Annapolis merupakan sebuah kota kecil dengan jumlah penduduk kurang dari 500.000 yang terletak di negeri bagian Maryland, dekat Washington DC. Di kota kecil itulah Konferensi Damai Palestina-Israel yang digagas Amerika Serikat (AS) diselenggarakan, dengan dihadiri hampir 52 negara dan organisasi internasional, termasuk Indonesia.
Konferensi yang digelar selama dua hari, 27-28 November 2007 ini, diharapkan dapat memberikan hasil yang maksimal, yaitu menciptakan perdamaian Palestina-Israel yang sudah sekian tahun masih saja terjadi konflik berdarah. Namun, setelah dua hari, para peserta konferensi dari berbagai negara dunia itu berembuk dan melakukan negosiasi. Hasil yang dicapai hanya kegagalan dan kekecewaan belaka. Mereka pulang ke negerinya masing-masing dengan tangan hampa, tanpa ada hasil yang dapat diberikan untuk kesejahteraan masyarakat Palestina.
Jauh sebelum konferensi itu, banyak kalangan, baik dari pengamat politik nasional maupun internasional memprediksikan kemungkinan besar capaian yang akan didapat adalah “kegagalan”. Mereka menyatakan bahwa konferensi damai di Annapolis sekadar konsumsi publik semata untuk memperbaiki imej pemerintah Presiden AS George Walker Bush yang akan mengakhiri jabatannya pada 2008 nanti. Tampaknya, Bush dalam hal ini ingin memberikan pemahaman kepada masyarakat dunia bahwa Bush bukanlah tokoh yang selalu harus dipersalahkan, terutama setelah kegagalannya dalam perang Irak dan Afghanistan.
Pada kesempatan lain,beberapa hari sebelum Konferensi Annapolis, Perdana Menteri (PM) Israel Ehud Olmert seakan memberikan sikap pesimistisnya akan hasil yang akan dicapai dalam konferensi itu. “Jangan berharap terlalu banyak dari Annapolis. Di sana nanti tidak akan ada putusan yang bersifat spesifik. Bahkan, mungkin tidak ada pernyataan bersama Palestina-Israel.”
Pernyataan Olmert di atas semakin diperkuat dengan munculnya pemberitaan dari Harian Israel, Haretz, Kamis (22/11) lalu. Dalam beritanya, Haretz membocorkan draf dokumen politik bersama yang gagal dicapai antara perunding Israel dan Palestina. Dalam draf itu,Israel menolak untuk memecah kota Jerusalem dan membahas isu nasib pengungsi Palestina serta menuntut Palestina mengakui negara Israel sebagai negara Yahudi yang legal (sah).
Kegagalan Konferensi Annapolis paling tidak disebabkan dua faktor penting oleh para peserta konferensi yang terabaikan. Pertama, tidak dua unsur yang dapat menentukan masa depan perdamaian Palestina-Israel, yaitu Negeri Mullah, Iran dan Hamas yang hingga kini seharusnya diakui sebagai pemegang tampuk pemerintahan di Palestina tidak dilibatkan.
Kedua, isu-isu penting dalam konteks konflik Palestina-Israel seperti status kota Jerusalem, perbatasan, pengungsi Palestina, sama sekali tidak disinggung. Padahal, isu-isu tersebut merupakan tuntutan dan harapan dari masyarakat Palestina. Dengan diabaikannya dua faktor penting tersebut menunjukkan ketidakkonsistenan AS untuk menciptakan perdamaian abadi Palestina-Israel. Hal itu seharusnya menjadi pertimbangan negara-negara yang hadir dalam konferensi damai tersebut.
Kepentingan AS-Israel
Seorang Pakar politik Timur Tengah, Riza Sihbudi dalam bukunya Menyandera Timur Tengah menuturkan, AS dalam setiap kebijakannya di Timur Tengah, khususnya terkait dengan perdamaian Palestina-Israel, akan selalu mendukung dan melindungi kepentingan Israel secara penuh daripada Palestina. Ini disebabkan AS selalu berpatokan pada doktrin “Israel First”, sebagai dasar utama untuk melindungi kepentingan Israel. Bagi AS, Israel adalah segala-galanya karena dia (Israel) anak kandung AS sendiri yang diciptakan dan dibentuk sedemikian rupa untuk kepentingannya dalam melawan negara-negara Timur Tengah.
Seiring dengan pernyataan Riza Sihbudi di atas, Direktur Center for Contemporary Arab Studies, Georgetown University, Michael C Hudson menyebutkan bahwa terdapat dua aliran pemikiran di kalangan intelektual dan politisi AS terkait dengan sikap AS terhadap negara-negara Arab (khususnya Palestina). Pertama, aliran “Israel First” yang membela dan mendukung kepentingan negeri Yahudi, Israel. Kedua, aliran “Evenhanded” yaitu aliran yang menghendaki agar AS bersikap “lebih adil” dan “bijaksana” di Timur Tengah. Namun, ujar Hudson, dalam kenyataannya pendukung doktrin “Israel First” di AS lebih mendominasi ketimbang pendukung aliran “Evenhanded”.
Akibatnya, bisa kita prediksi bahwa dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan AS terkait isu damai Palestina-Israel, AS lebih mengedepankan kepentingan Israel.Selain itu, dominasi pengikut doktrin “Israel First” dalam pembuatan kebijakan di AS mendapatkan dukungan lebih dari para pejabat penting baik di Dewan Keamanan Nasional (NSC), Pentagon, Departemen Luar Negeri, maupun kalangan intelijen (CIA).
Dari pembacaan di atas, kita dapat menimbang bahwa konferensi damai di Annapolis yang direncanakan langsung oleh pihak AS untuk terciptanya perdamaian abadi Palestina-Israel tidak akan menguntungkan dan memberikan apa-apa bagi pihak Palestina. Justru hanya untuk memenuhi hasrat dan kepentingan AS-Israel semata. Hal itu terbukti dengan tidak adanya hasil konkret yang dapat diberlakukan dalam konteks perdamaian Palestina-Israel.
Maka, sangat disayangkan sekali kehadiran negara-negara Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Irak, Mesir, Yordania, juga negara luar Timur Tengah seperti Malaysia dan Indonesia yang menjadi delegasi dalam menghadiri konferensi damai Annapolis itu.
Kehadiran mereka, khususnya Indonesia, dalam konferensi tersebut sebetulnya tidak akan membawa dampak apa-apa bagi perbaikan dan perkembangan Palestina, terutama bagi bangsa Indonesia sendiri, selain membuang-buang waktu, energi, dan tenaga saja. Dengan begitu, Indonesia dan peserta konferensi damai di Annapolis harus mengambil pelajaran dari kegagalan berbagai konferensi damai Palestina-Israel yang pernah diselenggarakan AS. Jauh sebelum Bush, Bill Clinton pernah mempertemukan pemimpin Palestina Yaseer Arafat waktu itu dan PM Israel Ehud Barak di Camp David pada 2000 lalu. Namun, hasilnya pun sama, hanya menghasilkan “proses perdamaian”, bukan perdamaian itu sendiri.
Akhirnya, kita hanya bisa mencatat dan mengingat bahwa konferensi damai di Annapolis atas prakarsa AS itu merupakan satu dari sekian sejarah kegagalan AS dalam upayanya menciptakan perdamaian Palestina-Isarel. Sejarah itu hanya sebagai kenangan yang berlalu tanpa makna besar, khususnya bagi kedua pihak yang bertikai Palestina dan Israel. Yang jelas, konferensi damai di Annapolis tidak membawakan hasil yang konkret ke arah perdamaian, hanya putusan final yang akan dicapai pada akhir 2008.
Tulisan ini pernah dimuat di harian Sindo, 04 Desember 2007.