalam maraknya korupsi yang semakin “membudaya”, mencerminkan runtuhnya sendi-sendi dan nilai-bilai budaya maupun agama. Terbukti, negeri kita yang dikenal dengan nuansa keberagamaan (Islam) yang taat sholat, ternyata dalam kehidupan ummat Islam ini masih sarat dengan tindakan asosial dan amoral yakni korupsi yang membudaya. Nampak bahwa agama hanya sebagai ritualitas belaka, di mana telah hilang nilai-nilai humanisme yang liberatif agama dalam jiwa penganutnya.
Jika pola korupsi yang membudaya ini terus dibiarkan dan mengakar luas di di masyarakat kita, bukan tidak mungkin agama hanya topeng belaka.
Tulisan ini pernah dimuat di harian Satelit News, 14 April 2007.