Saudaraku, pendefinisi utama pemuda itu bukanlah usia, melainkan situasi mental kejiwaan (state of mind). Menulis di majalah Bintang Hindia Nomor 14 (1905: 159), Abdul Rivai mendefinisikan ”kaum muda” sebagai rakyat Hindia (yang muda atau tua) yang tak lagi bersedia mengikuti aturan kuno, tetapi berkehendak memuliakan harga diri bangsanya melalui pengetahuan dan gagasan kemajuan.
Dalam ungkapan Samuel Ullman, ”Pemuda bukanlah persoalan lutut yang lentur, bibir merah, dan pipi berona kemerahan; melainkan masalah tekad, kualitas imajinasi, kekuatan emosi; kesegaran musim semi kehidupan.”
Baca juga: Peranan Inteligensia dalam Membangun Keindonesiaan
Tengoklah Sumpah Pemuda. Yang terpancar di sana adalah tekad dan visi “muda”. Komitmen untuk secara sungguh-sungguh memperjuangkan gagasan baru demi kebaikan hidup kebangsaan.
Penanda penting yang mewarnai Kerapatan Besar Pemuda Indonesia (KBPI) II, 28 Oktober 1928, adalah penggunaan bahasa Melayu-Indonesia sebagai bahasa kongres. Suatu trajektori baru dalam kesadaran nasional, ditandai oleh penarikan batas antara dunia penjajah dan terjajah lewat tanda perbedaan bahasa.
Akan tetapi, pemancangan tanda baru itu bukanlah perkara mudah. Bagi pemuda-pelajar terdidik dalam persekolahan bergaya Eropa, penggunaan bahasa Indonesia membawa kesulitan yang serius: menimbulkan kegagapan bagi pembicara dan kebingungan bagi pendengar. Sebagian peserta yang mencoba berbhs Indonesia gagal dan terpaksa menggunakan bahasa Belanda.
Salah seorg yang gagal itu adalah Siti Soendari, perwakilan Poetri Indonesia. Namun, komitmen kebangsaan membangkitkan tekad untuk menaklukkan segala kesulitan. Hanya selang dua bulan sejak peristiwa itu, Siti Soendari secara heroik sanggup berpidato dalam bahasa Indonesia pada Kongres Perempuan Indonesia di Yogyakarta, 22-25 Desember 1928.
Baca juga: Sumpah Pemuda dan Solidaritas Kebangsaan Indonesia
Visi pemuda itu adalah kesegaran dan keluasan. Keluasan horizon imajinasi kebangsaan yang mengatasi kesempitan ikatan-ikatan primordial. Segala kesempitan dan keragaman dipersatukan ke dalam samudera keindonesiaan dengan ikrar yang mengakui tumpah darah satu, bangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan.
Manakala negara mengalami kelesuan daya juang, pertikaian identitas, kejumudan visi dan kemandegan gerak maju, saatnya pandu muda kembali mendobrak.