Dua pekan lalu, Jumat siang di Makassar. Langit tampak cerah dengan sinar matahari tegas memancar ke bumi. Namun, kecerahan hari itu, tercoreng peristiwa yang memiriskan hari jutaan warga yang mendiami bumi Indonesia. Diare akut disertai dehidrasi dan tiadanya asupan makanan selama tiga hari telah merenggut nyawa seorang ibu yang tengah hamil, Daeng Basse dan Fahril anak balitanya yang berumur 4 tahun. Mereka meninggal bukan karena keinginannya, namun karena keterbatasan dan tiadanya akses atas palayanan kesehatan baginya sebagai orang miskin.
Bagaimana kita menjawab peristiwa di atas? Satu hal yang pasti dimengerti adalah bahwa kemiskinan memang memiliki implikasi yang sangat mengerikan. Seseorang akan kehilangan kebebasan karenanya. Dengan kata lain, kemiskinan dengan jelas membatasi gerak seseorang dalam seluruh tindakannya. Sehingga seseorang yang melakukan tindakan ekstrem di luar ‘kapasitasnya’ adalah ‘wajar’.
Secara politik memang perjuangan demokrasi pascaorde Soeharto telah menghasilkan sejumlah kemajuan berarti dalam konteks hak-hak sipil dan politik seperti kebebasan membentuk organisasi dan partai politik. Meski begitu, kebebasan beragama dan berkeyakinan berkembang secara parokial sehingga tampil cacat dengan penyerangan, sekedar contoh, terhadap Jemaat Ahmadiyah. Begitu juga kebebasan berekspresi dan berpendapat yang cacat dengan terbunuhnya aktivis HAM Munir karena pembelaannya atas korban kekerasan dan orang hilang oleh masa lalu.
Namun, tidak begitu dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya kita. Ia tak tersentuh sama sekali. Tiada yang berubah dengan arsitektur ekonomi-politik Indonesia kini dengan ketika Soeharto berkuasa. Ketimpangan ekonomi-politik lengkap dengan sisi gelapnya—kemiskinan, kelaparan, dan pengangguran—terus menunjukkan kecenderungan meningkat. Memang ada pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan, tetapi itu hanya berlaku bagi kelompok menangah ke atas, sedang mereka yang berada di level lebih bawah, tetap terpuruk.
Fakta kedua inilah yang terekam secara baik dalam buku terbaru yang ditulis Tim Peneliti PSIK Universitas Paramadina dengan tajuk “Negara Kesejahtreraan dan Globalisasi: Pengembangan Kebijakan dan Perbandingan Pengalaman” (2008).
Realitas kemiskinan dan ketimpangan yang mendominasi perjalanan sejarah ekonomi-politik Indonesia sebagai bangsa dan negara serta kegelisahan atas kesejahteraan yang tak kunjung datang, menjadi refleksi tersendiri mengapa buku ini diterbitkan. Sebagai republik yang sudah tidak lagi muda—dengan merujuk pada negara-negara seusianya yang sudah secara baik melayani berbagai kebutuhan dasar warga negaranya—mestinya Indonesia bisa mengelola tata kelembagaan negara yang ada dan memfungsikannya secara lebih baik, termasuk dalam mencapai tingkat demokratisasi yang benar-benar dapat mewujudkan kesejahteraan warga negaranya.
Melalui buku ini, merujuk pada Jeffery Sachs, ditegaskan bahwa kemiskinan bukan hanya merupakan masalah suatu pemerintah pada tingkat pusat, apalagi masalah pemerintah yang berada di level yang lebih rendah. Ia adalah masalah masyarakat secara keseluruhan. Karena itu, maka usaha untuk mengakhiri kemiskinan memerlukan suatu jaringan kerjasama global antara masyarakat di satu belahan dunia dengan mereka yang berada di belahan dunia lain. Usaha itulah yang ingin dilakukan Sachs melalui projek MDG yang digagasnya. Baginya, kemiskinan dapat ditanggulagi dan dikurangi hanya jika negara-negara kaya bersedia memberikan bantuannya bagi negara-negara miskin (h. 274).
Salah satu aspek keadilan sosial yang ditekankan sebagai landasan filisofis dari negara kesejahteraan adalah berhubungan dengan hak tiap-tiap warga negara untuk hidup secara layak (welfare right). Prinsip welfare right merupakan prinsip yang membebaskan seseorang dari keterbatasannya terhadap berbagai kebutuhan dasar, pendidikan dan palayanan kesehatan yang memadai, serta partisipasinya dalam ruang publik. Konsepsi welfare right ini menjadi jangkar pengaman agar hak-hak rakyat untuk mengakses sarana-sarana kehidupan yang esensial untuk dirinya tetap dijamin. Sehingga kebaikan bersama (common good) yang mengikat kehidupan tiap warga negara untuk berkomitmen dalam ikatan kontrak sosial bernegara tetap dipertahankan. Prinsip welfare right ini berpijak pada penenuhan nilai-nilai fundamental kemanusiaan melalui program-program sosial untuk memenuhi hajat hidup layak bagi setiap warga negara (h. 352-3).
Dengan merujuk pada berbagai pengalaman negera-negara yang sudah matang dalam pengelolaan negara kesejahteraan, semisal Inggris, Swedia, dan Jerman, Tim Penulis PSIK mengurai bahwa dalam era globalisasi kini peran negara tetap bisa signifikan tanpa kehilangan pengaruhnya sama sekali. Sebaliknya, mereka membuktikan bahwa negara kesejahteraan menjadi faktor penting bagaimana membuat globalisasi menjadi bermanfaat bagi warga negaranya, terutama bagi mereka yang lemah.
Akhirnya, buku ini berusaha menjabarkan bahwa demokrasi ekonomi dan demokrasi politik harus berjalan bersama. Jika perekonomian hanya memberi kesempatan berkembang kepada kelompok tertentu yang jumlahnya sedikit dan mengabaikan nasib dan kesejahteraan sebagian besar rakyat, demokrasi tidak akan berumur panjang. Kalaupun ada, prosesnya masih demokratis tetapi sebenarnya tidak, prosedural tetapi tidak substansial, dan kesejahteraan warga tetap menjadi angan-angan.