DATA BUKU
Judul : Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam
Penulis : Ali Ahmad Said (Adonis)
Penerbit : LKiS Yogyakarta
Cetakan : Pertama, September 2007
Tebal : XC + 403 halaman
Membaca buku Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam yang diterjemahkan dari buku aslinya Ats-Tsâbit wa al-Mutahawwil: Bahts fî al-Ibdâ’ wa al- Ittibâ’ ‘inda al-‘Arab, buah karya Ali Ahmad Said yang akrab dipanggil dengan Adonis,seorang penyair Arab kontemporer dan budayawan besar Arab masa kini, sungguh inspiratif dan menakjubkan.
Buku ini tidak saja memetakan watak nalar masyarakat Arab-Islam dalam dua kategori, watak imitatif (ittiba’) sebagai kelompok yang menghendaki kemapanan (ats-tsâbit) dan watak kreatif (ibda’) sebagai kelompok yang menghendaki perubahan (al-mutahawwil) dalam keseluruhan perwujudan budaya dan peradaban mereka.
Tapi, juga membongkar kedok keduanya dalam pertentangan dan pertarungan yang begitu hebat hingga tak jarang melahirkan benturan dan gesekan yang keras lagi mematikan. Di samping itu, buku ini memuat seluruh aspek dari sejarah- pemikiran Arab-Islam, baik politik, sosial, ekonomi, filsafat, teologi, fikih, sufisme, bahasa, dan sastra. Begitu kritisnya Adonis— penulis yang pernah diusulkan meraih nobel di negerinya—melihat dan membaca setiap informasi yang ada.
Maka itu, tidak heran jika kritik dan cacian banyak dialamatkan pada buku ini dan penulisnya. Kata-kata kafir dan murtad merupakan label yang sering disematkan kepadanya. Ironisnya, kritikan tersebut lebih sering muncul dari tokohtokoh yang sebenarnya tidak paham dan bahkan sama sekali belum pernah membaca karya Adonis ini.
Sebagaimana dilakukan Prof Shalih Judat yang menjuluki Adonis sebagai salah satu ”berhala kejahatan”dan menuduhnya sebagai musuh bangsa dan nasionalisme Arab. Padahal, sikap seperti ini sudah dikhawatirkan Imam al- Ghazali dalam salah satu kitabnya ”Maqâsidh al-Falâsifah”.
Ia menegaskan bahwa fa inna al- Wuqûf ‘alâ Fasâd al-Mazhâhib qabla al-Ihâthati bi Madârikihâ Muhâlun bal Huwa Ramâ fî al- ‘Imâyati wa adz-Dzhalâlati, bahwa memberikan penilaian atas suatu kelompok tanpa mengkaji dan menganalisisnya terlebih dahulu sungguh merupakan kezaliman dan kejahatan yang mengerikan.Sikap ini harus dijauhkan dari kehidupan kita.
Yang Mapan dan Yang Berubah
Peradaban Islam adalah peradaban pertentangan dan pertarungan antara pihak yang menginginkan ”kemapanan” (ats–tsâbit) dan pihak yang menginginkan ”perubahan”(al-mutahawwil) dalam segala lini kehidupan, baik dalam bidang teologi, politik, budaya, hukum, bahkan bahasa dan sastra.
Di mana masingmasing kelompok merasa dirinya sebagai pihak yang paling benar dan sempurna. Klaim kebenaran dalam setiap diskursus sosial dan keagamaan seperti ini lebih sering terjadi, dan bahkan sudah terlanjur mengendap dan menubuh dalam kesadaran umat manusia dewasa ini.Fenomena ini tidak saja terjadi di negeri-negeri lain, tapi juga di Indonesia.
Kasus yang menimpa kelompok Ahmadiyah yang dianggap sesat dan patut diperangi adalah bukti nyata betapa fenomena truth claim telah mewabah dan mengakar di negeri ini. Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa tarik menarik kepentingan dan juga perebutan klaim kebenaran itulah yang membuat gerak sejarah-kebudayan Arab-Islam menjadi berkembang dinamis, meskipun di sisi yang lain terkadang justru memunculkan anomali dan bahkan tidak jarang juga menelan korban harta dan jiwa yang cukup banyak. Fakta yang tak terbantahkan bahwa asal usul peradaban Arab tidaklah tunggal, tapi plural.
Asal-usul itu mengandung benih-benih dialektis antara menerima dan menolak, yang pasti dan yang mungkin, atau dapat kita katakan antara yang mapan (ats–tsâbit) dengan yang berubah (al–mutahawwil). Dalam buku ini, Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam Adonis mendefinisikan yang mapan (ast–tsâbit) dalam bingkai kebudayaan Arab sebagai pemikiran yang berdasar pada teks, dan yang menjadi sifat kemapanannya (ats–tsâbat) sebagai dasar bagi kemapanan, baik dalam memahami maupun mengevaluasi.
Selain itu, yang mapan (ats-tsâbit) menegaskan bahwa dirinya sebagai makna satu-satunya yang benar bagi teks tersebut, dan berdasarkan hal itu, ia menjadi otoritas epistemologis. Sementara, yang berubah (al–mutahawwil) dapat dipahami dengan dua pengertian: pertama, sebagai pemikiran yang berdasarkan pada teks, namun melalui interpretasi yang membuat teks dapat beradaptasi dengan realitas dan perubahan.
Kedua, sebagai pemikiran yang memandang teks tidak mengandung otoritas sama sekali, dan pada dasarnya pemikiran tersebut berdasarkan pada akal,bukan pada naql (wahyu). Bagi Adonis, pertentangan dan pertarungan antara pihak yang menghendaki kemapanan (ats–tsâbit) dan pihak yang menghendaki perubahan (almutahawwil) yang terjadi dalam sejarah pemikiran Arab-Islam tidak bersifat dialektis, tetapi kontradiktif.
Sehingga, sering melahirkan represi dan tragedi, yang karenanya sisi ats–tsâbit lebih mendominasi sisi al–mutahawwil dan dia menghancurkan segala upaya yang dilakukan oleh kecenderungan gerakan kreatif dan dinamis. Bagi kelompok ini, masa lalu adalah kesempurnaan yang paripurna dan tidak perlu ditafsirkan dan ditambah lagi, sementara yang kini tidak mungkin mencapai derajat yang lalu.
Umat Islam kapan dan di mana pun harus kembali pada teks lahiriah Alquran dan as-Sunnah sebagai kebenaran yang tunggal dan menyeluruh. Mereka menganggap bahwa carut-marutnya kehidupan umat Islam sekarang ini disebabkan sikap dan perilaku umat Islam yang tidak mau lagi menjadikan Alquran dan as-Sunnah sebagai rujukan utama dalam menjalankan kehidupannya.
Oleh karena dominasi kecenderungan terhadap kemapanan melebihi dari segalanya, tidak mengherankan, kata Adonis, jika kebudayaan Arab-Islam hingga kini kering dari kreativitas, jumud, statis, dan terbelakang. Sementara kreativitas itu sendiri sebagai sistem pergerakan dalam Islam merupakan faktor terpenting dalam pengembangan kehidupan umat Islam sampai kapan pun.
Hingga pada akhirnya, tidak aneh pula bila kebudayaan Arab-Islam dalam pertarungannya dengan kebudayaan lain, secara eksternal selalu mengalami kekalahan yang menyeluruh, baik dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, politik, ekonomi dan sebagainya.
Dan kekalahan ini pada gilirannya memunculkan kompleksitas secara psikologis dalam diri masyarakat Arab-Islam. Munculnya beberapa pemikir Islam modern garda depan yang terdapat di berbagai belahan dunia dan memiliki kecenderungan kepada perubahan merupakan respons balik untuk meng-counter serangan dari pihak luar yang sesekali membahayakan dan mengancam eksistensi kebudayaan Islam.
Di samping itu, kemunculan mereka tidak lain untuk meremajakan dan menyegarkan kembali pemahaman keagamaanArab-Islam yang terjebak ke dalam kejumudan dan keterbelakangan yang akut. Sebut saja misalnya, Muhammad Abed al-Jabiri melalui proyek ”Naqd al-Aql al-‘Arabi”-nya, Nasr Hamid Abu Zaid dengan ”Mafhum an-Nas”-nya, Hassan Hanafi dengan ”at-Turast wa at-Tajdid”-nya, dan juga Mohammad Arkoun dengan ”Naqd al-Aql al-Islami”-nya.
Mereka mencoba meretas kembali struktur pemikiran Arab-Islam dengan cara menengok tradisi yang kemudian dihubungkan dengan realitas kekinian. Kesemuanya berusaha membangun persoalan-persoalan perubahan sosial secara alami dan dalam perspektif kesejarahan. Mereka berkeyakinan dan juga Adonis, bahwa masyarakat Arab-Islam tidak mungkin bangkit dari ketertinggalannya dan terbebas dari segala macam bentuk penjajahan dan penindasan yang dialaminya, apabila struktur konservatif, kemapanan (ats–tsabît) yang selama ini masih mendominasi pemikiran Arab-Islam itu sendiri tidak dihancurkan dan ditinggalkan.
Singkatnya, hanya dengan mengkaji keseluruhan peradaban Arab-Islam yang tersusun ke dalam yang mapan (ats–tsâbit) dan yang berubah (al–mutahawwil), dan memberikan interpretasi kritis-analitis atas keduanya, maka kita akan dapat memahami pandangan Arab-Islam terhadap manusia dan alam semesta. Menurut Adonis,dalam sejarahnya, yang mapan (ats–tsâbit) tidak selalu mapan dan statis, dan yang berubah (al–mutahawwil) tidak selalu berubah dan dinamis.
Sebagian dari yang berubah dan dinamis tidak berubah dalam dirinya sendiri, tetapi berubah sebagai oposisi dengan satu atau lain bentuk, dan berada di luar kekuasaan dengan satu atau lain bentuk pula. Dengan demikian, kita dapat mengetahui dan memahami posisi orang Arab-Islam terhadap ilmu pengetahuan, serta persoalanpersoalan kebudayaan dan kemanusiaan secara umum.