Presiden Indonesia pertama, Soekarno, mengisahkan pengalaman yang menggugah ketika beliau diwisuda di Technische Hoogeschool (Sekarang Institut Teknologi Bandung). Ketika Rektor menyerahkankan ijazah insinyur kepada Bung Karno, secara mengejutkan ia berkata, “Ir Soekarno, ijazah ini suatu saat dapat robek dan hancur menjadi abu. Dia tidak abadi. Ingatlah, bahwa satu-satunya hal yang abadi adalah karakter dari seseorang.” Atas ucapan tersebut Bung Karno mengatakan, “Kenangan terhadap karakter itu akan tetap hidup, sekalipun dia mati. Aku tak pernah melupakan kata-kata ini” (Adam, 2011: 81).
Karakter adalah lukisan sang jiwa; ia adalah cetakan dasar kepribadian seseorang/sekelompok orang, yang terkait dengan kualitas-kualitas moral, ketegaran serta kekhasan potensi dan kapasitasnya, sebagai hasil dari suatu proses pembudayaan dan pelaziman (habitus). Sedemikian pentingnya nilai karakter bagi eksitensi seseorang/sekelompok orang, sehingga dalam peribahasa Inggris dikatakan, “When wealth is lost, nothing is lost; when healt is lost, something is lost; when character is lost, everything is lost.” Apapun yang dimiliki seseorang, kepintaran, keturunan, keelokan, kekuasaan menjadi tak bernilai jika seseorang tak bisa lagi dipercaya dan tak memiliki keteguhan sebagai ekspresi dari keburukan karakter.
Karakter bukan saja menentukan eksistensi dan kemajuan seseorang, melaikan juga eksistensi dan kemajuan sekelompok orang, seperti sebuah bangsa. Ibarat individu, pada hakekatnya setiap bangsa memiliki karakternya tersendiri yang tumbuh dari pengalaman bersama. Pengertian “bangsa” (nation) yang terkenal dari Otto Bauer, menyatakan bahwa, “Bangsa adalah satu persamaan, satu persatuan karakter, watak, yang persatuan karakter atau watak ini tumbuh, lahir, terjadi karena persatuan pengalaman.”
Perhatian terhadap variabel budaya terutama karakter, sebagai bagian yang menentukan bagi perkembangan ekonomi dan politik suatu masyarakat/bangsa pernah mengalami musim seminya pada tahun 1940-an dan 1950-an. Para pengkaji budaya pada periode ini, dengan sederet nama besar seperti Margareth Mead, Ruth Benedict, David McClelland, Gabriel Almond, Sidney Verba, Lucian Pye dan Seymour Martin Lipset, memunculkan prasyarat nilai dan etos yang diperlukan untuk mengejar kemajuan bagi negara-negara yang terpuruk pascaperang Dunia kedua.
Namun, seiring dengan gemuruh laju developmentalisme yang menekankan pembangunan material, pengkajian tentang budaya mengalami musim kemarau pada tahun 1960-an dan 1970-an.
Kegagalan pembangunan di sejumlah negara, setelah melewati pelbagai perubahan ekonomi dan politik, menghidupkan kembali minat dalam studi budaya sejak tahun 1980-an. Pada 1985, Lawrence Horrison dari Harvard Center for International Affairs menerbitkan buku, Underdevelopment Is a State of Mind: The Latin American Case,yang menunjukkan bahwa di kebanyakan negara Amerika Latin, budaya merupakan hambatan utama untuk berkembang.
Pentingnya variabel budaya dalam perkembangan ekonomi tampak dalam kasus negara-negara multibudaya. Sekalipun semua kelompok etnis dihadapkan pada hambatan sosial-politik dan krisis ekononomi yang sama, namun sebagian kelompok lebih berhasil dibanding kelompok lainnya. Ambillah contoh keberhasilan minoritas etnis Tionghoa di Asia Tenggara, minoritas Jepang di Brazil, Basque di Spanyol, serta Yahudi ke mana pun mereka bermigrasi.
Pentingnya variabel budaya dalam perkembangan politik ditunjukkan antara lain oleh riset yang dilakukan oleh Robert Putnam (1993) dan Ronald Inglehart (2000). Menurut Putnam, budaya adalah akar dari perbedaan-perbedaan yang besar antara Italia utara yang bercorak demokratis dan Italia Selatan yang bercorak otoritarian. Kesimpulan kedua ilmuwan tersebut mewarisi pemikiran rintisan dari Alexis de Tocqueville (1835), yang menyimpulkan bahwa apa yang membuat sistem politik Amerika berhasil adalah kecocokan budayanya dengan demokrasi.
Tentang pentingnya karakter bagi suatu bangsa, Bung Karno sering mengajukan pertanyaan yang ia pinjam sejarawan Inggris, H.G. Wells, “Apa yang menentukan besar kecilnya suatu bangsa?” Lantas ia jawab sendiri, bahwa yang menentukan besar kecilnya suatu bangsa bukanlah seberapa luas wilayahnya dan sebera banyak penduduknya, melainkan tergantung pada kekuatan tekad, sebagai pancaran karakternya.
Dalam Amanat Proklamasi, 17 agustus 1956, Bung Karno mengingatkan pentingnya bangsa memiliki kekuatan karakter yang dibangun atas dasar kedalaman penghayatan atas pandangan hidup bangsa. ”Bangsa Indonesia harus mempunyai isi-hidup dan arah-hidup. Kita harus mempunyai levensinhoud dan levensrichting. Bangsa yang tidak mempunyai isi-hidup dan arah-hidup adalah bangsa yang hidupnya tidak dalam, bangsa yang dangkal, bangsa yang cetek, bangsa yang yang tidak mempunyai levensdiepte samasekali. Ia adalah bangsa penggemar emas-sepuhan, dan bukan emasnya batin. Ia mengagumkan kekuasaan pentung, bukan kekuasaan moril. Ia cinta kepada gebyarnya lahir, bukan kepada nurnya kebenaran dan keadilan. Ia kadang-kadang kuat,–tetapi kuatnya adalah kuatnya kulit, padahal ia kosong-mlompong di bagian dalamnya.”
Bangsa yang berkarakter memiliki kepercayaan pada nilai-nilai kepribadian dan kemandirian bangsa sendiri. Dan kepercayaan ini sangat penting, karena menurutnya, “Sesuatu bangsa yang tidak memiliki kepercayaan kepada diri sendiri tidak dapat berdiri langsung. A nation without faith cannot stand.”
Beberapa puluh tahun kemudian, seorang intelektual Amerika Serikat, John Gardner, seperti mengamini pandangan Bung Karno. Beliau menyatakan, “Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika sesuatu yang dipercayainya itu tidak mengandung dimensi-dimensi moral yang dapat menopang peradaban besar “ (Gardner, 1992)
Bagi Bangsa Indonesia, dimensi moral sebagai tumpuan karakter kolektif yang dapat menopang kemajuan peradaban bangsa itu tiada lain adalah Pancasila. Dalam pandangan Soekarno dikatakan, “…Kecuali Pancasila adalah satu Weltanschauung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat mempersatu, yang saya yakin seyakin-yakinnya Bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke hanyalah dapat bersatu padu di atas dasar Pancasila itu. Dan bukan saja alat mempersatu untuk di atasnya kita letakkan Negara Republik Indonesia, tetapi juga pada hakekatnya satu alat mempersatu dalam perjoangan kita melenyapkan segala penyakit yang telah kita lawan berpuluh-puluh tahun yaitu penyakit terutama sekali, Imperialisme. Perjoangan suatu bangsa, perjoangan melawan imperialisme, perjoangan mencapai kemerdekaan, perjoangan sesuatu bangsa yang membawa corak sendiri-sendiri. Tidak ada dua bangsa yang cara berjoangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjoang sendiri, mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena pada hakekatnya bangsa sebagai individu mampunyai keperibadian sendiri. Keperibadiaan yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya dan lain-lain sebagainya” (Soekarno, 1958)
Pancasila sebagai dasar kehidupan bersama itu disarikan oleh Bung Karno pada pidato 1 Juni 1945, yang disebutnya sebagai “dasar falsafah” (Philosofische Grondslag) atau “pandangan dunia” (Weltanschauung) negara/bangsa Indonesia. Kelima sila, menurutnya, merupakan unsur “meja statis” yang menyatukan bangsa Indonesia, sekaligus Leitstar (bintang pimpinan) dinamis, yang memandu perkembangan bangsa ke depan.
Dengan semangat dasar kelima sila tersebut, negara/bangsa Indonesia memiliki pandangan dunia yang begitu visioner dan tahan banting. Prinsip-prinsip dalam Pancasila mampu mengantisipasi dan merekonsiliasikan antara paham kenegaraan radikalisme sekularis dan radikalisme keagamaan, antara paham kebangsaan homogenis dengan tribalisme atavisitis, antara kebangsaan yang chauvinis dengan globalisme triumphalis, antara pemerintahan autokratik dengan demokrasi pasar-individualis, antara ekonomi etatisme dengan kapitalisme predatoris.
Diperlukan puluhan tahun sejak perang dunia kedua bagi bangsa-bangsa lain untuk memasuki jalan tengah keemasan itu. Adapun bangsa Indonesia telah meletakkannya di titik awal berdirinya Republik. Sayang, masalah bangsa ini memang kerap pandai memulai namun gagal memelihara dan mengakhiri. Tatkala bangsa-bangsa lain mulai mengengok warisan pemikiran terbaik bangsa ini, bangsa Indonesia sendiri mulai mengabaikannya.
Alhasil, tantangan bangsa Indonesia adalah bagaimana mencetak nilai-nilai ideal Pancasila itu menjadi karakter kebangsaan, melalui pendalaman pemahaman, peneguhan keyakinan, dan kesungguhan komitmen untuk mengamalkan nilai-nilai Pancasila itu dalam segala lapis dan bidang kehidupan kenegaraan dan kebangsaan. Untuk itu, diperlukan pendekatan sosialiasi Pancasila secara lebih kreatif dan holistik, meliputi dimensi kognitif, afektif dan konatif, yang dapat mempengaruhi pola pikir, pola sikap dan pola tindak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Dalam memahami, meyakini dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila tersebut, hendaklah diingat bahwa Pancasila bukan hanya dasar statis, melainkan juga bintang pimpinan yang dinamis—yang mesti responsif terhadap dinamika perkembangan zaman. Untuk itu, Pancasila senantiasa terbuka bagi proses pengisian dan penafsiran baru, dengan syarat memperhatikan semangat dasar yang terkandung di dalamnya serta kesalingterkaitan antarsila. Maknanya, keterbukaan pengisian dan penafsiran atas setiap sila Pancasila itu dibatasi oleh prinsip-prinsip pokoknya dan oleh keharusan untuk menjaga koherensinya dengan sila-sila yang lain.
Pengamalan nilai-nilai Pancasila hanya dapat terlaksana apabila ada ketaatan dari warga negara. Ketaatan kenegaraan ini, menurut Notonagoro (1974), dapat diperinci sebagai berikut:
1.Ketaatan hukum, yang terkandung dalam pasal 27 (1) UUD 1945, berdasarkan atas keadilan legal.
2.Ketaatan kesusilaan, berdasarkan atas sila kedua Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab.
3.Ketaatan keagamaan, berdasarkan atas: sila pertama Pancasila; pasal 29 (1) UUD 1945; berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dalam alinea ketiga Pembukaan UUD 1945.
4.Ketaatan mutlak atau kodrat, atas dasar bawaan kodrat daripada organisasi hidup bersama dalam bentuk masyarakat, lebih-lebih dalam bentuk negara, organisasi hidup kesadaran dan berupa segala sesuatu yang dapat menjadi pengalaman daripada manusia. Baik pengalaman tentang penilaian hidup yang meliputi lingkungan hidup kebendaan, kerohanian dan religius; lingkungan hidup sosial ekonomis, sosial politis dan sosial-kultural.
Kunci ketaatan tersebut adalah semangat para penyelenggara negara dan komitmen warga untuk menjungjung tinggi nilai-nilai keadabaan publik berdasarkan Pancasila. Untuk itu, bukan hanya pembangunan aspek jasmaniah yang harus diperhatikan, melainkan pertama-tama justru pembangunan aspek kejiwaan. “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!” Itulah pesan dari Lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Kekayaan alam Indonesia bisa memberi kemakmuran kepada bangsa ini; namun di tangan para penyelenggara negara yang miskin jiwa, sebanyak apapun sumber kekayaan alam itu tak akan pernah mencukupi kesejahteraan warganya. Kekayaan budaya Indonesia bisa memberi sumber kemajuan peradaban kepada bangsa ini; namun di tangan para penyelenggara negara yang tak memiliki kepercayaan diri, kekayaan budaya sebanyak apapun tak akan pernah menjadi kekuatan kerohanian (karakter) bagi kemajuan bangsa. Kekayaan keragaman Indonesia bisa memberi landasan kehidupan yang rukun dan saling menyempurnakan; namun di tangan para penyelenggara negara yang kerdil, kekayaan keragaman itu menjadi sumber pertikaian dan saling mengucilkan.
Dalam kaitan ini, peringatan Wiranatakoesoema pada sidang BPUPK seperti mengantisipasi kemungkinan ini:
Pada hemat saya hal yang menyedihkan ini disebabkan karena manusia tidak atau tidak cukup menerima latihan batin, ialah latihan yang menimbulkan dalam sanubarinya suatu kekuatan yang menggerakkan ia (motive force) untuk mengenal kebenarannya dan menerima macam-macam pertanggungan jawab sebagai seorang anggota masyarakat yang aktif,…bukankah tujuan kita pro patria. Tetapi pro patria per orbis concordiam. Maka alam moral ini hendaknya kita pecahkan, karena latihan otak (intellect) saja, betapa besarnya juga, sungguh tak akan mencukupi untuk menjadikan manusia menjadi anggota masyarakat yang baik.
Dalam usaha membumikan Pancasila dari alam idealitas menuju alam realitas, kita perlu menghayati fitrah (semangat asal) bernegara seperti yang dipesankan dan dicontohkan oleh para pendiri bangsa sendiri.
Fitrah pertama adalah semangat ”menuhan” (ketakwaan kepada Tuhan). Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 terdapat sikap ”ihsan” dengan mengakui bahwa kemerdekaan Indonesia bisa dicapai ”Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Dengan pengakuan ini, menurut Bung Hatta, pemenuhan cita-cita kemerdekaan Indonesia, untuk mewujudkan suatu kehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, mengandung kewajiban moral. Kewajiban etis yang harus dipikul dan dipertanggungjawabkan oleh segenap bangsa bukan saja di hadapan sesamanya, melainkan juga di hadapan sesuatu yang mengatasi semua, Tuhan Yang Maha Kuasa.
Fitrah kedua adalah semangat kekeluargaan. Dalam pidato tentang Pancasila, 1 Juni 1945, Bung Karno menyatakan:
Kita mendirikan Negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia—semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ‘Gotong-royong’. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah Negara gotong-royong!
Fitrah ketiga adalah semangat keikhlasan dan ketulusan. Dalam mengambil keputusan yang sulit, seperti dalam menentukan bentuk negara (uni, federasi atau konfederasi), para pendiri bangsa di BPUPK terlebih dahulu mengheningkan cipta seraya memanjatkan do’a agar keputusan yang diambil dilandasi maksud yang suci dan diterima dengan hati yang murni dengan penuh keikhlasan.
Fitrah keempat adalah semangat pengabdian dan tanggung jawab. Dalam membincangkan hukum dasar, Muhammad Yamin mengingatkan, ”Saya hanya minta perhatian betul-betul, karena yang kita bicarakan ini hak rakyat. Kalau ini tidak terang dalam hukum dasar, maka ada kekhilafan daripada grondwet; grondwettelijke fout, kesalahan perumusan Undang-Undang Dasar, besar sekali dosanya buat rakyat yang menanti-nantikan hak daripada republik.”
Fitrah kelima adalah semangat menghasilkan yang terbaik. Menanggapi Soepomo, yang menyatakan bahwa tidak bisa dibentuk hukum dasar yang sempurna di masa perang, Soekarno mengingatkan, ”Saya peringatkan tentang lamanya perang kita tidak tahu, barangkali satu bulan barangkali lebih lama dan jikalau hukum dasar kurang sempurna, lebih baik didekatkan pada kesempurnaan.”
Fitrah keenam adalah semangat keadilan dan kemanusiaan. Dalam Pancasila, kata ‘keadilan’ ditonjolkan dengan menempatkannya di dua sila sekaligus. Pada sila kedua, keadilan dijadikan landasan nilai perjuangan kemanusiaan; pada sila kelima, keadilan itu dijadikan tujuan perjuangan. Bung Hatta mengingatkan: “Camkanlah, negara Republik Indonesia belum lagi berdasarkan Pancasila, apabila Pemerintah dan masyarakat belum sanggup mentaati Undang-Undang Dasar 1945, terutama belum dapat melaksanakan pasal 27, ayat 2, pasal 31, pasal 33 dan pasal 34.”
Fitrah ketujuh adalah semangat kejuangan. Dalam pandangan Bung Hatta, sebuah bangsa tidaklah eksis dengan sendirinya, melainkan tumbuh atas landasan suatu keyakinan, sikap batin yang memancarkan etos kejuangan yang perlu dibina dan dipupuk sepanjang masa. “Bagi kami, Indonesia menyatakan suatu tujuan politik, karena dia melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air pada masa depan dan untuk mewujudkannya, setiap orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”
Fitrah dasar kehidupan bernegara itu perlu dihidupkan sebagai tenaga batin dan prasyarat moralitas yang dapat mengangkat marwah bangsa dari kerendahannya. Dalam peringatan Isra Mi’raj 7 Februari 1959, Soekarno mengingatkan:
Tidak ada suatu bangsa dapat berhebat, jikalau batinnya tidak terbuat dari nur iman yang sekuat-kuatnya. Jikalau kita bangsa Indonesia ingin kekal, kuat, nomor satu jiwa kita harus selalu jiwa yang ingin Mi’raj—kenaikan ke atas, supaya kebudayaan kita naik ke atas, supaya negara kita naik ke atas. Bangsa yang tidak mempunyai adreng, adreng untuk naik ke atas, bangsa yang demikian itu, dengan sendirinya akan gugur pelan-pelan dari muka bumi (sirna ilang kertaning bumi).
Demikianlah, para pendiri bangsa mewariskan kepada kita semangat, alasan, dan tujuan perjuangan kebangsaan sedemikian terang dan luhurnya. Kehilangan terbesar dari bangsa ini bukanlah kemerosotan pertumbuhan ekonomi atau kehilangan pemimpin, melainkan kehilangan karakter dan harga diri, karena diabaikannya semangat dasar kehidupan bernegara. “Aib terbesar,” kata Juvenalis, “ketika kamu lebih mementingkan kehidupan ketimbang harga diri, sementara demi kehidupan itu sendiri engkau telah kehilangan prinsip-prinsip kehidupan.”
Membumikan Pancasila sebagai pantulan cita-cita dan kehendak bersama, mengharuskan Pancasila hidup dalam realita, tak hanya jadi retorika atau verbalisme di pentas politik. Karena itu, rejuvenasi Pancasila harus dilakukan dengan cara mengukuhkan kembali posisinya sebagai dasar falsafah negara, mengembangkannya ke dalam wacana ilmiah, mengupayakan konsistensinya dengan produk-produk perundangan, koherensi antarsila, dan korespondensi dengan realitas sosial, dan menjadikannya sebagai karya, kebanggaan dan komitmen bersama.
Marilah kita muliakan nilai-nilai Pancasila sebagai kunci kemajuan bangsa. Kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi. Pengalaman menjadi Indonesia menunjukkan bahwa spirit perjuangan memiliki kemampuan yang tak terbatas untuk menghadapi berbagai rintangan karena adanya harapan. Kemarahan, ketakutan dan kesedihan memang tak tertahankan, tetapi sejauh masih ada harapan semangat tetap menyala.
Harapan yang positif bukanlah khayalan kosong, melainkan harapan yang berjejak pada visi yang diperjuangkan menjadi kenyataan. Harapan tanpa visi bisa membawa kesesatan. Upaya menyemai politik harapan harus memperkuat kembali visi yang mempertimbangkan warisan baik masa lalu, peluang masa kini, dan keampuhannya mengantisipasi masa depan. Dalam kerangka itulah, penggalian kembali nilai-nilai luhur Pancasila dengan mempertimbangkan rasionalitas dan aktualisasinya dalam mengatasi masalah kekinian adalah cara tepat untuk mentransformasikan ketakutan menjadi harapan.
Indonesia adalah satu-satunya negeri di muka bumi yang menyebut negerinya dengan ‘tanah air’. Selama masih ada lautan yang bisa dilayari, dan selama masih ada tanah yang bisa ditanami, selama itu pula masih ada harapan. Selamat berjuang! Ingatlah pesan Bung Karno, ijazah boleh robek dan hancur, tetapi karakter Pancasila tak boleh lekang. Itulah modal permanen bagi kehidupan dan kemajuan!
Tulisan ini pernah diterbitkan di rubrik Resonansi harian Republika, 17 September 2014.