Menjadi pemerintah itu memang harus bisa meramalkan (to govern is to foresee). Karena tak seorang pun tahu pasti apa yang akan terjadi di masa depan, cara terbaik untuk menghadapi masa depan adalah dengan mengendalikannya. Dengan berlandaskan basis data yang sahih, berbagai kecenderungan positif ataupun negatif bisa diantisipasi untuk memastikan agar gerak sejarah masa depan tetap berjalan pada jalur keselamatan.
Bagaimana kalau seseorang yang berpotensi mencalonkan diri dalam bursa pemilihan presiden ”membeli” skenario negatif yang meramalkan bahwa Indonesia akan bubar pada 2030? Ya, tentu sah-sah saja. Namun, pernyataan seorang pemimpin untuk hal-hal seserius masa depan negaranya tentu harus diperhitungkan masak-masak. Pertama, apakah prakiraan itu berlandaskan basis data dan argumen memadai. Kedua, seburuk apa pun skenario masa depan yang mungkin terjadi, tugas pemimpin menumbuhkan optimisme. Mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew berkata, ”Tugasku adalah untuk memberikan harapan kepada rakyat, bukan untuk membuatnya mengalami demoralisasi.”
Dengan kepelikan yang menghadang Indonesia di masa depan, yang diperlukan memang bukanlah suatu optimisme yang buta, melainkan suatu optimisme dengan mata terbuka. Kita harus bisa menggunakan pesimisme untuk menumbuhkan rasa keterpautan dengan realitas karena kesanggupannya untuk melihat situasi secara lebih akurat. Meskipun demikian, kita tidak perlu hanyut dalam bayang-bayang kegelapan yang akan membelenggu kita dalam penjara pesimisme. Pemikiran konvensional beranggapan kesuksesan menciptakan optimisme. Padahal, bukti menunjukkan sebaliknya. Seperti diungkap oleh psikolog Martin Seligman, optimisme cenderung mendorong pada kesuksesan.
Namun, optimisme harus berjejak pada visi dan komitmen. Optimisme tanpa visi dan komitmen hanyalah lamunan kosong. Upaya menyemai optimisme harus memperkuat kembali visi yang mempertimbangkan warisan baik masa lalu, peluang masa kini, dan keampuhannya mengantisipasi masa depan. Visi ini harus menjadi kenyataan dengan memperkuat kapasitas transformatif kekuasaan.
Pertama-tama, hendaklah disadari Indonesia negeri pejuang, bukan negeri para begundal. Dalam ungkapan Bung Hatta, ”Bagi kami, Indonesia menyatakan suatu tujuan politik karena dia melambangkan dan mencita-citakan suatu Tanah Air pada masa depan dan untuk mewujudkannya, setiap orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”
Berjuang, ”berusaha dengan segala tenaga dan kemampuan” itulah urat nadi keindonesiaan, yang membuat ia ada dan melangsungkan keberadaannya. Tekad perjuangan ini bukanlah retorika kosong dari suatu politik pencitraan, melainkan didarahi oleh pengalaman keterjajahan, ketertindasan, dan penderitaan yang membuat para pendiri bangsa memiliki penghayatan dalam tentang arti kemanusiaan, persatuan, dan keadilan.
Jika Indonesia ada karena etos kejuangan menegakkan cita-cita kemanusiaan, persatuan, dan keadilan, Indonesia terancam karam seiring pemudaran nilai-nilai dasar tersebut. Indonesia telah lolos berbagai ujian kemelaratan dan penderitaan, sejauh masih ada semangat perjuangan dan solidaritas kemanusiaan. Namun, daya hidup dan karakter keindonesiaan justru goyah saat ketamakan dan pertikaian elite menari di atas penderitaan rakyat.
Dengan keserakahan dan pertikaian elite, kita terancam ”kehilangan Indonesia”. Hal ini mengingatkan pada pernyataan PM Belanda Hendrik Colijn pada 1938. Ketika menanggapi Petisi Soetardjo, anggota Parlemen Hindia Belanda, yang menuntut kemerdekaan Indonesia, Colijn mengatakan, ”Indie verloren, rampspoed geboren” (Kehilangan Indonesia, timbul bencana). Kehilangan Indonesia merupakan bencana besar atas rontoknya cita-cita besar mewujudkan bangsa merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Untuk menghindari hal itu, para elite di Ibu Kota harus banyak belajar dan berempati kepada rakyatnya. Pergilah ke seluruh pelosok Tanah Air. Di mana pun titik bumi negeri ini dipijak akan dijumpai keragaman manusia yang menanti pengharapan dengan kegigihan daya juang.
Melihat Indonesia dari pinggir seperti melihat pendaran cahaya yang lebih terlihat indah dari lingkar terluar. Apa yang terlihat muram di Ibu Kota tampak lebih cerah di tepian. Bukan karena kehidupan di tepian lebih makmur, melainkan karena kesederhanaan yang membuat harapan hidup lebih mudah didekati dengan kebersahajaan. Di kesuburan tanah pinggiran masih tertanam kesuburan jiwa. Kepolosan wajah perdesaan bak cermin bening yang bisa memantulkan ketulusan pengabdian secara setimpal.
Ada dua sisi waktu yang tak bisa kita perbuat: masa lalu dan masa depan. Satu-satunya yang bisa kita lakukan hanyalah berbuat di masa kini. Kita mesti merebut hari ini dengan menanam benih kebaikan meski tampak sebagai misi ketidakmungkinan. Tidak perlu putus asa sebab tugas hidup bukanlah meraih keberhasilan, melainkan memperjuangkan keberhasilan. Dengan ketulusan pengabdian, setiap amal tidaklah sia-sia.
Di sinilah Tanah Air pengabdian kita. Di sepanjang untaian zamrud khatulistiwa, anak-anak negeri hidup damai saling mengasihi, tiada kebinatangan saling menginjak dan mengusir sesama. Syukur pada Ilahi dengan turut merawat dan memakmurkan ibu pertiwi. Di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung.
Tulisan ini telah dipublikasikan di harian Kompas, 29 Maret 2018.