”Dalam arti yang sangat nyata saya sadar bahwa kegagalannya (Sjahrir) dalam politik menandakan kebesarannya sebagai seorang manusia…”
—Soedjatmoko, 1966—
Sjahrir adalah satu di antara tujuh mercusuar revolusi Indonesia. Ia berada sejajar dengan Soekarno, Hatta, Sjahrir, Amir Sjarifoeddin, Tan Malaka, Sudirman, dan A.H. Nasution. Tentu ketujuh mercusuar revolusi ini memiliki ”pijar” yang berbeda; bahkan juga memiliki titik api kebangsaan yang berbeda, kadang tampak bertolakan—namun tetap berpacu, mendaki menuju satu puncak yaitu Indonesia. Demikian diakui sebagai mozaik revolusi, dinamika yang kaya dalam tubuh Indonesia. Pasalnya, dalam satu zaman, bangsa ini mampu melahirkan 7 orang tokoh besar yang mampu merubah dunia.
Sjahrir itu zaman yang melampaui. Lukisan ini merupakan guratan pemikiran Sjahrir jika di banding dengan tokoh bangsa lainnya; terlalu melampaui, menembus tapal batas di zaman ia hidup. Pasalnya, ketika Soekarno dan rakyat larut dalam ”gempita” nasionalisme; terpaku dalam bara ”persatuan” untuk mematahkan rahang penjajah. Tidak bagi Sjahrir. Nasionalisme bukanlah satu-satu ”ajimat’ untuk menyulut kemerdekaan. Baginya yang penting kemerdekaan itu adalah ruang ”demokrasi” dimana rakyat bebas bertutur tentang dirinya. Jika tidak demikian, percuma karena nasionalisme hanya akan menyulut ”feodalisme” kemudian sublim menjadi ”totalitarianisme”.
Cermin Sjahrir
Sungguh Sjahrir meninggalkan cermin, layak untuk digayutkan dalam kehidupan berbangsa saat ini, agar cermin Sjahrir itu memberikan ”keleluasaan” bagi ”kita” menyingkirkan kutu-kutu yang telah terlalu renta untuk menghisap ruh kebangsaan Indonesia. Mereka adalah elit, aktor atau siapa saja yang engan belajar pada keluhuran etika berbangsa yang pernah diajarkan oleh Sjahrir kepada bangsa ini.
Jika Soekarno bergelora mengatakan ”Nasionalisme Indonesia, bukan nasionalisme yang timbul dari kesombangan”, ”bukan nasionalisme yang menyerang-nyerang”, karena nasionalisme kita adalah nasionalisme ”ketimuran”. Namun faktanya, Soekarno pernah ”bablas” menyeret-nyeret nasionalisme untuk ”menganyang” Malaysia. Tetapi tidak demikian bagi Sjahrir. Baginya nasionalisme adalah proyeksi kejiwaan dari semangat rendah diri dalam sikap kolonial antara penjajah dan kaum terjajah. Agaknya benar. Karena memang ”nasionalisme” tidak lebih hanya sebagai ”bedil” perjuangan untuk menakut-nakuti musuh. Karenanya, bukan nasionalisme yang penting, tapi kebangsaan yang bertelekan pada demokrasi, sehingga melahirkan siluet perilaku yang terbuka, pluralis, dan humanis. Sjahrir rengkuh dalam gerakan nasionalismenya yang khas ”antifasisme”, ”anti perang”.
Jika pun kita terlanjur mensakralkan nasionalisme, maka nasionalisme itu mesti dikontekstualisasikan. Jika tidak, zaman akan melindas nasionalisme itu, hingga menjadi ”pipih”, kerempeng untuk kemudian layu dimakan rayap zaman. Nasionalisme agaknya berfungsi merawat identitas kebangsaan, agar ia selalu mengikat setiap warga dalam tindakan yang damai, tenang, jauh dari bersikap barbarian, ataupun binal. Melalui silet Sjahrir ini, kini ketika bangsa ”lebam” oleh anarkisme, binalitas politik; itu tak lebih melainkan karena redupnya pencahayaan berpolitik untuk kebangsaan, semakin jauh bertindak untuk kebersamaan. Tak salah jika Kata Daniel Dhakidae mengambarkan ”Bilamana dia hidup lebih lama lagi, dia pun akan menyaksikan bahwa apa yang ditakutinya pada 1934 mendapat kepenuhan dengan intensitas berlipat-ganda 30 tahun kelak dalam Orde Baru, yang selama 40 tahun mengerjakan neofasisme militer, yang tidak saja menguasai, tapi demi nafsu kesatuan, juga memporakporandakan bangsa ini”.
Kematangan Ideologi
Sjahrir sebagaimana ketiga sahabatnya, Bung Hatta, Tan Malaka, M. Natsir; adalah manusia matang. Maknanya, matang bukan dalam hal usia, tetapi matang dalam hal ideologi—tak silau ketika elit pada zamannya berkecamuk berebut jatah setelah kemerdekaan. Bayangkan bagaimana heroiknya ketika Bung Hatta disela pengunduran dirinya dari wakil presiden berkata enteng ”demi kepentingan bangsa”. Demikian jua agaknya Sjahrir, penjara pada zaman demokrasi terpimpin tak membuat ia lari dari mencintai Indonesia. Penjara tak mampu membuat cintanya kupak berderai untuk bangsa. Kenapa demikian? Hanya orang yang matang ideologinya yang mampu merawat kecintaannya terhadap bangsa. Kebalikannya, hanya akan ada parasit, hantu-hantu materalisme berburu kuasa untuk kesenangan jika ideologi pupus dalam jiwa para aktor politik, ataupun guru bangsa.
Bung Kecil ini pada zamannya kerap diasingkan, bahkan nyaris tak digubris; karena itu ia pernah tercabik-cabik kesedihan untuk kemudian ia tumpahkan dalam kalimat ” Aku relatif kurang populer di kalangan orang-orang nasionalis dan intelektual di Indonesia. Ini untuk sebagian besar disebabkan karena aku mempunyai apa yang disebut mereka itu ”kecenderungan-kecenderungan Barat” dan beberapa orang malahan mengatakan aku ”kebelanda-belandaan” (Banda Neira, 9 Maret 1936). Walau demikian, kesedihannya ini tak cukup kuat merampas rasa cintanya untuk Indonesia.
Jika hal yang sama terjadi pada manusia-manusia Indonesia, yang hidup zaman sekarang barangkali mereka telah mencabik-cabik Indonesia lantaran marah. Bahkan tidak diperlakukan demikianpun, tak jarang perilaku ”kita” juga mencabik, mengoyak bangsa ini. Mekarnya politik intimidasi, mengeruyaknya skandal korupsi—menandakan betapa ”kita” tak matang dalam ideologi. Setiap petak sosial, entah ekonomi, terlebih politik hanya dijadikan jalan untuk berkuasa dan kemudian membangun relasi hegemonik, yang sangat disumpahi oleh Sjahrir.
Adakah ”kita” sangup mencintai Indonesia sedalam cinta Sjahrir, walau ia dipenjara oleh bangsanya sendiri? Adakah ketika ”kita” kaya lantaran diberi penghidupan oleh bangsa ini, akan mampu mencurahkan ”cinta” untuk bangsa bukan untuk individu? Jika sangup silahkan! Melangkah ke Senayan. Sebagai khatimah mari sejenak merenungi ujaran Sjahrir dan semoga menjadi ”cermin” bagi pecandu politik. Kata Sjahrir ”Politik untuk orang-orang kita di sini bukan berarti: perhitungan, melainkan bertindak etis, berbuat dan bersikap moral tinggi. Pemimpin-pemimpin haruslah pahlawan-pahlawan, nabi-nabi”. Teologi politik Sjahrir ini terasa kian mendesak dihayati oleh politikus ”kita” yang berperang berebut tahta di kebisingan pemilu 2009 ini. Semoga!