Asian Games memberi pelajaran politik kewargaan yang amat berharga. Bukan hanya soal upacara pembukaannya yang spektakuler, yang meyakinkan kita akan potensi Indonesia sebagai adidaya budaya dunia. Bukan juga soal perolehan medali yang membuat kita tidak kehilangan muka sebagai bangsa besar. Bukan pula sebatas cucuran keringat dan ketabahan menahan sakit yang mencerminkan kesadaran bela negara. Yang lebih penting adalah soal semangat inklusif kewargaan yang membuat segala perbedaan melebur dalam perjuangan bersama demi kehormatan dan prestasi bangsa.
Perhatikan berbagai cabang olahraga beregu, seperti bola voli putri. Di sana, atlet-atlet berkerudung bahu-membahu bersama rekannya yang berkalung salib tanpa hambatan psikologis. Semua identitas setara, saling berangkulan, meneriakkan pekik yang sama, serempak jatuh-bangun menahan gempuran dan melancarkan serangan. Menyaksikan pemandangan seperti itu bisa membuat kita berderai air mata. Terbukti juga bahwa medali yang kita peroleh disumbangkan oleh atlet dengan latar identitas yang beragam. Semangat inklusif kewargaan dalam kesetaraan bisa meleburkan perbedaan dalam harmoni persatuan yang membuat bangsa ini beprestasi maju.
Keteladanan olahraga memberi inspirasi bagaimana menguatkan kohesi sosial di tengah polarisasi dan fragmentasi kebangsaan. Bahwa transformasi soal menuju integrasi nasional memerlukan penguatan di ”lima kesadaran”: kesadaran nasional, kesadaran bernegara, kesadaran berpemerintahan, kesadaran sosial, dan kesadaran bela negara.
Perwujudan kelima kesadaran itu tecermin dalam semangat persatuan dan kemandirian bangsa, semangat kewargaan yang inklusif, semangat menyelaraskan hak dan kepentingan perseorangan dengan kewajiban dan kepentingan bersama, semangat gotong royong yang dinamis; dan semangat patriotisme dengan rela berkorban.
Jalan ke arah itu memerlukan prasyarat kesetaraan kewargaan dengan melakukan pengikisan atas struktur sosial feodalistik dan kolonialistik-kapitalistik yang diskriminatif, digantikan struktur dan kultur masyarakat Pancasilais yang egaliter, dengan semangat persatuan nasional yang mengatasi kepentingan perseorangan dan golongan.
Untuk itu, perlu ada perombakan pada basis ekonomi dan supersturktur mental-kultural. Pada ranah ekonomi, kesetaraan bisa dibangun dengan membudayakan usaha tolong-menolong. Semua bentuk badan usaha (BUMN, kooperasi, dan swasta) harus mencerminkan sifat ”tolong-menolong” (kekeluargaan). Ke dalam, setiap bentuk badan usaha harus mengembangkan hubungan industrial Pancasila yang menguntungkan bagi semua pemangku kepentingan. Keluar, di antara ketiga bentuk badan usaha itu harus ada pembagian peran dan interdependensi dalam penguasaan dan pengusahaan sektor-sektor ekonomi dari hulu ke hilir. Harus dicegah terjadinya penguasaan sektor-sektor ekonomi dari hulu ke hilir di tangan orang seorang secara monopolistik dan oligopolistik.
Usaha memperkuat kesetaraan pada struktur perekonomian itu memerlukan keleluasaan negara untuk menentukan nasibnya sendiri. Negara-bangsa harus mengembangkan sikap kejiwaan dan kesanggupan untuk (sebisa mungkin) mencukupi diri sendiri dengan kerelaan membeli produk dalam negeri. Bangsa Indonesia hendaknya tidak mengembangkan perilaku ekonomi boros, ”besar pasak daripada tiang”, yang bisa menjadi pintu masuk bagi dikte-dikte kekuatan asing dalam perencanaan dan kebijakan perekonomian nasional.
Transformasi menuju masyarakat Pancasila juga memerlukan perubahan mental-kultural. Perubahan itu diarahkan untuk mengikis mentalitas feodalistik-kolonialistik-hedonistik dan mental budak, dengan membuang nilai lama yang buruk, mempertahankan yang baik, dan mengupayakan nilai baru yang lebih baik, yang lebih sejalan dengan nilai-nilai Pancasila.
Usaha kebudayaan diarahkan terutama untuk membangun mentalitas kesetaraan, kemandirian, gotong royong, amanah, dan pelayanan dalam rangka mempertinggi mutu kemanusiaan, keadaban, dan persatuan. Imperialisme kebudayaan harus dicegah dengan melindungi dan menjamin berkembangnya kebudayaan nasional, melalui pemaduan kecemerlangan lokal dan visi perkembangan global. Perlu diperkuat wawasan Nusantara, dengan meluaskan horizon kebudayaan dari bias perspektif daratan menuju perhatian yang lebih kuat terhadap visi kemaritiman. Pembangunan harus dijangkarkan pada basis modal kultural dengan menggalakkan budaya baca dan meneliti serta kreativitas inovasi masyarakat.
Hanya dengan mengembangkan struktur dan kultur kesetaraan, kemajemukan kebangsaan punya mekanisme bawaan ke arah inklusi sosial. Seperti dalam olahraga, dengan kekuatan inklusi sosial, perbedaan tak jadi persengketaan, malahan saling melengkapi dan menguatkan menuju prestasi dan kemajuan bangsa.
Tulisan ini telah dipublikasikan di harian Kompas, 30 Agustus 2018.