Kapitalisme mengabaikan peran pengetahuan dalam menjustifikasi kesenangan. Akibatnya, kesenangan hanya sebatas pemuasan tubuh belaka.
Di tengah gemuruh kehidupan yang dibanjiri kecanggihan teknologi dan produksi benda-benda komoditas, manusia melebur di dalamnya mencari kesenangan. Peleburan tersebut sering dianggap sebagai suatu yang negatif. Maklum, sudah berabad-abad lamanya manusia dijelmakan aturan-aturan agama dan moralitas yang kerap mengajarkan untuk menghindari dan menjauhi kesenangan.
Walau demikian, kini kritik atas budaya yang biasa disebut hedonis tidak hanya datang dari agama, tapi juga tradisi neomarxisme. Kita mungkin heran atau setidaknya bertanya-tanya, apakah mereka yang melebur dalam budaya hedonis tersebut mengerti apa yang dimaksud dengan kesenangan? Apakah mereka yang menikmati, mendambakan, dan mengejar kesenangan memahami apa kesenangan itu sendiri?
Kesenangan ala Plato
Wacana tentang kesenangan telah hadir dan diperbincangkan pada zaman Yunani Kuno. Perdebatan di seputarnya biasanya dalam soal apakah kesenangan berada dalam tubuh atau jiwa. Perdebatan ini pun meluas sampai pada pembahasan mengenai jiwa dan tubuh itu sendiri.
Salah satu teks yang membahas mengenai apa yang dimaksud dengan kesenangan adalah teks Philebus. Plato, dalam teks ini menggambarkan secara rasional apa itu kesenangan, lewat uraian dialog dan perdebatan antara Socrates, Philebus, dan Protarchus. Berbeda dengan teks Plato yang lain seperti Gorgias, misalnya, teks ini menggambarkan kesenangan secara sistematis dan rasional.Sebab itulah, teks ini sangat penting dalam diskursus mengenai kesenangan.
Plato mendefinisikan kesenangan sebagai replenishment, suatu pemenuhan atas kekosongan. Misalnya, rasa lapar adalah bentuk kekosongan dari makanan. Maka itu, pengisian dari rasa lapar tersebut merupakan kesenangan. Lalu, misalnya rasa haus. Kita akan merasa senang ketika rasa haus tersebut telah terisi air. Secara sederhana, kesenangan adalah suatu pengisian atas kekosongan.
Tetapi, pengisian atas kekosongan tersebut membutuhkan pengetahuan, bukan suatu sikap spontanitas. Kita membutuhkan pengetahuan untuk akhirnya dapat menilai apa yang kita perlukan untuk mengisi kekosongan tersebut. Pengetahuan juga diperlukan untuk menjustifikasi apakah yang kita rasakan itu “kesenangan sempurna” atau hanya berupa “kesenangan palsu”. Perbedaan dua kesenangan ini sangat jelas, yaitu didasarkan pada pengetahuan. Bila kesenangan didasarkan dan dijustifikasi lewat pengetahuan, kesenangan itu sempurna.
Sebaliknya, jika tidak didasarkan pada pengetahuan, kesenangan itu palsu. Hanya dengan pengetahuan manusia dapat menilai apa yang dirasakan itu kesenangan atau bukan. Karena harus didasarkan pada pengetahuan, berarti kesenangan merupakan aktivitas jiwa, bukan tubuh.
Pandangan Plato ini sangat menarik bila dikontekstualkan pada masa kini. Saat ini banyak orang hanya mengejar kesenangan tubuh, kesenangan yang hanya didasarkan pada nafsu inderawi, kesenangan palsu. Kesenangan yang tidak didasarkan pada pengetahuan. Sebuah pengisian kekosongan yang hanya berdasarkan hasrat dan nafsu. Pengetahuan untuk menjustifikasi kesenangan tentu pengetahuan “yang sempurna”. Pengetahuan tersebut berkaitan erat dengan nilai kebaikan yang tidak didasarkan pada pengalaman inderawi.
Kesenangan palsu bisa dihasilkan pengetahuan yang keliru, yang bukan sempurna. Apa yang ingin ditekankan Plato adalah pengetahuan yang murni yang akhirnya dapat menjustifikasi dengan benar tentang kesenangan. Terlepas dari pengetahuan seperti apa persisnya, pelajaran penting yang bisa diambil adalah penempatan Plato tentang kesenangan yang merupakan aktivitas jiwa. Apa yang terdapat dalam budaya hedonisme dan konsumerisme zaman ini tak lain merupakan reduksi kesenangan pada tubuh. Suatu persetubuhan buta dengan bendabenda, dengan citra dan simbol.
Persetubuhan buta inilah yang menjadikan masyarakat zaman kini kehilangan apa yang dinamakan “rasio murni”–meminjam istilah Horkheimer. Dalam budaya hedonisme dan konsumerisme, tubuh memang selalu menjadi sorotan dan objek sasaran. Keindahan, kenikmatan, dan kesenangan selalu direduksi pada batas-batas tubuh. Tubuh dipahami, dimengerti, didisiplinkan, dan akhirnya dieksploitasi demi kepentingan budaya hedonis.
Membatasi Ketakterbatasan
Dunia kesenangan juga sering identik dengan ketakterbatasan. Suatu pemenuhan kekosongan yang tersimbolkan pada zaman ini dengan budaya konsumerisme yang tiada henti. Ketakterbatasan ini, sekali lagi, mereduksi hakikat kesenangan. Sekali lagi kita patut belajar dari Plato tentang hakikat kesenangan.
Seperti diuraikan dalam Philebus, ia mendefinisikan kesenangan sebagai “pembatasan” dari yang tak terbatas. Dalam hal ini, setiap usaha pemenuhan dari kekosongan haruslah berhenti di batas tertentu. Penjelasan ini dapat dicontohkan dengan kesenangan makan, misalnya. Kesenangan tentu berada dalam tahap “cukup”, tidak terlalu kenyang. Sebab, bila tak terbatas (terlalu kenyang misalnya).
Ia malah akan menimbulkan rasa sakit, bukan senang. Dalam pembatasan inilah kita misalnya dapat menemukan sebuah harmoni, keindahan, juga kesehatan. Hal ini penting karena banyak orang yang mengartikan kesenangan sebagai sesuatu yang tak terbatas. Bila kesenangan dimengerti sebagai yang tak terbatas, yang terjadi adalah suatu pemenuhan terus-menerust anpa henti. Dalam budaya hedonisme, kita seakan tak mengenal kesenangan sebagai “pembatasan dari ketakterbatasan”.
Para penikmat hedonisme mengartikan kesenangan sebagai ketakterbatasan. Sebab, semua orang mengejar kesenangannya seakan tiada henti. Bergelut dengan kesenangan, lalu berpindah dari satu kesenangan ke kesenangan yang lain,tanpa mengerti dan memahami apakah sesungguhnya ia merasakan “kesenangan”. Definisi kesenangan ala Plato dari zaman sebelum Masehi tersebut tentu menegur masyarakat hedonis yang kini digerogoti aneka produksi komoditas. Kenyataan ini menjadi niscaya karena kapitalisme telah mereduksi kesenangan ala Plato.