Hoaks, yang kadang dikemas seolah tindakan politik oposisional, silih berganti menghasilkan gejolak sosial. Tidak berhasil menggerus dukungan lawan, penyebarluasan hoaks potensial mendelegitimasi Pemilu. Penyebarluasan disinformasi, selain tidak efektif memengaruhi tingkat dukungan politik, berdampak pembodohan publik, menipiskan kepercayaan silang, dan memperkuat polarisasi sosial.
Agar tidak menjadi suatu langkah penghancuran politik, disinformasi dapat dilawan melalui keberaksaraan informasi dan keterbukaan pikiran. Sedangkan pencerdasan publik dan pelembagaan demokrasi dapat membuhulkan aktivitas politik pada suatu simpul permusyawaratan rakyat. Kontestasi politik, sesungguhnya, tidak membutuhkan kebohongan yang memecah-belah.
Ketertutupan pikir
Kombinasi antara lompatan teknologi dan lonjakan partisipasi, sedemikian rupa, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara paling aktif di media sosial secara global. UNESCO menyebut bahwa sedikitnya 4 dari 10 orang di Indonesia aktif menggunakan media sosial. Sedangkan We Are Social menunjukkan bahwa rata-rata orang Indonesia menghabiskan lebih tiga jam untuk mengakses media sosial.
Lewat dua dekade sejak Indonesia mengenal luas internet bersama dengan gelombang kebebasan, keduanya berkontribusi pada tatanan sosial kontemporer. Dengan gawai di tangan, kini produksi dan distribusi informasi dapat dilakukan warga kebanyakan. Hal ini, pada gilirannya, membuka ruang keterlibatan sosial, termasuk untuk mengekspresikan pandangan-pandangan politik.
Sayangnya, kepentingan sempit politik menyalahgunakan kesempatan tersebut untuk menyesatkan. Kementerian Kominfo mencatat bahwa selama Januari 2019 saja terdapat 175 konten hoaks, 81 di antaranya terkait Pemilu, yang tersebar luas di internet. Polmark Indonesia mengidentifikasi bahwa lebih 60 persen pemilih, yang juga pengguna media sosial, terpapar hoaks dengan intensitas berlainan.
Penggunaan kebohongan dalam politik, tentu saja, bukan hal yang sama sekali baru. Namun, era media sosial memperteguh bias kognitif manakala orang-orang cenderung disuguhi dan lebih suka mengakses informasi yang selaras dengan preferensinya. Akibatnya, mereka bukan hanya menutup secara sengaja akses informasi alternatif; lebih daripada itu, mereka cenderung menafikan dialog.
Ironis bahwa keterbukaan arus informasi justru disikapi sebagian orang dengan ketertutupan cara pikir. Inilah yang menjadi akar berbiaknya hoaks melalui media sosial; persis ketika batas antara berita dan opini mengabur, sementara orang enggan melakukan pemeriksaan ketepercayaan informasi. Media sosial pun lebih sering digunakan sebagai arena konfrontasi dibandingkan sebagai wadah komunikasi.
McIntyre (2018) menegaskan bahwa kemunculan media sosial sebagai suatu sumber informasi telah mengaburkan batas antara berita dan opini. Dalam kerangka politik, para demagog lantas memanfaatkan situasi ini untuk menyebarluaskan kabar bohong. Lebih daripada sekadar untuk mengecoh publik, mereka menggunakan kebohongan untuk mendapatkan kekuasaan.
Sementara politik diidealkan sebagai sarana moderasi perbedaan, politik era disinformasi justru memiliki karakter konfrontasional. Selain menunjukkan buruknya pelembagaan demokrasi, kondisi tersebut juga mengindikasikan lemahnya literasi informasi. Pencerdasan politik berikut peningkatan keterampilan keberaksaraan kiranya menjadi penawar problem kolektif tersebut.
Kontestasi bukan konfrontasi
Beberapa masa terakhir kita merasakan semakin menipisnya empati dalam politik nasional terdampak sengitnya kontestasi kekuasaan. Intrusi semangat kontestasi tersebut dalam ruang-ruang publik mewujud bukan dalam bentuk kompetisi gagasan-gagasan untuk diperdebatkan, melainkan dalam menggejalanya intoleransi yang dipacu oleh meluasnya disinformasi.
Pada Oktober 2018, misalnya, hoaks penganiayaan Ratna Sarumpaet menggema lewat berbagai saluran hingga Ratna sendiri menyebut secara ironis dirinya sebagai ‘pencipta hoaks terbaik’. Pada Januari 2019, sekali lagi dimunculkan hoaks tentang pencoblosan secara tidak sah tujuh kontainer surat suara. Terakhir bahkan beredar kecurigaan tentang bocornya pertanyaan Debat Capres.
Dengan gejala berulang, agaknya disinformasi telah menjadi bagian propaganda yang mengarah bukan hanya untuk menggerus dukungan lawan; lebih mengkhawatirkan jika hal ini menjadi bagian upaya delegitimasi proses berikut hasil Pemilu. Bukan serupa kontrol politik bermuatan pandangan kritis, serangan disinformasi yang sama sekali tanpa landasan etis itu bahkan destruktif.
Tidak sekadar mengecoh publik, pelipatgandaan disinformasi telah mempertajam faksionalisasi. Seturut pemilahan antara yang percaya dan yang tidak percaya hoaks, masyarakat mengalami pembelahan politik berdasarkan pola dukungan masing-masing. Disintegrasi mengintip di antara celah propaganda kebohongan yang terus diuarkan demi mendapatkan dukungan suara.
Faktanya, propaganda kebohongan tidak berdaya menghasilkan lonjakan tingkat keterpilihan. Namun, hal itu efektif mencabut muatan etis dalam komunikasi sebagaimana dalam politik. Dengan kebohongan, komunikasi hanya menghasilkan kesalahpahaman dan politik hanya menumbuhkan kebencian. Sebagai suatu tindakan destruksi, kebohongan tidak memiliki basis legitimasi.
Propaganda kebohongan menggerogoti sendi-sendi kebangsaan kita sehingga jauh lebih sulit untuk menemukan persesuaian gagasan dibandingkan untuk mendapati perseteruan pandangan di antara kelompok-kelompok sosial. Keengganan untuk menimbang kepentingan yang berbeda menunjukkan sempitnya sudut pandang, tertutup piciknya hasrat dominasi.
Demi menghindari penghancuran politik, Pemilu dan kampanye di dalamnya harus dikembalikan esensinya sebagai suatu jalan demokratis kontestasi kekuasaan. Sebagai suatu kontes, ia tidak sekadar membandingkan citra diri, tetapi juga mempertarungkan gagasan politik. Publik pemilih membutuhkan imajinasi politik yang menyatukan, bukan kebohongan yang memecah-belah.
Tulisan ini telah dipublikasikan di GEOTIMES, Senin, 25 Februari 2019.