Bayang-bayang Fanatisisme

1468

cover-buku_di-bawah-bayang-bayang-fanatisismeBuku Bayang-bayang Fanatisisme (2007) merupakan kelanjutan dari wacana terapi kejut yang dilakukan Nurcholish Majid (Cak Nur). Para penulis, terutama Yudi Latif, untuk ketiga kalinya, sesudah Pak Natsir, Cak Nur, mengungkapkan kembali peradaban Islam pada masa kejayaannya dari abad ke-9 hingga ke-11 M.

Yang menarik dari tulisan Yudi adalah pertama, pada masa kejayaan Islam abad pertengahan itu mungkin saja demokrasi tidak ada, karena pemerintahan Islam dikuasai teokratisme yang bercampur dengan feodalisme. Namun, hak-hak sipil (civil right), yaitu kebebasan beragama, kebebasan berpikir dan kebebasan berekspresi ditegakkan. Itulah, kata cendekiawan Muslim generasi muda itu, ciri masyarakat madani. Ia merasa tidak pasti apakah masyarakat madani itulah yang menciptakan kebebasan sipil (civil liberty), atau kebebasan sipil itu yang membentuk masyarakat madani. Agaknya Yudi ingin mengatakan bahwa keduanya itu saling membentuk.

Kedua, keadaan dewasa ini di dunia Islam adalah seperti yang disebut Fareed Zakaria, yaitu illiberal democracy atau demokrasi tuna hak-hak sipil. Demokrasi memang ada di Indonesia dan di beberapa negara Islam seperti Mesir, Pakistan, atau Aljazair. Tapi yang tak ada, paling tidak berada dalam ancaman serius adalah kebebasan sipil. Negara seperti Mesir saja, yang merupakan pelopor pembaharu dunia Islam, dewasa ini memasuki tahap pengafiran di era pemikiran. Menurut catatan Assyaukanie, beberapa tokoh besar telah mengalami pengafiran atau pemurtadan seperti Faraq Fauda, Nashr Hamid Abu Zayd, Nawal el Sadawi, dan Najib Mahfudz. Di Indonesia, seorang muda Moh. Shofan, baru-baru ini dipecat sebagai dosen oleh Universitas Muhammadiyah Gresik, atas desakan PDM Gresik, hanya karena tulisannya mengenai Salam Natal yang diharamkan MUI itu.

Hak-hak sipil di Indonesia juga terancamoleh perda-perda syariat. Perjuangan menegakkan syariat telah dituduh sebagai penyeragaman budaya, arabisasi, dan teokratisme. Sesungguhnya, kesemua itu menunggangi demokrasi. Kelompok konservatif itu mengendarai demokrasi untuk meruntuhkan demokrasi dan hak-hak sipil yang dijamin UUD 1945. Kondisi itu, kata Kautsar Azhari Noer, Yudi Latif, dan Assyaukanie sangat kontras dengan peradaban Islam abad pertengahan yang wacananya coba dihidupkan kembali Mulyadhi Kartanegara.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.