Hakikat demokratisasi adalah terbukanya ruang partisipasi bagi masyarakat. Namun, era keterbukaan ini hingga kini masih direspon oleh partai politik dan elit, bukan oleh warga negara seluruhnya. Partisipasi masyarakat hanya merupakan sesuatu yang diwajibkan atau diarahkan dan bahkan dipaksakan. Wajar saja kiranya, bila partisipasi itu hanya memenuhi hajat elite untuk berkuasa, bukan usaha pemenuhan hak-hak rakyat. Setidaknya fakta inilah yang terkuak dalam perbincangan singkat Sunaryo dari PSIK dengan M. Dawam Rahardjo, Rabu, 29 April 2009 lalu. Berikut petikan wawancaranya.
Refleksi atas perjalanan reformasi dalam satu dekade, bagaimana menurut mas dawam melihat persoalan kebebasan berkeyakinan, berpendapat, sudahkah ada prestasi yang membanggakan atau masih banyak tantangan dihadapi?
Sejak awal abad 21 kita memasuki era baru yaitu era demokratisasi. Hanya saja era demokratisasi ini baru direspon oleh partai politik, belum direspon oleh warga negara. Seharusnya civil society juga melakukan respon terhadap proses demokratisasi ini, karena hakikat dari demokratisasi adalah partisipasi dari rakyat. Dan salah satu bentuk partisipasi itu adalah hak memberikan pendapat.
Proses partisipasi ini juga bukan hanya sekadar memilih pemimpin. Sekarang, partisipasi ini lebih di arahkan kepada memilih pemimpin untuk membentuk kekuasaan, belum kepada pemenuhan hak-hak rakyat
Bisa dikatakan dengan pernyataan mas Dawam itu, kebebasan yang kita raih selama 10 tahun terakhir ini hanya dinikmati oleh kelompok elit, sementara masyarakat belum menikmati hal itu.
Kebebasan itu juga dinikmati oleh para pengusaha yang berusaha untuk mengakses kekuasaan demi kepentingan perkembangan usaha mereka. Selama ini, misalnya ketua partai Golkar pengusaha; ketua PAN pengusaha, di dalam Golkar pun ada pengusaha seperti Surya Paloh dan lain sebagainya. Saat ini pengusaha-pengusaha mulai men-caleg-kan diri untuk bisa memperoleh akses kekuasaan. Sementara rakyat sendiri hanya dimobilisasi saja. Mereka masih menjadi objek dan semuanya mengatasnamakan rakyat, tapi rakyatnya sendiri belum melakukan partisipasi.
Sebenarnya, yang seharusnya mempelopori bergerak atau meresepon itu adalah civil society, sama halnya mengenai kebebasan beragama. Sekarang ini kelompok-kelompok agama sering ditindas oleh pemerintah,dan mereka tidak bisa berbuat apa-apa, seperti aliran Ahmadiyah dan aliran-aliran ke-agamaan yang lain, itu muncul deras pada akhir-akhir ini, mereka dibatasi dan dicegah.
Bila demokrasi atau Kebebasan berpendapat 10 tahun terakhir itu hanya dinikmati kelompok elite, menurut Mas Dawam, seharusnya apa yang bisa dilakukan? Bukankan civil society juga terkadang didominasi oleh kalangan elit. Nah bagaimana demokrasi itu bisa dinikmati oleh kalangan bawah?
Sebetulnya, yang paling aktif itu organisasi keagamaan. Juga partisipasi soal demokrasi itu menurut hemat saya adalah partisipasi ekonomi, memang sekarang ini sudah nampak partisipasi masyarakat dalam ekonomi. Sekarang ini ada proses demokratisasi ekonomi. Dan ini atas inisiatif masyarakat itu sendiri, walaupun mereka tidak memperoleh dukungan dari negara. Yang terjadi justru banyak dihambat negara, tidak diberi kesempatan atau tidak difasilitasi oleh negara. Misalnya, ada usaha rakyat yang hendak mendirikan koperasi listrik desa, itu dicegah dan diambil alih oleh PLN.
Kembali kepada soal kebebasan berkeyakinan, khususnya mengenai penyelesaian kasus Ahmadiyah. Menurut pandangan Mas Dawam sendiri, apa yang sudah diputuskan oleh pemerintah sudah sesuai dengan harapan atau masih banyak keganjilan?
Apa yang diputuskan pemerintah ini bersifat dualistis. Jadi pemerintah itu cari selamat, meski ternyata memberi sumbangan terhadap penghentian tindakan kekerasan terhadap Ahmadiyah. Hanya saja Ahmadiyah masih belum bisa bergerak. Kampus Mubarak milik Ahmadiyah di Parung belum bisa dibuka. Begitu juga Ahmadiyah di Lombok dan Kuningan, hingga kini mereka masih dikucilkan. Seharusnya Ahmadiyah itu dimasukan ke dalam majelis ulama, tapi ini dicegah dan disingkirkan. Jadi elite-elite lama masih memanipulasi untuk kepentingan bagi-bagi kekuasaan.
Mencari satu sistem yang bisa mengelola keragaman bukanlah hal mudah. Jika kita berbicara soal peran negara, bagaimana seharusnya negara itu berpoisisi ketika mengahadapi keragaman?
Menurut hemat saya, negara ini kurang memahami konstitusi dan kurang menyadari apa yang disebut dengan hak asasi manusia (hak-hak sipil). Negara hanya memeperlihatkan kekuasaannya namun tidak memperhatikan kewarganegaraan. Padahal HAM sudah dimasukan ke dalam undang-undang tapi sayangnya undang-undang itu belum dijalankan. Mereka tidak mengerti hak-hak sipil seperti hak kebebasan beribadah. Begitu juga dengan banyak agamawan, mereka sama sekali tidak faham apa yang dimaksud dengan hak-hak sipil.
Kasus mengenai pemilu misalnya, para ulama (dalam MUI) lebih melihat tindakan memilih sebagai kewajiban. Padahal sebenarnya itu adalah hak, namun pemerintah menghasut majelis ulama untuk membuat fatwa bahwa memilih adalah wajib dan golput itu haram. Menurut saya itu tidak benar. Seharusnya MUI membuat jarak dengan negara, agar kerjanya bisa efektif. Namun itu sulit, karena MUI dibiayai oleh negara.
Terima kasih Mas atas waktunya.