Tugas terberat seorang presiden, ujar Lyndon B Johnson, bukanlah mengerjakan apa yang benar, melainkan mengetahui apa yang benar. Untuk mengetahui apa yang benar, sebelum seseorang menjadi presiden/wakil presiden, pertama-tama ia harus memahami panduan fundamental bernegara berlandaskan dasar negara dan konstitusi. Selanjutnya, harus menguji ketepatan visi dan misinya lewat adu argumentasi dalam perdebatan publik.
Lewat perdebatan publik, visi-misi dan program yang ditawarkan setiap kandidat menemukan momen pengasahan. Lewat proses saling gosok dalam serangkaian adu argumentasi, kritik, dan kontra kritik, hal-hal yang tadinya dianggap sudah benar dan sudah selesai menemukan sanggahan atau perspektif lain dari pihak lawan. Dengan itu, ada kesempatan untuk meluaskan dan menjernihkan pemahaman serta menyempurnakan sisi-sisi kelemahan yang sebelumnya tidak disadari. Maka, apabila saatnya terpilih menjadi presiden, ia sudah relatif tahu apa yang benar, yang menanti eksekusi secara benar.
Lebih dari itu, dengan ajang perdebatan yang baik, setiap kandidat menemukan momen unjuk kualitas diri di hadapan publik pemilih. Bukan hanya kualitas gagasan dan argumentasi, melainkan juga kualitas karakter kepemimpinan. Yang ditunjukkan bukan saja konfidensi atas apa yang dikuasainya, melainkan juga cara bereaksi terhadap pertanyaan yang tidak dikuasainya. Dalam tensi perdebatan yang menguras emosi, seorang pemimpin diuji kemampuannya untuk membawakan diri serta daya persuasinya dalam memenangi hati rakyat.
Daya persuasi merupakan titik esensial bagi pucuk pimpinan tertinggi. Seorang presiden bukanlah seorang CEO dalam perusahaan dengan tugas-tugas teknis manajerial, melainkan seorang chief political officer yang bertugas untuk menetapkan sejumlah prioritas kebijakan publik. Untuk itu, kecakapan teknis tidak terlalu dibutuhkan, karena dalam eksekusinya, presiden akan dibantu oleh kabinet, deretan staf lain, serta dukungan birokrasi pemerintah. Kualitas yang lebih esensial dalam mengemban tugasnya menetapkan prioritas kebijakan publik adalah kemampuannya untuk meyakinkan serta memersuasi rakyat dengan mutu argumentasi dan retorika.
Meminjam pandangan Bung Karno, seorang pemimpin politik harus mampu membujuk rakyat untuk mengenali arah perjuangan yang dituju, mampu membangkitkan keyakinan rakyat bahwa mereka mampu mencapai tujuan tersebut, serta bisa mendorong rakyat bertindak menggapai tujuan yang telah ditetapkan. Semua itu bertalian erat dengan kemampuan argumentasi dan persuasi yang bisa diperlihatkan dalam proses perdebatan.
Untuk itu, ajang perdebatan harus dilaksanakan secara tepat guna, bukan sekadar acara seremonial demi memenuhi prosedur formal belaka. Acara debat presiden juga bukan ajang menyelamatkan muka calon pemimpin sehingga daftar pertanyaan harus dibocorkan terlebih dahulu.
Untuk itu, acara debat yang baik harus memenuhi sejumlah persyaratan. Pertama, perdebatan yang baik memerlukan adanya proposisi yang jelas mengenai isu spesifik sehingga bisa memancing adu argumentasi. Topik yang ditetapkan jangan terlalu melebar, yang cuma menjadi ajang para kandidat untuk obral janji. Perdebatan harus mendorong kandidat untuk berani menawarkan sejumlah prioritas kebijakan publik yang menyasar rantai terlemah dalam mengatasi masalah publik.
Ambisi para kandidat untuk menyelesaikan segala masalah sekaligus berisiko menangguk kegagalan di semua lini. Menentukan fokus memang memerlukan keberanian guna menghadapi pihak-pihak yang merasa terabaikan. Namun, ada risiko besar bagi presiden terpilih yang terlalu obral janji, menyenangkan segala kalangan demi mencari jalan aman: peluang lewat, momentum lenyap, janji tinggal janji dengan sinisme yang menguat.
Selain itu, dalam perdebatan harus ada konfrontasi sehingga setiap kandidat harus punya kesiapan adu argumen. Kalau tidak ada konfrontasi, apalagi saling mendukung sesama kontestan, esensi perdebatan hilang.
Dalam kaitan ini, moderator dalam acara debat bukan sekadar pengatur lalu lintas bicara, tetapi harus memiliki pemikiran yang baik tentang isu-isu spesifik yang menjadi bahan perdebatan, yang kemudian di- kemukakan dalam suatu pertanyaan yang tajam. Moderator harus melemparkan isu spesifik dan ditanggapi setiap kandidat. Maka, publik mengetahui posisi setiap kandidat tentang isu tertentu. Untuk mempertajam pisau uji dalam membedah wawasan kandidat dalam isu-isu spesifik, panel ahli bisa dihadirkan.
Apa yang kita saksikan dalam acara debat calon presiden-calon wakil presiden sesi pertama kehilangan esensi pokok perdebatan. Yang berlangsung bukan debat untuk saling menguji orisinalitas ketajaman dan keluasan visi, melainkan dua monolog dalam jalur kereta rel ganda. Kalaupun ada pertukaran pikiran, sekadar sapaan jarak jauh dari penumpang dua kereta yang kebetulan berpapasan pada stasiun tertentu.
Kesan publik luas seperti menyaksikan program debat debut (perdana) para debutan (para pemula) yang menjadikan ajang perdebatan publik seperti acara cerdas cermat dengan kunci jawaban yang sudah dihafal.
Semoga otoritas terkait bisa memperbaikinya pada sesi mendatang agar acara debat memiliki fungsi yang konstruktif dalam perbaikan mutu demokrasi dan mutu kepemimpinan nasional.
Tulisan ini telah dipublikasikan di harian Kompas, 24 Januari 2019.