Kesejahteraan yang Terabaikan

Fachrurozi

1648
Ilustrasi. Isu-isu global

Dalam banyak studi tentang kelangsungan demokrasi, kesejahteraan ekonomi menjadi pengandaian yang sangat sulit dinafikan. Tanpa jaminan kesejahteraan, demokrasi selalu berada dalam ancaman jatuh ke pangkuan otoritarianisme yang menjanjikan efektivitas dan stabilitas.

Secara politik memang perjuangan demokrasi pada era reformasi telah menghasilkan sejumlah kemajuan berarti dalam konteks hak-hak sipil dan politik seperti kebebasan membentuk organisasi dan partai politik.

Meskipun demikian, kebebasan beragama dan berkeyakinan berkembang secara parokial sehingga tampil cacat dengan penyerangan, sekadar contoh, terhadap Jamaah Ahmadiyah. Begitu juga kebebasan berekspresi dan berpendapat yang cacat dengan terbunuhnya aktivis HAM Munir karena pembelaannya atas korban kekerasan dan orang hilang oleh masa lalu.

Namun, tidak begitu dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya kita. Ia tak tersentuh sama sekali. Tidak ada yang berubah dengan arsitektur ekonomi-politik Indonesia kini, dibandingkan dengan ketika Soeharto berkuasa.

Ketimpangan ekonomi-poltik lengkap dengan sisi gelapnya-kemiskinan, kelaparan, dan pengangguran-terus menunjukkan kecenderungan meningkat. Memang ada pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan, tetapi itu hanya berlaku bagi kelompok menangah ke atas, sedangkan mereka yang berada di level bawah, tetap terpuruk.

Meskipun sudah ada dua kali pemilu dan empat kali pergantian presiden, janji tentang masa depan yang lebih baik belum terealisasi secara historis. Demokrasi masih berkutat pada prosedur pengambilan keputusan dan belum menyentuh cita-cita kesejahteraan ekonomi.

Pada dasarnya, pendirian sebuah negara, apa pun ideologinya, adalah bagaimana membawa warganya kepada kesejahteraan dan kemakmuran bersama. “Kemerdekaan nasional,” tegas Bung Karno saat sidang pertama RIS pada 1949, “hanyalah syarat untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dalam arti jasmani dan rohani.”

Tidak syak lagi, bahwa kesejahteraan merupakan persoalan yang paling mendasar yang harus dicapai setiap warga negara dalam hidupnya. Ketika ia terabaikan, maka dari sinilah dimulai kekacauan. Tindak kekerasan, kriminalitas, dan agresivitas sosial yang muncul di tengah masyarakat merupakan anak kandung dari diabaikannya kesejahteraan ini.

Meski begitu pentingnya dan telah menjadi tujuan utama sejak kemerdekaan bangsa ini diproklamasikan, tetap saja kesejahteraan setiap warga negara masih dilihat sebelah mata oleh para penguasa negeri ini. Riswandha Imawan, dalam pidato pengukuhan guru besarnya di UGM menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia mulai bergerak menjauh dari pengabdian kepada kepentingan rakyat.

Demokrasi telah menjadi kendaraan efektif bagi elite untuk mempertahankan kekuasaan, bukan lagi diikhtiarkan untuk rakyat. Kalaupun ada konsep ikhtiar untuk rakyat, semua hanya lips service belaka. Para pedagang tradisional yang tergusur dan korban Lapindo merasa bahwa partai dan tokoh politik tidak memerhatikan mereka.

Politik kekuasaan yang sedang berlangsung di negeri ini kini hanyalah politik sebagai sarana untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan, atau menjadi ajang pertarungan kekuatan dan perjuangan untuk memenangkan kepentingan kelompok. Ini terkesan dari tidak adanya upaya serius untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.

Bukanlah sesuatu yang aneh bila muncul anggapan bahwa kesejahteraan kita menurun sejak reformasi. Angka kemiskinan meningkat cukup tajam akibat dari banyaknya pengangguran dan minimnya lapangan pekerjaan.

Energi pemerintah terkuras habis hanya untuk menstabilkan tekanan kepentingan partai politik. Sementara itu, agenda kesejahteraan ekonomi terabaikan.

Bangunan demokrasi yang ditegakkan pascareformasi memang ditantang untuk menjawab harapan masyarakat yang begitu besar.

Para pengambil kebijakan dituntut untuk membuktikan bahwa pilihan demokrasi yang memakan biaya cukup mahal bukanlah pilihan yang keliru. Jawaban yang diberikan tidak cukup dengan pemberian ruang kebebasan yang lebih besar, tetapi juga kehidupan ekonomi yang lebih baik.

Rezim demokrasi

Amartya Sen memberikan dua penjelasan bagaimana rezim demokratis dapat membawa kepada kesejahteraan. Pertama, lewat pemilihan umum yang adil, rakyat dapat mengakhiri pemerintahan yang membiarkan kelaparan dan kemiskinan tetap terjadi.

Kedua, lewat pers yang bebas, rakyat mendapatkan informasi yang terbuka mengenai wabah kelaparan. Baginya, rezim demokratis dinilai lebih mampu mengatasi wabah dibandingkan dengan pemerintahan yang tidak demokratis.

Selain itu, dalam rezim demokratis, rakyat memiliki hak untuk menekan pemerintah agar menggunakan pendapatan yang diperoleh untuk kepentingan layanan umum yang lebih baik. Dengan demikian, potensi pemerintahan yang menjalankan prinsip demokrasi untuk mewujudkan kesejahteraan lebih besar dibandingkan dengan pemerintahan antidemokrasi.

Dalam nada lain, demokrasi tidak selesai hanya lewat aturan prosedural dalam pemilihan umum dan kebebasan tak tentu arah. Ia harus berlanjut dengan pengawalan panjang terhadap seluruh kebijakan yang dibuat dan diarahkan pada kesejahteraan yang lebih besar.

Peran penopang demokrasi seperti media dan masyarakat sipil menjadi penentu lahirnya kesejahteraan dari pemerintahan demokratis. Media dan masyarakat sipil harus kritis dan terus mendorong pemerintah untuk menjaga dua hak dasar, hak kebebasan dan hak kesejahteraan.

Mesti dimengerti bahwa apa yang bisa dicapai secara positif oleh masyarakat sangat dipengaruhi oleh kesempatan ekonomi, kebebasan politik, kekuatan sosial, penciptaan prasyarat kesehatan yang baik, dan pendidikan dasar.

Demokrasi ekonomi dan demokrasi politik harus berjalan seiring. Jika perekonomian hanya memberi kesempatan berkembang kepada kelompok tertentu yang jumlahnya sedikit dan mengabaikan nasib sebagian besar rakyat, demokrasi tidak akan berumur panjang. Kalaupun ada, prosesnya masih demokratis tetapi sebenarnya tidak, prosedural tetapi tidak substansial.

Akhirnya, masih banyak pekerjaan rumah yang mesti digarap secara lebih serius dengan tidak lagi terjebak pada simbol dan slogan, atau demi mencari popularitas semata.

Kita harus sadar bahwa nilai-nilai pokok dalam kehidupan manusia adalah martabat manusia dan keadilan sosial, sehingga manusia semestinya berpihak dan sepenuhnya mengabdikan diri pada upaya mempertahankan kedua hal tersebut.

Perlu komitmen yang kuat dari pemerintah dan berbagai golongan untuk mengatasi berbagai masalah yang ada. Sehingga kesejahteraan setiap warga negara sebagaimana yang dicita-citakan muncul menjadi kenyataan.

Tulisan ini pernah dimuat di harian Bisnis Indonesia, 14 April 2008.

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.