Hijrah memiliki ragam tafsir dan makna. Bagi Al-Raghib al-Isfahani kata h-j-r berarti “mufaraqah al-Insan ghairahu imma bi al-badan aw bi al-lisan aw bi al-qalb (meninggalkan orang lain baik secara fisik, ucapan, atau hati). Sayyid Abu al-A’la Maududi dari Jamaat al-Islamiyah Pakistan dan Sayyid Qutb dari Ikhwan al-Muslimin Mesir mendefinisikan hijrah sebagai menarik diri dari “jahiliyyah baru”, yang mereka identifikasi sebagai kebijakan sekularisme, kapitalisme, sosialisme, dan modernisasi/westerinisasasi negara-negara Muslim.
Dalam perspektif Nurcholish Madjid, hijrah tak lain sebagai “turning point” (titik balik) untuk membentuk masyarakat yang berperadaban. Dengan kata lain, hijrah dimaknai sebagai upaya peningkatan kualitatif perjuangan bersama dalam menciptakan masyarakat yang sebaik-baiknya. Ciri khasnya adalah peradaban, civilization, dan kehidupan teratur (madaniyyah) yang dilandasi oleh nilai-nilai keadilan dan persaudaraan. Dengan visi inilah Yatsrib diganti dengan Madinah yang menyiratkan berlakunya nilai-nilai keadaban dan civilization.
Di atas itu semua, makna “subtantif” hijrah, acapkali disalahpahami hanya sebagai perjalanan spasial (fisikal) Nabi dan sahabat dari Mekkah menuju Madinah, hijrah juga dipahami sebagai ritual tahunan yang datang dan pergi tanpa pengaruh positif. Maka, menurut Prof. Ismail al-Faruqi, Hijrah jangan semata dipahami sesuai tanggal peristiwanya di kalender yang didasarkan sistem lunar atau Komariyah. Sejatinya hijrah bisa dilakukan kapan saja, tiap hari di sepanjang tahun. “Hijrah melampaui batas ruang dan waktu,” kata al-Faruqi, “karena hijrah semestinya menjadi bagian dari kesadaran kita”.
“Kesadaran” akan hijrah memiliki arti gerak, dinamika dan daya menuju kepada sebuah perubahan terus menerus, yang secara misionaris mengandung dimensi spasial, moral dan spiritual. Oleh karenanya, menurut Muhammad Iqbal hijrah, pergerakan, dinamika, dan gerak terkait satu sama lain yang mestinya terpusat pada setiap individu “ego” manusia untuk membangun masyarakat yang maju dan beradab. Sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu yang merubah nasibnya sendiri”. Tuhan telah menyerahkan dunia kepada manusia untuk membentuknya menurut kehendaknya.
Ini berarti, bahwa hijrah dan perubahan itu menjadi niscaya, sekaligus menyimpa keniscayannya yang lain bahwa ia memiliki keabadian yang hanya bisa ditemukan jika manusia memiliki semangat untuk terus melakukan perubahan. Sesuatu akan menjadi abadi dan bertahan sepanjang manusia terus melakukan perubahan dalam praktik-praktik tafsirannya yang konstruktif dan inovatif. Sebaliknya, ketika manusia tak beranjak ke dalam perubahan demi mempercayai apa yang disebut dengan melestarikan atau pelestarian, maka sesungguhnya keabadian itu tak pernah ada, keabadian itu hanya akan ditemukan dalam gerak menuju perubahan.
Gerak dan perubahan yang tercermin dalam hijrah merupakan prinsip dasar agama Islam yang bisa dimanifestasikan dalam setiap aksi-aksi sosial dan individual. Maka, jargon-jargon gerak dan perubahan yang semisal dengan itu seperti, reformasi, revolusi, reinterpretasi dan revitalisasi spiritual atas sebuah kondisi yang memeprihatinkan adalah sesuatu yang niscaya.
Pararel dengan itu, hijrah yang dilakukan Nabi SAW dan sahabat adalah gerakan perubahan sosial untuk mewujudkan nilai-nilai ketauhidan dan kemanusiaan. Ketauhidan untuk pembebasan dan kemanusiaan untuk keadilan. Perubahan sosial untuk mencapai moralitas tinggi dan pemihakan kepada mereka yang lemah, yang marjinal, miskin, kaum hawa yang tersubordinasi, dan anak-anak yatim. Melalui hijrah, kita diingatkan bahwa religiusitas dalam Islam adalah paralel dengan pembebasan sosial menuju perubahan yang dilandasi atas gerak spasial, moral dan spiritual.
Dengan demikian, makna terdalam dari hijrah yang dilakukan pada zaman Rasulullah SAW yang sesungguhnya, yaitu perubahan dari masyarakat yang kurang beradab, menjadi lebih beradab dan berpegang teguh pada nilai-nilai universal, seperti keadilan, kesetaraan, dan persaudaraan. Hijrah menghasilkan dengan apa yang kita sebut sebagai “Piagam Madinah” yang di dalamnya mengandung nilai-nilai universal bagi masyarakat Yahudi, Kristen dan Islam, seperti koeksistensi damai antar agama, inklusivisme, pluralisme dan prinsip nondiskriminasi.
Ini adalah sebuah kesadaran religius-sosial untuk keadilan dan pemihakan kepada mereka yang lemah dan dilemahkan. Dan hijrah menuntut kesadaran keadilan tidak hanya berhenti pada kesadaran, tetapi beranjak pada gerakan perubahan yang riil dan dinamis. Melangkah, berpindah, memulai, dan menyusun kekuatan serta jaringan yang tertumpu pada prinsip gerak sebagai elan vital agam Islam yang abadi. Gerak adalah keabadian yang tercermin dalam hijrah.