Tak salah sebagian orang menjulukinya ”kiai cinta”. Dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, 11 Maret 1970, Hamka mengakui, ”Dasar kepengarangan saya adalah cinta.”
Cinta altruistik, seperti pesan Hayati kepada Zainuddin dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck. ”Cinta bukan melemahkan hati, bukan membawa putus asa, bukan menimbulkan tangis sali sedan. Cinta menghidupkan pengharapan, menguatkan hati dalam perjuangan menempuh onak dan duri penghidupan.”
Cinta adalah kepribadiannya. Terbentuk oleh pengalaman masa kecil dan hambatan budaya yang diseberangi, yang menantangnya untuk menafsir kembali tradisi.
Hamka bukan hanya saksi, tetapi juga pelaku sejarah. Baginya, menulis merupakan upaya menancapkan posisinya. Mirip kredo Milan Kundera, ”For me being a novelist was more than just working in one ‘literary genre’ rather than another; it was an outlook, a wisdom, a position; a position that would rule out identification with any politics, any religion, any ideology, any moral doctrine, any group.”
Penderitaan dan perbenturan merindukan cinta, memberinya daya sensitivitas dan hasrat pengembaraan intelektualitas. Betapapun luas dan jauh pengembaraan, Hamka tak pernah lupa menariknya kembali ke posisi awal. Dibesarkan dalam jaringan keislaman yang kuat, apa pun bentuk pengucapan Hamka selalu didenyuti nilai dan posisi keislamannya.
Dalam pandangan M Yunan Nasution, mitranya di Pedoman Masjarakat (1936-1942). ”Sebagai seorang putra yang dilahirkan dan dibesarkan di tepi Danau Maninjau dengan air yang biru, ditambah penderitaan yang dialami di zaman kanak-kanak yang lebih banyak digenangi air mata perasaan, telah membentuk jiwa Hamka mempunyai perasaan halus dan peka terhadap masalah-masalah sosial-kemasyarakatan.”
Bangga sekaligus berjarak
Hamka kecil bangga sekaligus berjarak pada ayahnya. Bangga, karena ayahnya ulama terkenal, suhu ”kaum muda” Islam di Sumatera Barat, Dr H Abdul Karim Amrullah.
Berjarak, bukan karena kesibukan ayahnya sebagai pendakwah pengelana dalam tradisi matrilineal Minangkabau. Kecenderungan dakwahnya yang ”keras” tak kenal kompromi merembes ke cara mendidik anaknya.
Dalam Falsafah Hidup, Hamka bertutur, ”Tetapi entah bagaimana, dari umur sepuluh tahun, telah tampak jiwa saya melawan beliau…. Jiwa beliau adalah jiwa diktator…. Kalau sekiranya cara beliau mendidik itu sajalah, maulah saya terbuang, menjadi anak yang tidak berguna. Saya tidak mau pulang ke rumah, saya tidak mau mengaji, saya bosan mendengar kitab Figh yang diajarkan di Thawalib.”
Kerenggangan hubungan anak-ayah ini bukan hanya ingatan pedih dalam biografi pribadi, tetapi juga riak dari gelombang ketegangan dalam biografi kolektif. Sejak awal abad ke-19, alam Minangkabau diterjang tsunami konflik nilai, yang pusat gempanya terletak di Timur Tengah.
Menghadapi krisis Dunia Islam, sejak abad ke-17 para pembaru dalam jaringan ulama internasional mengajukan pertanyaan sentral: mengapa masyarakat Islam begitu terpuruk? Mereka tak mau mengalamatkan keterbelakangan ini pada kelemahan inheren Islam karena percaya Islam relevan untuk segala zaman. Ditudingkan, biangnya adalah pengamalan Islam yang menyimpang dari ajaran asli. Lebih parah lagi, Islam distortif penuh bidah dan takhayul itu dimistifikasi secara taqlid, tidak memungkinkan pembaruan.
Solusinya berdimensi ganda: pemurnian Islam dengan berpulang pada Al Quran dan Hadis; serta penjebolan dinding taqlid lewat ijtihad, agar Islam relevan dengan dinamika perkembangan.
Penekanan pada pemurnian berjuluk reformisme Islam. Pendukung utamanya ulama yang belum melek pengetahuan modern sehingga cenderung reaktif terhadap pengaruh Barat. Penekanan pada ijtihad berjuluk modernisme Islam. Pendukung utamanya ulama angkatan baru, yang lebih melek pengetahuan modern, sehingga bersedia melakukan apropriasi terhadap pengaruh Barat.
Sepanjang abad ke-19, reformisme Islam merupakan wacana dan ideologi dominan di Mekkah dan Madinah. Sebagai jantung dunia Islam, perkembangan ini mengancam posisi adat dan tarekat yang menjamur di Sumatera Barat sejak abad ke-18, menyusul kemunduran Pagarruyung sebagai pusat teladan.
Serangan pertama terhadap adat-tarekat datang bersama kepulangan tiga ulama pada 1802. Terpengaruh faham Wahabiyya, penetrasi ajarannya mengobarkan pertikaian, berujung Perang Paderi. Serangan kedua meledak menyusul kepulangan ayah Hamka dari Mekkah (1901 dan 1906), yang mengibarkan bendera ”kaum muda”, berhadapan dengan ”kaum tua”, bahkan ayahnya sendiri, Syekh Amrullah, pemimpin Tarekat Naqsabandiyah.
Hamka kecil menyaksikan arkeologi pengetahuan yang terbelah. Jejak-jejak heterodoksi Islam tarekat masih tersisa, dihadapkan gempuran ortodoksi Islam. Keterbatasan ayahnya dalam jaringan komunitas epistemik dan pengetahuan modern membuatnya lebih menekankan dimensi pemurnian ketimbang pembaruan.
Bentrokan antara dunia kakek dan ayah mendorong Hamka untuk melampauinya. Keberjarakan dengan ayah disertai etos perantauan Minangkabau mendorong Hamka mengembara mencari jati diri. Berbekal kemampuan baca-tulis (Arab dan Latin) dari pendidikan dasar, pada 1924 ia merantau ke Jawa; lantas ke tempat-tempat lain hingga menetap di Jakarta.
Pengembaraan meluaskan minat dan horizon pengetahuannya. ”Saya tidak dapat melupakan perkenalan saya dengan almarhum HOS Tjokroaminoto yang mulai menunjukkan pandangan Islam dari segi ilmu pengetahuan Barat saat beliau mengajarkan ’Islam dan Socialisme’ saat saya datang ke Yogyakarta tahun 1924”.
Di kota ini ia mereguk pengetahuan sosiologi dari Soerjopranoto, filsafat dan sejarah (Islam) dari KH Mas Mansur, tafsir dari Ki Bagus Hadikusumo.
Di Pekalongan, ia menemukan guru panutan dalam pendalaman studi Al Quran, AR Sutan Mansur. Di Bandung, ia bertemu A Hassan dan M Natsir, yang memberinya kesempatan belajar menulis dalam majalah Pembela Islam. Keterlibatan dalam jaringan mengendurkan atavismenya. Perluasan pengetahuan menguatkan jiwa kosmopolitan. Etos puritan dalam keluwesan pergaulan dan kelapangan jiwa mengantarnya menjadi pribadi berkarakter dan produktif dengan tetap toleran dan estetik.
Paham kebangsaan
Dalam paham kebangsaan, semula Hamka mengikuti pandangan Persatuan Islam (Persis), memandang nasionalisme sebagai asyabiyah yang bersifat jahiliah dan tak bisa ditolerir. Menyimak tanpa prasangka argumen yang dikembangkan pendukung kebangsaan yang netral agama, Hamka melihat kemungkinan lain. Baginya, antara kebangsaan dan Islam tidak perlu ada pertentangan, malah bisa sesuai. Hal ini menuai kritik pedas dari Persis.
Saat Bung Karno wafat, Hamka yang pernah dipenjarakan melawan arus dengan menshalati jenazahnya. Menurut dia, tidak ada hak untuk mengatakan Bung Karno munafik.
Kekayaan jaringan bukan hanya membawa kelenturan, tetapi juga kebesaran. Menurut sosiologi pengetahuan, intelektual besar kerap muncul dari jaringan besar, baik jaringan ke atas, ke samping, maupun ke bawah. Para pemikir besar galibnya memiliki guru-guru yang besar; berinteraksi dan diuntungkan oleh kehadiran para pemikir (besar) sezaman; sebagai mitra maupun ”lawan” yang mematangkan pemikiran; juga jaringan murid-muridnya yang mengikuti dan menyempurnakan pemikiran gurunya. Hamka memiliki semua itu.
Kebesaran Hamka tercemin dari peninggalannya. Tak kurang dari 118 buku yang dikarangnya. Al Azhar dengan jaringan persekolahannya menjadi ikon dari kelas
menengah Muslim yang modern. Siaran keagamaan televisi yang dipeloporinya
menjadi trend setter yang kini mewabah.
Hamka menjelmakan ekspresi Islam yang luas, lentur, dan estetik. Islam produktif yang membawa kemaslahatan bagi kemanusiaan universal. Dalam peringatan 100 tahun Buya Hamka, keteladanannya pantas menjadi monumen di hati kita.
Tulisan ini pernah dimuat di harian Kompas, 18 Februari 2008.