Memperingati hari kemerdekaan di tengah memanasnya suhu politik menjelang Pemilihan Umum 2024 adalah momen yang tepat untuk melakukan refleksi diri. Dengan keluar sejenak dari kegaduhan permukaan menuju keheningan kedalaman penghayatan, akan terdengar suara kebisuan amanat penderitaan rakyat: apa sesungguhnya makna percekcokan dan pemborosan ongkos politik ini bagi usaha perwujudan cita-cita kemerdekaan?
Peringatan kemerdekaan dan kontestasi politik kali ini sangat kritikal, saat Orde Reformasi telah berjalan selama seperempat abad. Dalam sejarah politik bangsa ini, siklus demokrasi tak pernah lebih dari 10 tahun. Jika demokrasi Orde Reformasi bisa melampaui angka 25 tahun, bisalah dikatakan suatu pencapaian. Namun, saat yang sama juga memasuki momen genting dengan potensi kerawanan yang tinggi. Bilamana tidak dipimpin secara sehat dan bertanggung jawab, dapat menimbulkan erupsi yang tak terduga.
Kualitas dan integritas
Maka, memilih pemimpin yang tepat sangat penting. Bukan sekadar pemimpin populer dengan dukungan logistik yang kuat, tetapi pemimpin yang sungguh-sungguh memiliki kualitas dan integritas, dengan pemahaman yang mendalam akan hakikat perjuangan kemerdekaan dan visi transformasi bangsa.
Pertama-tama, dibutuhkan pemimpin dengan jiwa pemenang. Bukan pemimpin berjiwa pecundang yang mudah tunduk pada dikte-dikte dari luar dan pemodal besar, tapi tega ‘menginjak’ orang-orang kecil dari rakyatnya sendiri. Harus dihayati bahwa kemerdekaan Indonesia diraih dengan kegigihan perjuangan jiwa pemenang, bukan diperoleh sebagai hadiah penjajah bagi jiwa pecundang.
Sebagai pemenang revolusi, para pendiri bangsa memandang masa depan dengan penuh percaya diri bahwa ideal-idealnya akan tercapai. Bagi kebanyakan mereka, imaji demokrasi merupakan imaji dari ideal-ideal kebangsaan itu. Demokrasi identik dengan kebajikan dan kesentosaan masyarakat masa depan (Feith, 1962).
Kepercayaan diri yang tinggi itu tecermin dalam gerakan kebudayaan. Kurang dari dua bulan setelah pengakuan internasional akan kedaulatan Indonesia, pada 18 Februari 1950 sekumpulan seniman yang terhubung melalui mingguan Siaat melansir Surat Kepercayaan Gelanggang. Surat pernyataan itu dibuka dengan kalimat yang sangat lantang: “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.”
Etos kemenangan dan kepeloporan itu tampaknya bukanlah isapan jempol. Ada masanya Indonesia menjadi inisiator gerakan dekolonisasi, gerakan non-blok dan tatanan dunia baru yang tepercaya. Dari mana ketinggian muruah Indonesia itu bermula? Kebesaran penduduk dan keluasan wilayah negara tak menjamin kebesaran harkat bangsanya. Sejarawan H.G. Wells kerap kali mengingatkan, “Apa yang menentukan besar-kecilnya suatu bangsa?” Lantas ia simpulkan bahwa, “Anasir terpenting yang menentukan nasib suatu bangsa ialah kualitas dan kuantitas tekadnya.” Tekad sebagai sikap mental (state of mind) yang mencerminkan kuat-lemahnya jiwa bangsa.
Maka dari itu, Bung Karno berulang kali menekankan perlunya membesarkan jiwa bangsa. ”Tiap-tiap bangsa mempunyai orang-orang besar, tiap-tiap periode dalam sejarah mempunyai orang-orang yang besar, tetapi lebih besar daripada Mahatma Gandhi adalah jiwa Mahatma Gandhi; lebih besar dari Stalin adalah jiwa Stalin; lebih besar daripada Roosevelet adalah jiwa Roosevelt; … lebih besar daripada tiap-tiap orang besar adalah jiwa daripada orang besar itu. Jiwa yang besar yang tidak tampak itu adalah di dalam dadanya tiap-tiap manusia, bahkan kita mempunyai jiwa sebagai bangsa. Maka kita sebagai manusia mempunyai kewajiban untuk membesarkan kita punya jiwa sendiri dan membesarkan jiwa bangsa yang kita menjadi anggota daripadanya.”
Dalam pandangan Bung Hatta, sebuah bangsa tidaklah eksis dan besar dengan sendirinya, tetapi tumbuh atas landasan suatu keyakinan dan sikap batin yang perlu dibina dan dipupuk sepanjang masa. Terlebih kebangsaan Indonesia sebagai konstruksi politik yang meleburkan aneka (suku) bangsa ke dalam suatu unit kebangsaan baru, “Untuk mempertahankannya tiap orang harus berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”
Harapan dan peringatan kedua bapak bangsa di atas patut direnungkan menjelang pemilihan umum mendatang. Telah berlalu masa yang panjang, ketika karunia kekayaan dan keindahan negeri ini tak sebanding dengan martabat bangsanya: kekayaan alam tak membawa kemakmuran, kelimpahan penduduk tak memperkuat daya saing, kemajemukan kebangsaan tak memperkuat ketahanan budaya, keberagamaan tak mendorong keinsafan berbudi.
Berdiri di awal milenium baru, dalam abad kebangkitan Asia, menyentuh rasa hirau kita tentang masa depan bangsa. Bagaimana mungkin suatu negara-bangsa yang pernah menjadi pelopor kebangkitan Asia-Afrika justru menjadi pengekor dalam perkembangan kawasan. Mestinya kita bisa kembali ke jalur pemenang. Kita mewarisi sisa-sisa modal sejarah. Kita pun masih memiliki sumber daya yang cukup untuk bangkit dari keterpurukan. Yang diperlukan ialah menyatukan segala elemen kekuatan nasional serta menyalurkan energi nasional untuk sesuatu yang lebih produktif.
Memenangi masa depan
Kepemimpinan politik harus mampu mengarahkan energi nasional untuk memenangi masa depan, bukan untuk terus-terusan mengutuk dan memolitisasi masa lalu. Kebiasaan kita untuk mengutuk masa lalu dengan mengulanginya, bukan dengan melampauinya, membuat perilaku politik Indonesia tak pernah melampaui fase kekanak-kanakannya (regressive politics).
Melampaui masa lalu diperlukan konsepsi patriotisme yang lebih progresif. Patriotisme yang tidak cuma bersandar pada apa yang bisa dilawan, tapi juga pada apa yang bisa ditawarkan. Proyek historisnya bukan hanya mempertahankan, tapi juga memperbaiki keadaan negeri.
Seturut dengan tujuan nasional, patriotisme progresif berorientasi melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia melalui perwujudan keamanan-kesejahteraan, ekonomi-kesejahteraan, politik-kesejahteraan, birokrasi kesejahteraan, dan budaya-kesejahteraan.
Untuk itu, demokrasi yang dibayangkan sebagai manifestasi dari hal-hal yang ideal perlu dibumikan dalam kepenuhan substansinya. Demokrasi prosedural yang berhenti sebatas ritual-ritual pemilihan padat modal dengan gonta-ganti peraturan dan desain kelembagaan politik tidak memiliki signifikansi bagi kesejahteraan dan kemajuan bangsa.
Dalam menjalankan demokrasi substantif tersebut, kepresidenan memainkan peran sangat menentukan. Sebagai pejabat negara yang dipilih langsung (secara teoretis) oleh seluruh rakyat, presiden melambangkan harapan rakyat. “Tugas terberat seorang presiden,” ujar Lyndon B Johnson, “bukanlah mengerjakan apa yang benar, melainkan mengetahui apa yang benar.” Untuk mengetahui apa yang benar, seorang presiden harus menemukan panduan dari dasar filsafat dan konstitusi negara.
Komitmen kepemimpinan negara berlandaskan konsitusi adalah berkhidmat pada upaya mengamankan dan mencari keseimbangan dalam pemenuhan tiga pokok kemaslahatan publik (public goods). Hal ini berkisar pada persoalan legitimasi demokrasi, kesejahteraan ekonomi, dan identitas kolektif.
Basis legitimasi dari institusi-institusi demokrasi berangkat dari asumsi bahwa institusi-institusi tersebut merepresentasikan kepentingan dan aspirasi seluruh rakyat secara imparsial. Klaim ini bisa dipenuhi jika segala keputusan politik yang diambil secara prinsip terbuka bagi proses-proses perdebatan publik (public deliberation) secara bebas, setara, dan rasional.
Hanya dengan penghormatan terhadap prosedur-prosedur public deliberation seperti itulah, peraturan dan keputusan yang diambil memiliki legitimasi demokratis yang mengikat semua warga, dan pemerintah bisa melaksanakannya secara benar (right) dan tanpa ragu (strong).
Setelah basis legitimasi diperjuangkan, kemaslahatan publik selanjutnya ialah kesejahteraan ekonomi. Demokrasi politik tak bisa berjalan baik tanpa demokratisasi di bidang ekonomi. Pancasila sendiri mengisyaratkan bahwa ujung pencapaian nilai-nilai ideal kebangsaan harus bermuara pada Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selama era reformasi, Indonesia telah mencapai kemajuan berarti dalam penciptaan masyarakat yang lebih transparan dan terbuka di bidang politik. Namun, capaian-capaian ini sering kali dimentahkan oleh keterpurukan dan kesenjangan ekonomi. Dalam pandangan Joseph E Stiglitz (2005), menciptakan kesejahteraan umum di negara berkembang seperti Indonesia memerlukan keseimbangan antara peran pemerintah dan pasar.
Dalam hal ini, negara berkembang harus lebih bebas dan leluasa menentukan pilihan-pilihan kebijakan ekonominya. Pemimpin negara harus memiliki keberanian untuk menjalankan amanat konstitusi dalam penguasaan bumi, air, udara, dan kekayaan alam bagi kesejahteraan rakyat. Pemimpin negara, sebagai mata-hati dan mata-nalar rakyat, harus berani mengambil sikap prorakyat dalam kasus eksplorasi kekayaan alam yang merugikan bangsa dan negara.
Semuanya itu merupakan prakondisi bagi terpeliharanya kebajikan ketiga, yakni identitas kolektif sebagai bangsa Indonesia. Kemunculan Indonesia sebagai bangsa multikultural menghendaki perwujudan civic nationalism, dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika, berlandaskan Pancasila sebagai titik temu, titik tumpu, dan titik tuju bersama dari segala keragaman.
Dalam meruyaknya tarikan ke arah populisme dan politik identitas, fungsi pemimpin negara sebagai kekuatan moderasi di antara ekstremitas masyarakat benar-benar sedang diuji. Betapapun mereka tampil karena dukungan partai atau kelompok tertentu, sebagai pemimpinan nasional, mestinya harus tetap berdiri kokoh di atas landasan republikanisme. Terlalu mahal harganya jika segala bangunan konsensus nasional dirobohkan demi mobilisasi dukungan dalam mengejar kepentingan politik jangka pendek.
Pemimpin dengan jiwa besar
Memasuki suasana peringatan hari kemerdekaan tahun ini diwarnai oleh momen politik yang sangat krusial, berupa penentuan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres). Persinggungan di antara kedua peristiwa penting itu mestinya menjadi momen pengingat bahwa hakikat sesungguhnya dari estafet kepemimpinan nasional ialah kesinambungan perjuangan mencapai cita-cita kemerdekaan: mewujudkan perikehidupan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Kemerdekaan dari penjajahan bukanlah akhir segalanya. Ia adalah permulaan yang membangkitkan tantangan sekaligus menuntut jawaban. Tantangan bangsa Indonesia yang begitu besar, baik karena warisan laten maupun persoalan baru, hanya bisa dijawab oleh para pemimpin dengan jiwa besar. Jiwa yang memiliki keluasan mental seluas wilayah Indonesia dan kekayaan rohani sebanyak penduduk Indonesia. Jiwa yang selalu bertanya apa yang bisa diberikan kepada negara, bukan apa yang bisa diambil dari negara. Jiwa yang tidak mengorbankan keselamatan bangsa dan rakyat keseluruhan hanya demi karena ambisi kekuasaan.
Jiwa besar yang memiliki cipta besar dan mampu mengemban tanggung jawab besar. Seperti diingatkan oleh Bung Hatta, “Indonesia, luas tanahnya, besar daerahnya, dan tersebar letaknya. Pemerintahan negara yang semacam itu hanya dapat diselenggarakan oleh mereka yang mempunyai tanggung jawab yang sebesar-besarnya dan mempunyai pandangan yang amat luas. Rasa tanggung jawab itu akan hidup dalam dada kita jika kita sanggup hidup dengan memikirkan lebih dahulu kepentingan masyarakat, keselamatan nusa, dan kehormatan bangsa. Untuk mendapat rasa tanggung jawab yang sebesar-besarnya, kita harus mendidik diri kita dengan rasa cinta akan kebenaran dan keadilan yang abadi. Hati kita harus penuh dengan cita-cita besar, lebih besar dan lebih lama umurnya daripada kita sendiri.”
Sumber: Media Indonesia