Greget politik nasional meningkat sejak tahapan pemilu memasuki masa kampanye mulai 23 September 2018.
Setiap pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres) leluasa untuk menyampaikan visi mereka, termasuk menebar janji kampanye dan memperkuat citra politik masing-masing. Sementara, rapat umum dan iklan media massa baru boleh dilaksanakan pada tahap berikutnya yakni mulai 24 Maret 2019. Sayangnya, sejauh ini, situasi politik membuncah karena kampanye lebih bermuatan olok-olok ketimbang pertarungan program. Polemik seputar ukuran tempe atau “tampang Boyolali”, misalnya, mengesankan dangkalnya gagasan politik. Elite politik perlu meletakkan kampanye yang disampaikan secara kreatif dan cerdas, kembali pada esensinya sebagai medium pendidikan politik.
Politik Olok-Olok
Meskipun konfigurasi politik mengalami pembentukan ulang usai Pemilu 2014, dampak polarisasi politik terus terbawa hingga menjelang Pemilu 2019 ini. Apalagi dengan dijalankannya politik kebencian berbasis identitas, perkubuan di kalangan elite merembes hingga mengarah pada suatu tribalisme politik dengan pertentangan tajam secara horizontal di kalangan massa. Ketika politik kebencian tidak mendapatkan antusiasme pemilih dalam Pilkada Serentak 2018, politik nasional bukan lantas beringsut meningkat kualitasnya.
Pada masa kampanye kini kita mendapati suatu gejala politik olok-olok; yaitu ketika elite politik lebih sering mengeksploitasi emosi massa lewat pernyataan pernyataan menohok ketimbang mengeksplorasi keunggulan tawaran program mereka. Politik olok-olok tersebut secara umum mengambil empat bentuk utama. Pertama, penyampaian pesan-pesan superfisial, yang cenderung dangkal, tidak substansial, bahkan cenderung mengadaada. Kedua, kritik serampangan tanpa data akurat, sekadar untuk memukul lawan. Polemik seputar isu kemiskinan, misalnya, banyak disampaikan lewat kedua cara tersebut dengan nyaris tanpa alternatif solusi.
Ketiga, penyampaian pesan-pesan emosional, yang menunjukkan kegeraman atau mengarah pada agitasi. Keempat, insinuasi untuk menyinggung lawan lewat pesan-pesan yang sumir dan multitafsir. Terutama sejak politik kebencian berhasil mengaduk emosi massa pada Pilkada Jakarta 2017, kedua model penyampaian pesan tersebut makin dipandang lazim dan efektif. Terdapat pertanyaan besar, sesung guhnya, terkait efektivitas politik olok-olok tersebut. Dengan lebih 40% pemilih termasuk golongan milenial yang berkarakter egaliter, pluralis, kreatif, dan kritis pasangan kandidat membutuh kan komunikasi lebih rasional.
Tidak pula cukup bagi mereka untuk sekadar memainkan gimmick, seperti cara berpakaian, demi menggaet dukungan kelompok muda. Pada sisi lain, tidak juga mudah untuk menggaet dukungan pemilih emosional. Sekitar 70% dari masing-masing seluruh pemilih Jokowi-Ma’ruf maupun seluruh pemilih Prabowo-Sandi merupakan pemilih loyal. Sementara pesan-pesan negatif cenderung sulit untuk menggoyahkan pilihan mereka, pesan serupa lebih sulit untuk menarik dukungan swinging voters yang cenderung lebih rasional.
Greget politik olok-olok mungkin memberi efek gema meluas bagi pasangan kandidat yang memainkan sensasi demi menarik perhatian massa pemilih. Namun, tetap saja, dibutuhkan kerja lanjutan persuasi untuk meyakinkan publik pemilih. Sebab, efek gema tidak dapat dikonversi begitu saja menjadi suara dukungan sesuatu yang menentukan kemenangan dalam kontestasi elektoral.
Pencerdasan Pemilih
Kedua pasang kandidat, pada dasarnya, memiliki visi yang menarik. Jokowi-Ma’ruf berorientasi pada terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian. Sedangkan Prabowo-Sandi menghendaki suatu Indonesia yang adil dan makmur. Kedua visi tersebut, saya percaya, sejalan dengan tujuan-tujuan yang hendak diraih sebagian besar publik pemilih. Visi inilah yang mestinya diturunkan dalam tawaran program kebijakan, yang di sosialisasikan melalui kampanye kandidasi. Penyampaian program tersebut dapat membuat publik pemilih menimbang secara rasional di antara pilihan-pilihan yang tersedia.
Manakala terdapat kesesuaian antara tawaran tersebut dibanding kan kepentingan mereka, di situ demokrasi permusyawaratan menemukan perwujudannya. Elite politik tidak mungkin meremehkan rasionalitas dan kedewasaan para pemilih. Fakta bahwa politik kebencian berbasis identitas tidak terdengar nyaring pada Pilkada Serentak 2018 menunjukkan tingkat lebih baik kecerdasan pemilih. Dampaknya, muncul pemimpin-pemimpin daerah yang populer sekaligus potensial menjadi pemimpin-pemimpin nasional pada masa mendatang.
Fakta lain yang juga harus dipertimbangkan adalah eksistensi generasi milenial, yang mengambil porsi terbesar di antara pemilih pada Pemilu 2019. Fakta ini mestinya memberi suntikan bagi tim kampanye untuk menghadirkan suatu bentuk kampanye yang kreatif dan memicu perdebatan kritis pemilih. Hal ini dapat mendorong kegairahan partisipasi politik yang berkualitas, terutama pada kelompok muda. Perluasan jaringkan komunikasi demokratis dengan kelompok yang sama juga tampak belum mengoptimalkan keunggulan modal internet.
Yang lebih sensasional justru adalah penyalahgunaan media sosial untuk menyebarluaskan kampanye hitam atau kabar bohong. Dalam kubangan politik olok-olok, disinformasi dan malinformasi pun melumat miskinnya literasi informasi. Selanjutnya, tanpa melupakan pentingnya aspek personalitas sesuatu yang dipandang penting pada setiap pemilihan kepala eksekutif filiasi politik dengan publik pemilih dapat dibangun bukan semata lewat irisan-irisan kesamaan identitas. Semakin dekat tawaran program dengan kepentingan mereka, semakin kecil disonansi kognitif dalam tinjauan rasional para pemilih kritis.
Hanya dengan mengembalikan fokus pada penyampaian gagasan secara kreatif sekaligus cerdas, kampanye Pemilu dapat menjalankan perannya sebagai sarana pendidikan politik, sebagaimana tuntutan UU Pemilu. Pada akhirnya, kita berharap mendapati suatu Pemilu yang lebih demokratis, lebih kompetitif, dan menghasilkan pemimpin yang visioner.
Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Sindo, 27 November 2018.