Cerdik, Bukan Auto-Baik

Arif Susanto, Analis pada Exposit Strategic

865
Ilustrasi/Kompasiana.com

“Apakah Jokowi itu orang yang baik?” Selain bukan hal sederhana untuk dijawab, pertanyaan tersebut telah berkontribusi membelah publik dalam menyikapi posisi politik Jokowi berkenaan proses maupun hasil legislasi yang kontroversial belakangan ini. Meskipun nyaris bersepakat bahwa DPR berkinerja buruk dan minim itikad baik, publik cenderung terbelah dalam melihat sosok Jokowi.

Lihat saja kasus revisi UU MD3. Nyaris tidak ada suara sumbang dalam paduan suara publik untuk beramai-ramai mengecam ambisi partai-partai penghuni DPR untuk bancakan mendistribusikan kuasa di antara mereka sendiri. Dapat dipandang sebagai salah satu harga rekonsiliasi antarelite pascaPemilu, pengesahan UU tersebut hanya memperteguh persepsi lama publik tentang DPR yang perhatiannya lebih memusat pada diri mereka sendiri.

Situasi berbeda kita dapati dalam revisi UU KPK, yang memperoleh dukungan sedikit lebih besar publik dibandingkan proporsi penolakan terhadapnya. Selain berkeyakinan bahwa revisi tersebut akan memperkuat KPK, sebagaimana direkam survei KOMPAS 16/9/2019, sebagian besar publik juga yakin bahwa Jokowi berkomitmen mempertahankan dan memperkuat KPK. Kelompok pendukung ini berselisih paham dengan mereka yang kontra, menimbang potensi pelemahan pemberantasan korupsi yang diidap oleh undang-undang tersebut.

Tentu saja kita tidak dapat menafikan hasil kerja para buzzer, yang telah mengaduk-aduk opini terutama warganet, yang juga terbelah antara mendukung dan menolak revisi tersebut. Para tukang dengung itu juga berjasa secara umum menjaga persepsi positif sebagian publik terhadap Jokowi, yang sulit tergerus walaupun terdapat sejumlah beleid bermasalah.

Pada masa kampanye Pemilu lalu, narasi tentang ‘orang baik’ juga didengungkan untuk menghasilkan dukungan suara besar bagi Jokowi. Tidak sekadar ditempelkan pada kebijakan-kebijakan populisnya, narasi tersebut juga dilekatkan dengan potret keseharian Jokowi yang dikesankan tidak berjarak terlampau jauh dibandingkan kehidupan rakyat jelata dan keluarga mereka.

Kisah sukses public relations tersebut sulit dipisahkan dari langkah politik Jokowi yang kerap berhasil, pada tataran tertentu, untuk mengisolasi dampak buruk kebijakannya. Dalam berbagai bencana dan kerusuhan, Jokowi hadir secara fisik untuk mengesankan kepedulian, meskipun sebaliknya mungkin hal itu tidak tercermin dalam lambannya penanganan masalah. Gambar-gambar Jokowi mengekspresikan wajah prihatin tampak berbicara jauh lebih kuat dibandingkan ketidakmampuan pemerintah menuntaskan penyelesaian masalah.

Namun, bukankah Jokowi menarik perhatian publik karena pendekatannya yang cenderung informal dan anti-pencitraan? Dalam ekspresinya, Jokowi memang menunjukkan wajah berkebalikan dibandingkan SBY.

Di balik itu, yang kerap diabaikan orang adalah bahwa “anti-pencitraan merupakan suatu bentuk pencitraan itu sendiri”. Jadi, segala macam tampilan hingga ekspresi yang mengesankan anti-pencitraan itu adalah suatu skenario bentukan untuk mendukung pemasaran politik Jokowi, sebagaimana dulu berhasil mendudukkan SBY sebagai presiden selama dua periode.

Berikutnya, Jokowi juga sadar bahwa mempertahankan kekuasaan bukanlah perkara gampang. Rongrongan oposisi nyaris tak kenal ampun untuk menguarkan kritik, kampanye negatif, hingga fitnah tak berdasar. Berhadapan dengan itu, Jokowi semakin paham untuk memainkan ritme kapan harus memukul dan kapan harus merangkul. Dua strategi ini dimainkan secara bergantian dan menghasilkan efek simultan pada bertahannya kekuasaan Jokowi.

Yang menarik adalah bahwa ketika tekanan oposisi semakin kasar, Jokowi semakin banyak merekrut bintang-bintang binaan Orde Baru. Kehadiran mereka bukan hanya memberi rasa aman Jokowi dari tekanan oposan, tetapi juga menyelamatkan Jokowi dari kesan buruk sebagai “raja tega”.

Jokowi lebih suka membiarkan anak-anak emas Orde Baru tersebut untuk mengambil “pekerjaan kotor”, yang membuat pandangan negatif publik terisolasi tanpa mampu menjangkau terlalu jauh reputasi Jokowi. Selebihnya, Jokowi nyaris selalu mampu menemukan sinar terang dan sorotan kamera ketika dia berusaha merangkul lawan.

Konsekuensi dari itu semua adalah bahwa citra politik Jokowi masih terjaga. Penilaian umum para pendukung Jokowi mengesankan bahwa pada dasarnya Jokowi adalah orang baik, yang dikelilingi oleh orang-orang jahat. Termakan segala model propaganda, para hardliners tersebut bahkan tidak mampu menggugat secara kritis “bagaimana mungkin orang baik dapat merekrut pembantu-pembantu yang begitu jahat?”

Dibandingkan mendekati pertanyaan “apakah Jokowi itu orang baik?” secara etis, saya lebih suka menunjukkan bahwa secara politis, Jokowi itu cerdik. Buktinya, dia bisa bertahan di pucuk kekuasaan di tengah tekanan bertubi-tubi. Namun, cerdik (setidaknya bagi saya) bukanlah suatu sematan etis serupa baik/jahat. Dihadapkan pada pilihan dicintai atau ditakuti, Jokowi secara pragmatis dan fungsional memilih bintang-bintang lulusan Orde Baru sebagai the beast, yang turut menyelamatkan reputasinya sebagai orang baik.

Komplikasi ini jelas tak bisa disederhanakan lewat gambaran ‘orang baik dikelilingi orang jahat’. Yang jelas, di tengah bermunculannya terlalu banyak persoalan dan terlalu sedikit jawaban, Jokowi bukanlah figur yang tidak punya kontribusi kesalahan. Melihat pendekatan yang diambil pemerintah untuk menangani protes massa dan pandangan kritis, saya justru meragukan komitmen demokrasi yang kerap ditegaskan Jokowi itu.

Tulisan ini pernah dipublikasi di laman www.geotime.co.id pada Minggu, 6 Oktober 2019.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.